Karakter Hantu

"Oke, entar kita tampil drama aja." Ucap Hasim, ketua kelas XI IPA 2.

"Aku! Aku akan jadi tuan putri dan Bambang yang jadi pangeran!" Teriak Lila penuh semangat.

Sontak satu kelas berteriak tidak setuju dengan pendapat Lila. "Ingat pacarmu yang direbut cowok lain, La!"

"Bener, ingat pacarmu!"

Gina juga ikut nyambung, "Hahaha, jangan lupain pacarmu itu."

"Aku tidak punya pacar!" Geram Lila. Lalu tatapannya mengarah ke Bambang, "Percaya padaku, hanya kamu yang ada di hatiku." Ucapnya penuh dramatis yang sontak mendapatkan seruan dari teman kelasnya. Bambang menundukkan kepalanya pura-pura tidak mendengar.

Seseorang berdiri sebari mengangkat tangan kanannya. "Kita tidak bisa mengambil drama. IPA 3 sudah duluan mengajukan pertunjukan drama."

Hasim langsung mengangguk setuju, "Benar juga."

Di sisi barat kelas, seorang siswa yang pendek dan hitam berdiri. "Bagaimana kalau kita buat rumah hantu saja?" Sarannya.

Seisi kelas langsung bersorak setuju, "Benar, dengan tampang Ucup pasti pengunjung akan ketakutan sampai kencing di celana, hahaha."

"Bahkan hantu pun takut liat tampang Ucup."

"Dukung Ucup jadi presiden kelas tahun depan!"

"Ucup terjelek di sekolah ini, hahaha."

"Akhirnya tampang jelek Ucup akan berguna juga."

Siswa yang baru saja mengajukan pendapat itu langsung menyesal. "Ya, aku yang paling jelek karena itu aku cocok jadi hantu."

Seisi kelas tertawa keras mendengar gerutu kesal Ucup.

Maka Hasim menulis rancangan rumah hantu di papan tulis dengan ide-ide dari murid-murid.

"Kita akan membagi tugas." Ucapnya semangat.

"Aku! Aku jadi kuntilanak!" Wenda, siswi tertinggi di kelas mengangkat tangannya.

Yang lain tak mau kalah, dan ikut berteriak.

"Aku suster ngesot!"

"Aku pocong!"

"Aku mak lampir!"

"Aku **** ngepet!"

"Aku vampir!"

"Aku serigala!"

"Serigala tidak horor, ******!"

"Kalau ada vampir, serigala juga harus ada."

"Aku zombie!"

"Aku arwah!"

Putri berpikir keras, tetapi tak kunjung mendapatkan ide untuk perannya. Dia berjalan ke belakang, ke bangku Gina. "Gin, kamu jadi apa?"

Gina mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Aku manusia aja."

Putri dengan kesal memukul kepala Gina dengan buku, "Aku serius!"

"Aku juga serius. Kenapa coba mereka berlomba-lomba jadi setan? Kan pada dasarnya mereka sudah setan." Ucap Gina dengan kesal sambil mengelus kepalanya.

Suara Gina tidak pelan, hingga murid-murid yang mendengarnya langsung menurunkan tangannya dan berpura-pura menjadi manusia tulen.

Lila memajukan bibirnya kesal, soalnya dia tadi ikut berteriak ingin menjadi Mak Lampir. "Itu berarti kami memiliki inisiatif berpartisipasi dalam festival."

Putri juga mengangguk setuju, pasalnya festival ini diadakan oleh OSIS. Tentu saja berkaitan dengan Beni, sang pujaan hatinya. "Benar, kita harus mengerahkan seluruh hati demi festival ini!"

"Iya, karena Beni makanya kamu antusias." Gerutu Gina.

Seorang siswi tiba-tiba celetuk. "Beni kan temannya Dion. Ekhem, pasti demi Dion. Ciyeee."

Yang lain serempak ikut menggoda Putri.

"Ternyata diam-diam Putri juga ada rasa sama Dion."

"Haha, cewek mah gitu, sok nolak, padahal cinta."

"Daripada cowok, dikodein malah tidak peka."

"Tidak semua cowok anggota pramuka."

"Iya, cowok kan semuanya anggota buaya."

"Daripada cewek anggota kecentilan."

"Mata kerancang!"

"Mata duitan!

"Sembrono."

"Merepotkan."

"..."

Putri menatap kosong teman sekelasnya yang telah terbelah menjadi dua kubu, cewek dan cowok. Awalnya dia ingin bertanya, kemana logika mereka yang langsung menerobos ke Dion. Sedangkan Gina nyata-nyata menyebut nama Beni, tidak kah mereka berpikir bahwa dia menyukai Beni.

Akhirnya sesi perdebatan cewek dan cowok ditengahi oleh Tio, lelaki jiwa hello kitty. "Hello gaes, sudahlah. Cowok dan cewek itu sama-sama bagus, jangan bertengkar deh."

"DIAM BANCI!"

Setelah perdebatan berakhir, Hasim kembali ambil alih dan mulai mengutarakan pikirannya. "Kita akan menjadikan kelas ini sebagai lokasi rumah hantu. Jadi sekarang, kita harus membahas properti dan dana yang dibutuhkan."

"Bagaimana dengan kostum?" Tanya Wenda.

"Kalian buat kostum sendiri sekreatif mungkin, dan rias diri sendiri. Kita harus meminimalkan pengeluaran dana." Jawab Hasim. Dari dulu dia terkenal pelit dan irit. Selalu memperhitungkan segala sesuatu dan memastikan tidak pernah rugi.

Yang lain juga setuju dan mulai berpikir hal-hal menarik yang akan mereka buat.

"Aku apa ya?" Gumam Putri pelan.

"Kamu nenek sihir saja, Put!" Saran Lila.

Mata Putri langsung bersinar, "Ya, aku nenek sihir!"

"..." Gina masih belum mengerti dengan pikiran orang-orang yang suka memperjelek diri sendiri.

"Gin, kalau kamu apa?" Tanya Hasim sambil memperhatikan nama-nama murid serta peran yang mereka sebut.

"Aku manusia! Manusia! Dan manusia! Aku sudah mengatakannya tiga kali, berhenti bertanya!" Tatapan Gina yang tegas menembus kepala Hasim.

Sang ketua kelas hanya mengangguk paham. Tentu saja dia enggan mengganggu harimau yang sedang lapar. "Oke, Gina akan bertugas menyebarkan brosur saja. Aku peringatkan, tidak semua orang dapat menjadi hantu."

"Huuuuuuu!" Seruan kekecewaan mengisi kelas. Jelas, mereka semua ingin menjadi salah satu karakter seram yang menakut-nakuti pengunjung.

"Baiklah, baiklah, sekarang mari kita bahas denah rumah hantu yang akan kita buat."

Ucup mengangkat tangannya, "Aku jadi apa?"

Hasim mengangkat alisnya, "Bukannya sudah jelas kamu akan jadi tuyul."

Seisi kelas kembali dilanda tawa yang bergemuruh. Ucup yang bertanya kembali menyesal. "Iya, aku pendek dan hitam. Cocok jadi tuyul."

Setelah tertawa, Hasim berbatuk ringan dan mulai bertingkah profesional. Dia memegang spidol dan mulai menggambar secara acak, "Mari kita mulai bahas tata letak rumah hantu. Pintu depan akan menjadi pintu masuk, dan pintu belakang akan menjadi pintu keluar. Dimulai dari pintu masuk, kita akan memilih satu orang yang bertugas sebagai mendampingi pengunjung dan memberi aba kepada hantu untuk mulai. Di sini kita akan membuat lorong dengan dinding tripleks, Bagas yang akan bertanggung jawab soal tripleks. Kita akan membuat lubang pada dinding cukup untuk kepala masuk. Lalu di sekitar sini diletakkan lemari tua, Fani yang akan bertanggung jawab soal lemari. Di lemari kita akan mengirim satu hantu untuk mengejutkan pengunjung. Lalu..."

Setiap murid yang namanya disebut oleh Hasim memiliki wajah hitam, jelas saja Hasim tak ingin rugi dan melempar tanggung jawab tanpa mempertanyakan kesediaan setiap orang. Jelas-jelas nada suaranya sebuah pernyataan, suka tidak suka mereka harus menurut. Dan dia dengan mudah menekankan ini demi kelas.

Lalu seseorang bertanya, "Jadi bagaimana dengan kamu?"

Hasim mengerutkan keningnya tidak suka, dia menutup spidol dan meletakannya di meja. Tatapannya tak sedap dipandang mengarah ke sang petanya. "Jelas aku yang akan mengawasi kalian."

"Dimana?" Tanya yang lain.

Hasim menunjuk salah satu bagian dari sketsanya. "Aku akan menjadi hantu dan posisiku di atas meja."

"Kamu jadi apa?"

"Siswa yang bunuh diri." Jawab Hasim percaya diri.

Jelas yang lain mengamuk dan melemparkan Hasim dengan botol, kertas, dan sampah. Dia mengatur dirinya di atas meja, tentu hanya perlu menggunakan properti sekolah. Lalu dengan peran siswa yang bunuh diri, dia hanya perlu menggunakan seragam sekolah dengan tampang lemah dan beberapa noda merah. Dia sangat pelit dan tak ingin rugi. Selalu mencari posisi yang menguntungkannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!