"Om Yohan?!" seru Ustad Yunus dengan keterkejutannya. Kedua matanya itu membulat sempurna.
Pria berumur 55 tahun itu adalah pria yang pernah Ustad Yunus tolong pasca dia tertabrak mobil dan mengalami kekurangan darah.
Sekarang, pria itu jadi muridnya yang akan dia bimbing untuk memperdalam Islam. Sebab Papi Yohan sendiri beragama Kristen sejak lahir.
Mereka juga bisa dibilang sangat akrab, malahan—Papi Yohan sendiri pernah secara terang-terangan menginginkannya untuk menjadi menantunya.
Hanya saja, Ustad Yunus selalu menolak. Selain dirinya menghargai hubungannya dengan Naya, dia juga tak memiliki perasaan kepada Yumna—anak dari Om Yohan.
Ustad Yunus saat ini berusia 37. Dia sendiri mendapatkan gelar Ustad saat dirinya dinyatakan lulus pada salah satu pondok pesantren ternama yang dia naungi selama 15 tahun.
Mendiang Abinya, meminta supaya dia meneruskan pekerjaannya setelah dia lulus untuk menjadi marbot masjid. Dan sama sekali Ustad Yunus tak keberatan. Sebab selain halal, pekerjaan itu juga terlihat sangat mulia karena merawat rumah Allah.
Selain menjadi Ustad dan seorang marbot, Ustad Yunus juga sering diundang oleh beberapa orang yang mengalami masalah seperti kesurupan atau sakit akibat gangguan jin dan makhluk halus.
Meskipun belum sepenuhnya ahli, tapi sedikit-sedikit Ustad Yunus mengerti karena pernah diajari oleh Pak Kiainya dulu ketika masih dipondok.
"Kau siapa, hah? Berani sekali mendorongku?!" teriak Ayah Cakra tak terima, matanya kini melotot tajam kepada Papi Yohan.
"Maaf, maafkan Om Yohan, Pak!" seru Ustad Yunus yang langsung menarik tangan Papi Yohan, saat melihat dimana pria itu sedikit lagi akan makin dekat dengan Ayah Cakra.
Ustad Yunus tak mau membuat keributan di restoran orang, terlebih dia juga tak mengerti alasan Papi Yohan yang tiba-tiba datang dan langsung marah-marah.
"CK! Dasar!" decak Ayah Cakra, lantas berlalu keluar dari restoran dengan wajah masam.
"Om kok tiba-tiba datang dan main dorong Pak Cakra, sih? Nggak boleh, Om," tegur Ustad Yunus sembari terduduk lesu.
"Tadi Om nggak sengaja lihat kalau dia menunjuk wajahmu sambil melotot. Menurut Om itu sangat nggak sopan. Jadi wajar dong ... kalau Om marah?" Papi Yohan dengan santainya duduk pada bekas bokongnya Ayah Cakra. "Sebenarnya dia itu siapa, sih, Boy? Dan kamu juga kenapa? Seperti ada masalah."
"Dia itu Pak Cakra, Ayahnya Naya."
"Ooohh ... jadi calon mertuamu, ya? Tapi kok kelihatan galak banget. Nggak cocok kayaknya jadi mertuamu, Boy."
"Dia sudah bukan lagi jadi calon mertua saya, Om," keluh Ustad Yunus dengan raut sedih.
"Lho ... kok bisa? Kenapa?" tanyanya dengan kepo. Namun asli, hatinya sangat berbunga-bunga sekali mendengar hal itu.
"Dia nggak merestui saya, Om."
"Alasannya?"
"Karena saya hanya marbot masjid, yang memiliki gaji nggak seberapa. Dia berpikir kalau saya nggak mungkin bisa membahagiakan Naya," jawab Ustad Yunus pelan.
Papi Yohan pun menggeserkan posisi duduknya untuk lebih dekat kepada Ustad Yunus, lalu dia pun merangkul bahunya sembari mengusap punggung. Mencoba menenangkan kegundahan di hati pria itu.
"Apa saya terlihat nggak tau diri, ya, Om?"
"Enggak tau diri gimana?" tanya Papi Yohan bingung.
"Ya nggak tau diri, karena udah mengajak Naya ta'aruf. Pak Cakra juga bilang harusnya ... saya itu melihat latar belakang dari perempuan yang akan diajak ta'aruf. Bukan langsung melakukannya begini." Mengingat kembali penghinaan yang Ayah Cakra lakukan, hati Ustad Yunus bak teriris. Wajahnya pun kini menjadi muram seketika.
"Enggaklah, Boy." Papi Yohan menggeleng. "Masa hanya karena kamu mengajak perempuan ta'aruf ... kamu jadi terlihat nggak tau diri. Udah nggak usah dipikirkan, dengan apa yang Pak Cakra ucapkan. Kamu nggak salah disini. Anggap saja semua yang terjadi pertanda kalau kamu dan Naya nggak berjodoh. Lagian masih ada Yumna juga yang menunggumu. Iya, kan?"
Papi Yohan tak akan membiarkan ada celah sedikitpun, nama Yumna harus dia kaitkan supaya Ustad Yunus kini mau menjadi menantunya.
"Saya sepertinya harus pulang sekarang, Om." Ustad Yunus tiba-tiba berdiri lalu memanggil pelayan restoran untuk membayar minumannya.
"Kok pulang?" Papi Yohan ikut berdiri dan langsung memegang tangan Ustad Yunus. "Mending kita pergi mancing, Boy. Siapa tau dengan pergi memancing ... hatimu akan menjadi sedikit lebih baik. Om tau dan ngerti ... apa yang kamu rasakan kok. Kita 'kan sehati dan satu aliran darah. Benar, kan?" Kedua alis matanya naik turun.
"Saya butuh waktu sendiri dulu untuk menenangkan diri, Om. Maaf ... saya duluan, ya, assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Papi Yohan melambaikan tangan dan menatap punggung Ustad Yunus yang kini sudah menghilang dibalik pintu restoran.
"Kasihan si Boy ...," gumamnya sambil menghela napas. Tapi didetik berikutnya, Papi Yohan justru tersenyum dan langsung lompat-lompat. "Ah tapi ada bagusnya juga. Ini tandanya rencanaku yang sedang mendekatkan Yumna dengan si Boy akan segera berhasil sedikit lagi."
Secara tidak langsung, Papi Yohan saat ini sedang menari-nari di atas penderitaan Ustad Yunus.
"Aaakkkhhhhh!"
"Astaghfirullah!!"
Sedang asiknya melompat tanpa beban, Papi Yohan pun dikejutkan oleh beberapa wanita yang menjerit, bahkan ada juga yang beristigfar.
Ada apa? Kenapa?
Itulah hal yang dipikirkannya saat ini. Sangking penasarannya, dia juga langsung menatap sekitar. Takutnya apa yang para wanita itu lakukan karena adanya musibah mendadak di restoran.
Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Semuanya aman dan tak ada salah satu diantara mereka yang berlari pergi dengan panik. Hanya saja herannya di sini—hampir semua wanita di restoran menutup matanya.
"Astaga Bapak! Bapak ini waras nggak, sih?!" Seorang pria bertubuh gempal tiba-tiba berteriak dan berlari menghampirinya.
"Apa maksudmu?!" Papi Yohan mengerutkan keningnya bingung.
Pria itu segera membungkuk untuk memungut sebuah kain yang terjatuh tepat pada kedua kaki Papi Yohan, lalu segera menariknya ke atas. "Sarung Bapak melorot! Ditambah nggak pakai dalamann udah gitu kulitnya ngelupas lagi, apa Bapak nggak malu, ya?" geramnya marah.
Papi Yohan sontak terbelalak. Tentu dia kaget dan jujur saja apa yang terjadi diluar kuasanya. Karena dia sendiri tak ingat kapan sarungnya turun. "Ya ampun harga diriku!"
Buru-buru, Papi Yohan keluar dari restoran sambil memegang erat sarungnya. Benar-benar dia sangat malu, dan menggerutuki dirinya sendiri yang ceroboh.
"Bisa-bisanya aku lompat-lompat sedangkan posisi pakai sarung. Mana ngikatnya juga asal, karena aku sendiri belum terlalu bisa," keluhnya lalu masuk ke dalam mobil.
Alasan Papi Yohan memakai sarung tanpa dalaman karena dia baru disunat dua hari yang lalu. Dan tongkatnya pun saat ini masih basah.
"Oh ya, mending sekarang aku pikirkan ide selanjutnya ... supaya si Boy dan Yumna cepat bersatu. Aku telepon Mami dulu deh." Papi Yohan seketika mendapatkan sebuah ide, tapi akan didiskusikan kepada istrinya terlebih dahulu karena dia ikut andil juga dalam hal ini.
^^^Bersambung.....^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Ana
😂😂😂😂🤭🤭
2024-05-14
1
Carlina Carlina
🤦🤦🤦😂😂😂😂😂
2024-01-04
0
Pisces97
awas saja ustadz Yunus dapat jodoh malah menjodohkan lagi anaknya Naya gk rela 😏
2024-01-02
1