"Oh iya, Papi lupa." Papi Yohan langsung tepok jidat. "Ah tapi udah tanggung mau berangkat, Mi. Kalau balik masuk rumah kayaknya males udah mah ngangkang jalannya dan ...."
Papi Yohan belum selesai bicara, tapi Mami Soora tiba-tiba turun dan berlari masuk ke dalam rumah entah mau apa. Dia juga tidak mengatakan hal apa pun.
Namun, dalam hitungan 1 menit saja—wanita itu sudah kembali serta masuk ke dalam mobil dengan menenteng sebuah kemeja batik lengan pendek. Rupanya, dia masuk untuk mengambilkan itu.
"Ini pakai cepat, Pi!" titahnya kemudian.
***
Tok! Tok! Tok!
Sekitar jam 8 malam, sebuah ketukan pintu terdengar. Umi Mae yang berada di dapur sedang mencuci piring akhirnya menunda pekerjaannya. Sebab tak enak jika membuat tamu menunggu.
Tok! Tok! Tok!
"Yaaa!! Sebentar!!" serunya yang sudah berlari menunju pintu. Seperti biasa, Umi Mae membuka gorden jendela lebih dulu sebelum akhirnya dia membuka pintu.
Ceklek~
"Selamat malam ...," sapa seorang pria dan wanita tua. Yang tidak lain adalah Papi Yohan dan Mami Soora. Keduanya sudah memakai batik couple dengan sebuah senyuman yang merekah indah dibibirnya masing-masing.
"Malam juga. Tapi maaf, Bapak dan Ibu ini siapa, ya?"
Umi Mae tampak mengerenyitkan kening. Dia pun memerhatikan dua orang di depannya dari ujung kaki hingga kepala, dengan tatapan asing. Tapi Umi Mae sudah menebak, jika mereka sepertinya orang berada.
"Namaku Yohan, Bu." Papi Yohan memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya, lalu menoleh kepada istrinya. "Dan ini istriku ... namanya Soora. Kami berdua calon besan Ibu."
"Calon besan?!" Umi Mae menyeru dengan terkejut sekaligus bingung. Dan Mami Soora pun ikut mengulurkan tangannya ke arah Umi Mae.
"Salam kenal, Bu."
"Ah salam kenal juga." Umi Mae langsung menyambut jabatan tangan Mami Soora, karena merasa tidak enak. Tapi kalau jabatan tangan Papi Yohan sendiri sudah terabaikan. "Namaku Mae. Tapi maaf, aku sama sekali enggak mengenal kalian siapa. Apa kalian salah rumah?"
"Kami nggak salah rumah kok, Bu," jawab Mami Soora sebelum jabatan tangan itu terlepas. "Kami memang mau datang ke rumah Boy. Ibu ini Uminya ...." Ucapan Mami Soora seketika terhenti, saat sang suami menyenggol lengannya.
"Maksud istriku, rumah Ustad Yunus," timpal Papi Yohan. Jangan sampai karena kebiasaan mereka yang terus memanggil dengan sebutan Boy—itu akan membuat orang-orang terdekat Ustad Yunus menjadi bingung. "Dan kami ini orang tuanya Yumna."
"Ooohh ... orang tuanya Yumna?!" Mendengar nama Yumna, ekspresi Umi Mae yang semula seperti orang yang kebingungan kini berubah menjadi sumringah. Dia pun segera melebarkan pintu rumahnya. "Kalau begitu masuk dulu saja, Pak ... Bu. Ayok," ajaknya.
"Iya, terima kasih, Bu." Papi Yohan tersenyum lepas, begitu pun dengan istrinya. Keduanya tampak senang melihat perubahan mimik wajah wanita berkerudung itu saat mendengar nama Yumna. Dia bahkan sudah sangat yakin—jika pastinya Umi Mae akan setuju.
"Silahkan duduk. Kalian mau teh apa kopi?"
Keduanya pun duduk di ruang tengah, pada sebuah sofa panjang. Tiga buah kotak yang tertumpuk jadi satu kini Papi Yohan letakan di atas meja. Sejak tadi dia memang membawanya.
"Enggak usah, Bu," tolak Mami Soora.
"Iya, enggak perlu repot-repot lah, Bu. Tapi kopi hitam juga nggak masalah. Kebetulan aku haus." Jawaban dari Papi Yohan mendapatkan cubitan pada perut oleh istrinya. Tapi pria itu hanya nyengir kuda.
"Sebentar ... aku buatkan minuman dulu ya, Bu, Pak." Umi Mae tersenyum, kemudian pamit menuju dapur.
Sepeninggalnya, Papi Yohan dan Mami Soora langsung mengamati rumah Ustad Yunus.
Ukurannya memang tak sebesar rumahnya. Dan jauh dari kata mewah. Tapi menurut mereka—cukup nyaman juga.
"Menurut Papi ... ini rumah milik orang tua si Boy, apa rumah si Boy sendiri?" tanya Mami Soora pelan, nyaris seperti berbisik.
"Dari penampakannya sih ... sepertinya ini rumah dia. Soalnya kelihatan, Mi," jawab Papi Yohan yang juga sama pelannya.
"Kelihatan dari mananya?"
"Dari suasananya. Cukup nyaman, seperti saat Papi sedang bersamanya," jawab Papi Yohan yang sudah sebucin itu kepada Ustad Yunus.
Tak lama, Umi Mae pun datang dengan membawa nampan yang berisikan dua cangkir, teh dan kopi. Ada biskuit kelapa juga yang berada di dalam toples.
"Maaf Pak, Bu, cemilannya hanya biskuit kelapa," ucap Umi Mae lalu menyajikan di atas meja, lantas setelahnya dia duduk di sofa single didekat mereka.
"Enggak apa-apa kok, Bu. Lagian kami juga orangnya nggak suka ngemil," jawab Mami Soora yang berdusta, tapi baginya ini tidak masalah.
"Ngomong-ngomong ... si Boy ... Eh, maksudku Ustad Yunus. Dia ke mana ya, Bu?" tanya Papi Yohan yang langsung meralat ucapannya. Sorotan matanya kini tertuju pada sebuah pintu kamar, yang dia yakini itu adalah kamar Ustad Yunus.
"Yunus ada di masjid, Pak," jawab Umi Mae. "Apa Bapak ingin bertemu dengannya? Nanti aku coba telepon dulu, karena dia sendiri bilang mau tidur di masjid." Umi Mae sudah bangkit dari duduk, berniat ingin pergi ke kamar untuk mengambil ponsel. Tapi semua itu urung dilakukan saat mendengar Mami Soora bicara.
"Biarkan saja dulu, Bu. Kami ingin mengobrol sama Ibu dulu."
"Oh gitu ...." Umi Mae akhirnya kembali duduk sembari menatap Mami Soora. "Baiklah."
"Enggak perlu basa basi deh ya, Bu. Langsung ke intinya saja," ucap Papi Yohan, lalu melanjutkan. "Kedatangan kami berdua yang merupakan orang tua kandung dari Yumna adalah bermaksud ingin melamar Boy. Eh maksudnya, melamar Ustad Yunus."
"Melamar?!" Umi Mae sontak terbelalak. Dia tampak terkejut bahkan sedikit terperanjat dari duduknya.
"Iya." Papi Yohan mengangguk. "Apa Ibu menolak kami?"
"Bukan menolak." Umi Mae langsung menggeleng cepat. Tapi mimik wajahnya masih terlihat syok.
"Lalu apa?"
Mami Soora langsung membuka tasnya, kemudian mengambil sekotak cincin berbentuk hati berwarna merah lalu membukanya. Tersemat sebuah cincin emas putih disana, dengan satu berlian kecil yang berada diatasnya dan dengan model untuk laki-laki. "Kami juga membawa cincin sebagai bukti kalau kami selaku orang tua dari Yumna ... mewakilkannya untuk melamar Ustad Yunus," tambahnya.
"Maaf Bapak ... Ibu. Bukan maksud hati aku menolak niat baik kalian, aku justru sangat menghargai. Tapi apakah ini nggak terbalik, ya?"
"Terbalik gimana maksudnya?" Alis mata Papi Yohan saling bertaut. Dia terlihat tak paham.
"Yunus itu 'kan laki-laki. Masa iya, Yumna melamarnya? Harusnya 'kan Yunus yang melamar Yumna. Bukankah begitu?"
Papi Yohan dan Mami Soora langsung saling menatap, dan tak lama keduanya itu saling terkekeh.
"Aahh ... benar sekali memang, apa yang Bu Mae katakan. Tapi sayangnya ... anak Ibu sendiri nggak peka, terhadap anakku," ujar Papi Yohan sambil mengusap wajahnya.
"Yumna beneran suka sama Yunus, Pak?" Meskipun dia juga yakin jika itu benar, tapi tak ada salahnya Umi Mae bertanya lebih jelas kepada orang tua Yumna.
"Iya." Papi Yohan mengangguk cepat. "Ibu bisa tanya sama anak Ibu, apakah dia dan Yumna sering mengirimkan chat atau enggak. Pasti jawabannya sering. Dan kalau misalkan Ibu bertanya mengapa Yumna enggak mau terang-terangan mengatakan suka ... itu karena dia sendiri malu."
"Yumna ini anaknya memang gengsian, Bu, kalau dia suka sama seseorang," tambah Mami Soora supaya lebih meyakinkan hati calon besannya. "Dan tugas kita sebagai orang tua hanya mendukung mereka. Iya, kan? Jadi aku minta sama Ibu untuk merestuinya, dan menerima lamaran dari Yumna."
...Mereka pembohong Umi, jangan dipercaya 🤣 usir saja mending biar pada pulang 😆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
LAILATUN NI'MAH
Meraka itu pembohong kelas kakap umi🤣🤣🤣
2024-06-21
0
Pisces97
papi Yohan dan mami Sora emang absurd keluarga aneh tapi daripada sama Naya lebih seru sama Yumna kan meskipun gk soleh² seperti Naya lebih suka dia deh gk munafik alias gk pura² kalem 🤭😅
2024-01-02
1
fee2
sama umi maen di Terima gak ya... tapi umi kan juga pengen cepet punya mantu...
2023-10-23
1