Putri mengikat tali sepatunya di teras rumah. Suara klakson mobil menghentikan gerakannya, dia melihat ke depan dan mendapati mobil yang dikenalinya.
Sosok Gina keluar dari mobil, dia berbincang sebentar pada orang yang berada dalam mobil lalu menutup pintu mobil.
Jarak antara rumah Gina dan rumah Putri tidaklah jauh, namun ayah Gina terlalu protektif pada Gina. Jika saja ayahnya tidak ada acara penting hari ini, mungkin dia akan ikut jalan santai bersama dengan Gina.
Gina membuka pintu pagar rumah Putri yang terbuat dari kayu. Dia berjalan ke teras dan duduk di kursi plastik di samping Putri.
"Kayaknya ayahku punya gebetan." Ucap Gina ketika baru saja duduk di kursi.
Putri langsung menoleh. "Serius? Pfft." Ucap Putri kaget dicampur geli.
Gina mengangguk malas, dia membuka mulutnya menguap besar. "Hoam, yah tidak tahu juga."
"Kamu sudah tanya sama ayahmu?" Tanya Putri penuh minat.
Gina menggelengkan kepalanya, "Ayahku tidak pernah bahas ini, jadi aku juga malas bahas."
"Terus darimana kamu tahu?" Tanya Lila yang muncul seketika.
"Astaga!" Seru Putri terkejut ketika melihat sosok Lila yang datang tiba-tiba dari belakang rumah.
"Apa gunanya papaku pasang pagar di depan kalau kamu lewat belakang?" Ucap Putri kesal.
Lila terkekeh, lalu menatap ke tampang ngantuk Gina. "Bagaimana kamu tahu ayahmu punya gebetan?"
"Hum, yah gitu. Aku pernah dengar ayah telponan, suaranya itu kayak ada aura merah muda di sekitarnya."
Putri dan Lila terkekeh mendengar penjelasan Gina.
Bunda Gina telah tiada ketika Gina masih berumur 3 tahun, sejak itu Gina dirawat oleh orang tua tunggal. Karena itu pula, pola hidup Gina berbeda dari gadis lainnya, dia lebih terlihat cuek dan malas memikirkan penampilan. Dan itu sebabnya ayahnya menjadi lebih protektif dan mengerjakan tugas seorang ayah sekaligus ibu untuk Gina.
Gina sama sekali tidak masalah jika ayahnya menikah lagi, lagipula Gina juga merasa kasihan melihat ayahnya yang selalu kesepian. Tapi ayahnya tetap keras kepala, dia takut Gina akan merasa terluka karena telah menikah dengan wanita lain selain bundanya. Walau Gina mengatakan tak masalah, ayahnya selalu merasa bersalah.
"Kamu setuju?" Tanya Putri.
Gina mengangkat bahunya tak peduli, "Terserah ayahku, bukan urusanku."
Lila mendorong kepala Gina dengan gemas. "Tapi dia ayahmu."
Walau Gina bilang tak masalah, tentu saja ada sedikit perasaan tak nyaman jika ayahnya menikah lagi.
"Yah, tapi itu urusan ayahku dengan wanita itu. Aku hanyalah anak, tugasku hanya minta jajan."
Putri mengangguk setuju, "Aku mendukungmu."
Gina mengangguk lalu menoleh ke Lila. "Tumben bangun cepat."
"Tadi mamaku marah-marah lagi." Ujar Lila dengan cemberut.
Gina dan Putri sudah biasa dengan itu. Lila sering dibanding-bandingkan dengan anak tetangga oleh mamanya, dia juga tak jarang sering adu mulut dengan mamanya. Sebenarnya Lila contoh anak durhaka.
"Kenapa lagi?" Tanya Putri prihatin. Untung mamanya jarang membandingkannya dengan orang lain di depan orang, walaupun di belakang orang lain dia juga sering dibandingkan dan diomelin.
Lila mendengus kasar. "Itu si Toni, pagi-pagi teriak marah-marah karena tongkat pramukanya berubah menjadi hitam."
Gina dan Putri terkekeh geli. "Lalu?"
"Ya akhirnya aku dimarah sama mama karena itu, diomelin deh dari kesalahan yang lalu-lalu. Padahal tiada kaitannya dengan tongkat. Lalu karena kesal aku bilang sama papaku untuk cari mama yang baik dan tidak suka mengomel. Dan kalian bisa tebak akhirnya. Aku diomelin lebih banyak dan kabur kemari. Selesai."
Gina memberi Lila jempol, "Jadi apa jawaban papamu saat kamu bilang begitu?"
Lila terkekeh, "Papa jawab segera dilaksanakan, haha mama langsung tambah marah."
Gina dan Putri juga ikut tertawa.
"Kayaknya mama dan papaku mau ke rumah nenek besok." Ucap Putri setelah berhenti tertawa.
"Mantap." Ucap Lila senang. "Aku berarti nginap disini besok."
"Oke."
Gina berpikir sebentar sebelum menghela napas panjang, "Aku bujuk ayah dulu baru bisa ikut nginap juga."
"Sip."
"Kenapa tante dan om pergi ke rumah nenekmu?" Tanya Lila.
Putri mengangkat bahunya, "Tidak tahu. Aku dengar-dengar masalah tanah atau apapun itu. Mungkin masalah warisan keluarga kali."
Lila terkekeh, "Kayak di novel-novel saja. Lalu siapa alih warisnya?"
Putri tertawa, "Papaku anak pertama. Gimana? Papaku pasti yang dapat dong."
Gina menggelengkan kepalanya, "Belum tentu, tergantung nenek dan kakekmu."
"Haha, mana aku tahu masalah gituan. Ayo kita pergi sekarang." Putri bangun dari kursi dan langsung bergegas pergi.
"Tante dan om tidak ada di dalam?" Tanya Gina sambil mengintip di jendela.
"Tidak ada. Mereka dah keluar dari tadi. Makanya aku tunggu kalian di teras, karena pintu rumahku dah dikunci."
"Oh."
"Ayo cepat!"
Jarak antara rumah Putri dan tempat perkumpulan untuk jalan santai tidaklah jauh karena itu mereka bertiga berkumpul di rumah Putri.
Hanya butuh beberapa menit mereka telah sampai ke Jalan Soedirman. Jalanan untuk jalan santai ditutup sementara, agar tidak ada pengendara motor atau mobil yang melalu lintas mengganggu kegiatan dan menyebabkan kecelakaan.
"Kapan mulai jalan?" Tanya Lila gusar.
Gina melihat jam di ponselnya, lalu menjawab. "Enam."
Lila langsung melotot, "Terus kenapa ngumpul jam 5?"
Gina dan Putri menatap Lila dengan pandangan aneh. "Apa ada yang memintamu datang jam 5?"
Lila mendengus kesal. "Kalau tahu, aku akan memasang alarm jam 6."
Gina memutar matanya malas, dia tahu sifat Lila. Dia tidak suka bangun pagi, jadi kalau mau bertemu pagi, mereka harus memajukan jamnya dulu. Ini saja diminta jam 5, mereka kumpul jam setengah 6.
"Kalian sudah sarapan?" Tanya Putri sambil menatap penjual terang bulan dengan penuh minat.
Gina dan Lila mengikuti arah pandangnya dan seketika menggelengkan kepala. "Belum."
"Tunggu disini!" Ujar Putri yang langsung menuju ke gerobak penjual terang bulan.
Gina dan Lila mengambil posisi yang nyaman di jalan raya dan duduk dengan baik menunggu Putri. Lima menit kemudian Putri datang dengan dua kantong plastik.
Putri duduk di hadapan Gina dan Lila dan membuka kantong plastik yang berisi terang bulan. Aroma terang bulan yang masih panas menyerang indera penciuman mereka. Kemudian Putri mengeluarkan tiga susu kotak di hadapan mereka.
"Baiklah, biayanya masing-masing 13 ribu dengan ongkos jalannya." Ujar Putri sambil mengangkat tangannya menagih biaya.
Gina dan Lila mendengus bersamaan, tentu saja mereka berdua tidak berharap Putri akan berbaik hati membelikan mereka sarapan tanpa pamrih.
Mereka berdua masing-masing mengeluarkan uang 13 ribu dan memberikannya dengan enggan pada Putri.
Putri menerimanya dengan senang hati. Dengan begini, uangnya kembali utuh. Inilah hikmah dari berbaik hati.
Gina mengambil terang bulan isi kacang dengan sigap, dia menggigit potongan kecil dan langsung mengernyitkan keningnya. "Rasanya kayak ada yang kurang."
Lila dan Putri ikut mengambil satu buah terang bulan dan mengambil satu gigitan. Keduanya mengangguk setuju.
"Iya, tidak kayak di depan sekolah." Ucap Putri membenarkan.
"Um, ini agak hambar. Terus kayak belum matang gini." Kritik Lila sambil memperhatikan penampilan terang bulannya.
Mereka terus mengkritik rasa dari terang bulan tersebut sambil makan dengan nikmat. Tanpa mereka sadari, terang bulan yang mereka kritik kini tersisa satu di dalam kantong plastik.
Ketiganya telah menghabiskan terang bulan yang ada di tangan mereka. Mata penuh kelaparan mereka menatap buas satu buah terang bulan tersebut. Ketiganya saling menatap dan tak ada yang ingin mundur.
"Bukannya ini sangat hambar, hahaha." Ucap Putri sembari tertawa garing.
Gina juga ikut terkekeh, "Ya, rasanya juga agak aneh."
Lila menatap keduanya penuh waspada. "Aku tidak merasa ini layak untuk kita makan."
"Ya, rasanya mengerikan."
Mereka bertiga tertawa bersamaan, lalu secepat kilat tangan mereka meluncur ke arah terang bulan tersebut. Gina mendapatkannya dan langsung lari membawa terang bulan tersebut, mencari tempat aman dan menghabisinya dalam sekejap.
"Aku pikir rasanya tidak terlalu buruk." Ucap Gina ketika melihat wajah datar Putri dan Lila.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments