“Kita tidak dapat mengulang masalalu tapi kita bisa memperbaiki diri kita yang sekarang dan membuat semuanya menjadi mudah. Jika bisa dibuat mudah kenapa harus memakai jalan yang sulit!”
Hujan rintik menghiasi jalanan, mendung terlihat di awan. Aku berada di halte dekat sekolah dengan tas dipunggungku, sialnya aku terjebak bersama hujan sejak pukul 2 siang tadi hingga kini pukul 3 sore.
Jika waktu bisa diulang aku akan mengiyakan ajakan Cila untuk pulang bersama tadi. Sungguh. Apakah ini hari kesialanku. Terjebak hujan selama satu jam penuh membuat bajuku terlihat lusuh dengan cipratan air. Aku mendongak merutuki kesialanku, rasanya aku ingin menangis tanpa kata.
Mendung tampak membuat hari lebih gelap dari biasanya, lampu jalanan mulai menyala dengan warna yang memantul pada genangan air. Aku merogoh ponsel yang habis baterai dan menggoyangkanya berharap akan ada keajaiban, sialnya ini dunia nyata bukan fiksi yang penuh dengan keberuntungan.
Lelah berdiri, aku duduk dengan segelontor orang yang bernasib sama denganku. Aku menyenderkan kepalaku pada tiang penyangga atap di sampingku, mendesah lelah dan memejamkan mata dan hanya menunggu nasib baik untukku. Tadinya aku ingin memesan taxi online tapi sebelum itu bisa terjadi ponselku sudah die terlebih dahulu. Mungkinkah nasib buruk datang padaku saat hari sabtu! Maka ingatkan aku untuk sedia payung sebelum hujan.
Sedikit dari biasanya, kini aku bosan dengan yang namanya menunggu. Tidak ada ponsel maupun musik yang menemaniku, adanya hanya segelontor orang yang tidak aku kenal beberapa di antaranya ada kelas XI dan beberapa kelas XII. Sedikit dari mereka kelas sepuluh. Jangan heran tempat ini muat untuk lebih banyak orang daripada halte lain, karena halte ini dibangun khusus untuk anak sekolahan saat mengalami situasi saat ini.
Aku membuka mata dan menatap kedepan. Disana ada keluarga kecil bahagia yang tengah berlari kecil menuju sebuah mobil yang kuyakini mobil mereka. Dengan seorang bocah kecil digendongan seorang pria dewasa, bocah itu tertawa bahagia saat menerobos hujan bersama dan si wanita yang juga ikut berlari di samping pria itu. Sungguh keluarga yang bahagia. Tanpa sadar aku tersenyum kecut.
Mulai lagi. Aku menginginkan semua itu, seandainya aku yang menjadi bocah itu aku akan sangat bahagia. Walaupun aku harus mengulang semuanya dari nol. Setetes air mata meluncur begitu saja melewati pipiku membuatku tersentak dan langsung mengusapnya kasar.
Aku tidak ingin berada dalam kecemburuan.
Kecemburuan hanya akan membuatku seperti dulu, menginginkan dan menginginkan akhirnya aku hidup dalam kesengsaraan diriku sendiri. Jika bisa. Kata itu yang membuatku tidak bisa bangkit dari hidupku.
“Nggak perlu disesali. Jangan pernah berpikir bahwa mengulang kehidupan, kamu akan merasa bahagia kemudian. Nyatanya salah, mengulang kehidupan malah lebih sengsara dan lukamu saat ini akan bertambah berkali kali lipat daripada saat ini. Kenapa harus mengulang masalalu jika kita bisa menghilangkan masalalu dan bisa memperbaiki diri dari sekarang kenapa tidak. Kalau bisa mudah kenapa harus melewati yang sulit.”
“Gue tau,” jawabku.
Pria bertopeng masker yang berada di sampingku berbicara. Aku tahu betul suara itu hingga aku tidak menoleh sama sekali kearahnya. Entah kapan Raka berada di sampingku aku tidak menyadarinya sama sekali. Akhir-akhir ini sepertinya aku dan dia menjadi sering bertemu, dewi fortuna tidak memihak kepadaku agar aku tidak bertemu dengannya lagi.
Sedikit rasa pusing mendera kepalaku, aku memijatnya pelan hingga sebuah jaket tersampir di pundakku membuatku terkesiap dan mendongak menatap orang disampingku bingung. Entah setan apa yang merasuki Raka hingga ia berbuat seperti ini padaku.
Tidak ada yang sepesial bagiku. Hal seperti ini, mungkin Raka penggemar novel atau drama korea hingga bisa melakukan pertunjukan ini. Aku tidak ambil pusing. Aku cukup kebal dengan hal yang berbau dengan keromantisan karena aku sendiri seorang penulis.
“Kenapa lo disini?” tanyaku tanpa menatapnya.
“Nunggu angkot.”
Aku hampir lupa jika Raka juga berangkat naik angkot tadi pagi, tidak heran dia menunggu angkot disini. Orang irit seperti Raka seharusnya tidak akan bisa bergaul dengan orang sepertiku karena kita sama-sama diam. Lebih tepatnya aku yang terlalu sungkan untuk bertanya sedangkan Raka, dia memang memiliki watak seperti itu.
Aku kembali memejamkan mataku meresapi pendengaranku dengan suara hujan yang jatuh ke tanah dengan santai. Bau tanah yang khas memasuki indra penciumanku, rintikan berubah menjadi hujan lebat seketika membuatku membuka mataku seketika. Sial. Jika seperti ini terus, aku akan terjebah semalaman dan tidak pulang malam ini.
Aku mengarahkan mataku ke sekitar, tadi beberapa orang memutuskan untuk menerobos rintik hujan dan kini tinggal lima orang termasuk aku dan Raka yang berada di halte bus ini. Aku mendongak menatap Raka yang duduk disampingku.
“Kak. Lo bawa ponsel nggak?” tanyaku. Budeg. Sekian lama tidak terjawab akhirnya aku memanggilnya lebih keras.
“Kak Raka. Lo denger nggak sih gue ngomong apa!” seruku membuncah tapi tidak sampai menjadi pusat perhatian.
“Lo ngomong sama gue?”
Menjawabnya dengan mengangguk. Aku medesah lelah. Sepertinya aku harus memiliki stok kesabaran untuk berbicara dengan kakak kelas yang satu ini.
Tanpa kata Raka menyodorkan ponselnya kepadaku dan dengan semangatku terima tanpa lupa mengucapkan terimakasih padanya. Hanya. Senyumku sirna seketika saat aku ingin menyalakan ponselnya untuk memesan taxi online, ponsel Raka juga mati. Jika seperti itu, mengapa Raka menyodorkan ponselnya padaku. Aku mengacak rambutku kasar, tanpa kata aku mengembalikannya dengan kasar.
“Kenapa ponsel mati lo kasih?” tanyaku kesal.
Raka memicing menatap mataku dalam membuatku sedikit tidak nyaman. “Lo cuma tanya gue bawa ponsel atau nggak bukan ponsel lo ada baterai atau tidak.”
Dia menjawab membuatku jengkel setengah mati. Salahkan aku sendiri untuk kesalahan ini, tapi bukankah seharusnya Raka menangkap apa yang sebenarnya aku inginkan. Jika ponselnya mati, apa yang bisa dilakukan sebuah ponsel.
“Bareng gue aja.” Raka tiba-tiba berbicara.
Aku memutar kedua bola mataku. Bareng pakai apa, mau pakai daun pisang. Lagipula aku tidak mau memakai daun pisang yang menurut novel romantis saat memakainya berdua di bawah hujah, menurutku itu hanya mencari penyakit.
Tidak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depanku, tanpa aba-aba Raka menarik tanganku dan memasukkanku ke dalam mobil secara paksa. Aku hanya bisa membelakan mataku tak percaya mencerna apa yang sedang terjadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments