Kedatangan Dua Sosok

"On, Oon." Panggil Beni pada Dion.

Dion menatap tajam Beni, "Jangan panggil aku seperti itu!"

Beni mengabaikan larangan Dion dan memajukan tubuhnya ke arah meja Dion. "Aku dengar ada murid baru di kelas cewekmu."

"Cewekku?" Tanya Dion sambil mengangkat alisnya.

Beni mengangguk, "Si Putri itu."

"Sejak kapan dia jadi cewekku?" Tanya Dion dengan kesal. Beni selalu saja menggodanya dengan terus menerus mengatakan hal-hal berkaitan dengan Putri.

Beni menepuk dahinya dengan ekspresi kaget. "Eh iya, aku lupa. Kamu kan ditolak."

Sontak senyum manis muncul di bibir Dion, membuat Beni bergidik ngeri. "Ben, kamu sukanya dipukul atau ditendang?" Ucapnya bertanya dengan santai.

Beni tertawa canggung, pasalnya Dion tidak pandai dalam bercanda dan akan benar-benar melakukan apa yang dia katakan. "Ha ha ha, aku cuma mau bilang anak baru di kelas Putri katanya tampan."

Dion memasang wajah kosong, "Oh, gitu. Terus?"

Beni menghela nafas panjang karena sahabatnya ini tidak memiliki jiwa pertarungan muda dalam dirinya. "Tidakkah kamu merasa takut jika Putri jatuh hati pada murid baru ini? Hei, aku bilang sekali lagi dia tampan! Sangat tampan! Paling tampan! Aku bahkan harus mengulanginya tiga kali untuk membuatmu mengerti."

Tatapan Dion masih kosong, sama sekali tidak mengerti isi kepala Beni. Atau mungkin kepala Beni kosong tanpa otak sehingga membuatnya menjadi orang **** terbego dari yang terbego. "Pertama, aku tidak tertarik pada Putri." Ucap Dion penuh penekanan dengan mengangkat satu jarinya.

Dion kemudian mengangkat dua jarinya di depan Beni, "Kedua, aku tidak pernah menembak Putri."

Lalu Dion mengangkat tiga jari, "Ketiga, Putri bukan cewekku." Ucapnya lagi dengan penuh penegasan. "Aku bahkan harus menyebutkan tiga hal untuk membuatmu mengerti."

Bibir Beni mengerut karena mendapat serangan telak dari Dion. "Lalu, ada apa dengan semua rumor ini? Tidak akan ada asap kalau tidak ada api."

Dion juga tidak mengerti. Dia menatap Beni dengan pandangan sulit. Dia bahkan tidak mengenal Putri sampai rumor mengatakan dia menyukai Putri. Hal seperti itu membuatnya merasa tidak adil. Jelas dia tidak melakukan apa-apa, dia bahkan belum bertemu dengan Putri dan rumor itu tiba-tiba muncul. Seperti kata Beni, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Namun pada kenyataannya, rumor itu datang tanpa peringatan dan tanpa dia melakukan apa-apa.

"Aku rasa ini hanya salah paham." Ucap Dion pada akhirnya.

Beni diam dan menunggu kelanjutan ucapan Dion dengan sabar.

Dion bersandar ke belakang dengan santai dan mulai menganalisis. "Aku tidak mengenal Putri dan secara ajaib rumor mengatakan aku menyukainya. Apa mungkin ada nama Dion selain aku? Mungkin Dion inilah yang menyukai Putri."

Beni menggelengkan kepalanya. Dia adalah Ketua OSIS, membuatnya sangat akrab dengan nama-nama murid di sekolah ini. "Tidak ada lagi yang menggunakan nama jelek itu di sekolah ini selain kamu."

Alis Dion terangkat saat Beni mengatakan namanya jelek, jelas saja namanya termasuk kategori nama keren di sekolah ini. "Jika namaku jelek, maka tidak ada nama bagus di sekolah ini." Ucapnya narsistik.

Beni menunjuk dirinya. "Beni Guntoro Farilla Ahmad."

Dion mencibir ketika mendengar Beni menyebutkan nama lengkapnya. Nama lengkap Beni bahkan bisa menampung empat nama, sangat serakah.

"Lalu apa mungkin seseorang menyebarkan gosip buruk tentangku?" Tanya Dion kembali ke topik.

Beni mengangguk setuju, "Itu mungkin saja, banyak murid di sekolah ini tidak menyukaimu. Aku bahkan memiliki niat untuk membuat peraturan yang tidak menguntungkanmu." Mata Beni bersungguh-sungguh menatap Dion. "Aku sangat membencimu."

Dion mengangguk, "Aku juga membencimu." Balasnya tulus.

Beni kembali ke topik awal, "Lalu bagaimana bila kita datang ke kelas XI IPA 2 dan bertanya langsung pada Putri?"

"Apa itu boleh?" Tanya Dion ragu.

Beni mengangguk antusias, "Tentu saja boleh, hal yang buram seperti ini membutuhkan kejelasan!"

Dion juga merasa tidak nyaman dengan rumor yang terus mengganggunya. Bahkan lebih menyebalkan karena dia sama sekali tidak mengerti akar rumor aneh ini, maka lebih baik untuk menanyakan langsung pada akar masalahnya. "Baiklah."

Di kelas XI IPA 2, kelompok tiga orang masih duduk di pojokan sambil mengatakan hal-hal yang absurd. Walau mereka berbicara dengan semangat, tak bisa dipungkiri bila mata mereka terus menerus melirik ke arah Bambang yang masih dikerumuni murid-murid. Mereka dapat melihat dengan jelas wajah lesu Bambang yang tak berdaya sebagai murid baru.

"Aku ingin menariknya keluar dari sana." Ucap Gina pada akhirnya.

Lila mengangguk, "Lalu menjilatnya dengan lembut. Dia terlihat lezat."

Gina dan Putri langsung bergidik ngeri.

"Kamu kanibal?" Ucap Putri disertai dengan mendengus jijik.

Daripada tampan, Bambang memang lebih cocok dikatakan manis. Di tambah tingkah lakunya yang lugu dan polos, membuatnya terlihat menggemaskan. Kata-kata Lila tidak sepenuhnya salah, setiap orang yang melihat Bambang pasti memiliki keinginan untuk mencubit dan menggigitnya.

"Put." Panggil Gina pelan hampir terdengar seperti bisikan.

Putri menoleh heran, "Kenapa? Suaramu habis?"

"Aku akan memperlihatkan satu hal baik dan satu hal buruk untukmu sekaligus." Ucap Gina penuh misteri.

Putri tertawa garing, "Tidak mungkin ada hal seperti itu, kecuali kamu mengatakan Beni dan Dion mencariku bersama, ha ha ha." Putri langsung terdiam ketika matanya tertuju pada dua sosok di depan pintu kelas. "Katakan saat ini aku sedang bermimpi!"

"Kamu sedang bermimpi." Ucap Gina dengan penuh kekosongan. "Aku sudah mengatakannya."

Sayangnya, walau mimpi bisa menjadi kenyataan. Namun, kenyataan tidak bisa menjadi sekedar mimpi. Sama seperti beras bisa menjadi nasi, tapi nasi tidak bisa menjadi beras. Ini hukum alam yang menyedihkan.

Lila menggoyangkan tubuh Putri yang kaku, "Put, kamu masih hidup kan? Berpikir positif aja, mungkin Beni dan Dion datang kesini buat nagih utang."

"Kamu yang berutang!" Ucap Putri kesal.

"Ya, teruslah seperti ini, mereka berjalan semakin dekat. Mari kita lihat, drama apa lagi yang akan terjadi." Ucap Gina dengan santai.

Seperti kata Gina, Beni dan Dion telah berjalan mendekat ke arah mereka. Setiap langkah yang mereka ambil membuat jantung Putri semakin kacau. Dia bahkan bisa merasakan jantungnya akan meledak sebentar lagi. Apa yang mereka berdua inginkan?

Kepala Putri penuh pertanyaan-pertanyaan aneh. Apakah Beni ingin menemuinya untuk mengatakan cinta? Itu tidak mungkin, dia lebih memilih menjaga persahabatannya dengan Dion. Lalu, apakah dia datang kesini untuk menemani Dion? Menemani Dion untuk apa? Tidak mungkin bila Dion ingin mengatakan cinta kepadanya sekali lagi setelah ditolak di depan umum. Namun, bisa saja itu terjadi. Tapi dia ingin mengatakannya di hadapan Beni?

Putri dilanda kebingungan, "Apa yang harus aku lakukan?" Tanyanya gusar.

"Sediakan uangmu." Jawab Lila dengan wajah serius.

Gina tersenyum geli, "Lakukan apa yang kamu inginkan, adegan terbaik dilakukan secara spontan. Itu akan memberi kesan nyata pada penonton."

Benar saja, mereka berdua sama sekali tidak bisa diharapkan.

Saat ini, Beni dan Dion telah berdiri tepat di depan mereka bertiga. Sontak, demi kesopanan mereka bertiga berdiri dan menatap Beni dan Dion penuh tanya.

Beni tersenyum manis pada Putri membuat hati Putri meleleh. Kepalanya error dan dia langsung diagnosa memiliki diabetes. "Putri, kan?"

Ini pertama kalinya Beni memanggil namanya!

Putri mengangguk antusias, "Ya, saya Putri!" Jawabnya penuh semangat.

Beni menyenggol tangan Dion untuk membiarkan sahabatnya mengambil alih. Dion juga langsung tersadar dan mulai bertanya. "Ada yang ingin aku tanyakan padamu." Ucap Dion.

Senyum Putri luntur, dia menatap kesal Dion. Apakah Dion ingin bertanya kenapa dia menolaknya? Jelas saja seperti itu. Ini tidak bisa dibiarkan.

Putri ingin sekali bersikap cuek dan garang pada Dion, tapi saat ini Beni ada di hadapannya. Dia harus memberi kesan baik pada Beni.

Dengan enggan, Putri tersenyum lembut. "Ah, mau tanya apa?"

Dion sama sekali tidak berharap akan perubahan sifat Putri secara tiba-tiba. "Tentang kemarin—”

"Ha ha ha, bukannya kemarin sudah jelas?" Putri memotong ucapan Dion dengan tawa canggung.

Beni tersenyum nakal pada Dion, "Apa yang jelas?" Tanyanya pada Putri mencoba menggoda sahabatnya.

Putri langsung menggelengkan kepalanya, "Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Sungguh bukan seperti itu!" Ucap Putri tergesa-gesa.

Beni mengangguk paham, "Apa yang aku pikirkan?"

"..."

"Pfft." Di belakang Putri, Gina dan Lila menahan tawanya dengan sengaja.

"Ya, Put, apa yang Beni pikirkan?" Tanya Lila yang mendapati tatapan tajam dari Putri.

Putri segera membuat wajah bersalah, "Maksudku, aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Dion." Jawab Putri dengan suara kecil.

Dion ingin mengatakan sesuatu tetapi Putri buru-buru berkata, "Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, kita bisa lanjutkan ini nanti."

Dion hanya bisa menelan kata-kata yang ingin dia ucapkan dan menyetujui ucapan Putri. "Oke, aku akan bertanya lain kali."

Lalu, Dion dan Beni pergi keluar dari kelas XI IPA 2.

Di dalam kelas, Putri mengacak rambutnya dengan kesal. "Aku lebih suka jika dia tidak akan datang bertanya lagi! Dia bahkan mengajak Beni untuk ini! Apakah dia dendam padaku? Apakah aku pernah berbuat salah padanya?" Serunya frustasi.

Gina dan Lila hanya melihat ketika temannya dilanda stres berat. Sama sekali tidak memiliki niat untuk menghiburnya. Mereka bahkan bercerita berdua, meninggalkan Putri yang sedang kesal.

Lila dengan santai bertanya pada Gina, "Gin, menurutmu apa yang Beni pikirkan?"

Gina mengangkat bahunya, "Aku tidak tahu, tanya saja pada Putri. Bukannya dia tahu itu?'

Setelah itu mereka berdua tertawa gembira dan lari dari Putri yang ingin mencakar mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!