Jani duduk melantai dengan manis, meskipun lebih mirip suster ngesot, namun untungnya mereka tak tau dengan varian hantu Endonesahh, suapannya juga jauh dari kata ramah lingkungan, saking laparnya.
Sudah hampir seminggu Jani disini, baru hari ini ia menemukan kembali jiwa nusantaranya, berasa kaya hilang separuh jiwa ketika ketidakhadiran sambal terasi dan nasi di menu makan sehari-harinya.
Mathew menolak untuk ikut makan, melihat Jani dan ibu Marriot makan saja ia sudah mendadak kenyang. Yap! Jani tak mau makan sendiri, katanya kalo sendiri tuh kaya mau menghadap sang pencipta saja.
" Yakin ngga mau?" Jani menawari sesuap nasi dari tangan yang sudh dilumuri sambal terasi dan bumbu dan rempah capcay, bikin Mathew makin bergidik jijik, tak tau saja lelaki itu, rasanya makan dari suapan cewek Indonesia itu bikin ngga mau pulang, maunya digoyang.
"No." jawab Mathew menelan saliva sulit.
"Ya udah." Jani tak peduli, namun jika nanti lelaki itu pingsan, jangan salahkan ia yang sudah menawari anak buah Loui itu makan.
Jani lantas bangkit dan membawa piring bekasnya makan ke wastafel lalu mencuci bekasnya, sontak saja bu Marriot melarang Jani.
"Nona, jangan! Biarkan itu jadi pekerjaan kami..." ujarnya, namun Jani menggeleng, "inilah adat kami, adat ketimuran...tidak terbiasa dilayani dan mengandalkan tenaga orang lain, hanya untuk hal sepele seperti ini..." jelas Jani.
"Ibu boleh bersikap begitu di depan Loui, tapi kalau sedang berada bersama Jani...maka jangan anggap Jani adalah majikan," lanjutnya tersenyum. Orang kenyang ya gitu, bawaannya senyum-senyum senang.
Marriot menatap Mathew, khawatir jika ia melaporkan itu pada Loui, jika kerjnya tak becus, tapi Mathew justru mengangguk tanda meminta Marriot menurut saja.
"Ibu Marriot, ini nanti jangan di buang. Disimpan saja, untuk makan malam Jani..." pesannya ke arah nasi, capcay dan potongan goreng tempe. Sayang saja, sepotek tempe sebesar itu harus didapat Jani dengan harga mahal, padahal di Sukabumi 10 ribu rupiah aja udah dapet satu papan, sepanjang papan penggilesan.
Marriot mengangguk paham lalu menaruh sisa makanan Jani ke dalam kotak makan dan menaruhnya di dekat pantry.
Habis makan ya tidur, memang begitu kan penyakitnya...Jani naik ke lantai 2 dengan mata yang mendadak berat dan perut kenyang, "kenyang kan," usapnya di perut buncitnya.
Loui datang dengan amukan luar biasa, perut lapar dan kepala pening.
"Marriot!" ia menjatuhkan dirinya di sofa seraya memijit pelipis pusing, perutnya itu hanya dimasuki wine yang sudah pasti panas.
Namun Marriot tak kunjung datang, membuat Oscar ikut menyusulnya ke dapur. Loui yang tidak sabar akhirnya berjalan ke arah dapur mencari minum sendiri, air dingin yang langsung ia ambil dari dalam kulkas.
Dibukanya jas yang sejak tadi memeluknya erat kemudian dasi dan satu kancing kemeja yang terasa mencekik.
Diedarkannya pandangan ke segala arah, mencari sesuatu yang dimasak oleh asisten bagian dapurnya itu.
"Apa yang dia masak, hari ini?" alisnya berkerut, menaruh serta gelas air di pantry, menarik kotak makan berisi potongan tempe dan tumisan capcay.
Dari tampilannya terlihat kurang sedap namun aroma yang menguar, membuat rasa lapar Loui semakin menggaruk-garuk kulit lambungnya.
Mau tak mau Loui mencomot potongan wortel, bercampurkan sosis dan sawi, juga goreng tempe dari sana.
Hap!
Satu kunyahan, dua kunyahan, lidahnya terasa nikmat hingga tak sadar Loui melahapnya hingga habis.
Oscar baru saja datang dari arah luar membawa serta Marriot yang baru saja mengambil pesanan beras milik Jani.
Keduanya menemukan Loui tengah lahap memakan makanan sisa Jani.
"Tuan, itu..."
"Marriot, apa yang kau masak ini? Tampilannya berantakan, tapi rasanya sedap. Sejak tadi aku lapar dan tak bisa makan, makanan sembarangan....ini lezat sekali, apa namanya?"
"Itu, nona Jani yang memasak," jawab Marriot menelan salivanya sulit ketika Loui tiba-tiba menghentikan kunyahannya dengan rahang mengeras.
Oscar menghela nafasnya kasar, takut jika Loui akan meledakan amarahnya, jika mengetahui itu adalah masakan Rinjani.
Alisnya terangkat naik menatap Marriot lalu tertawa tergelak, "yang benar saja, gadis itu? Memasak? Gadis itu hanya bisa bermain-main..." jawab Loui kembali tertawa sambil menghabiskan makanan sampai ke bumbunya bersama nasi.
Marriot hendak buka suara kembali, namun Oscar menahan ibu berkulit gelap itu dan menggeleng, "biarkan saja, ia harus melihatnya sendiri baru percaya." Ujar Oscar mengurungkan niatan Marriot.
Loui sampai bersendawa karena kenyang, dan meminta Marriot untuk memasak kembali makanan seperti tadi, sejauh memakan itu perutnya aman-aman saja, terkesan menerima dengan baik.
Rinjani bangun dari tidurnya, tak terasa hari mulai senja, itu artinya ia cukup lama tertidur siang ini. Setelah bersih-bersih, dan tak tau harus melakukan apa di mansion sebesar ini, akhirnya Jani lebih memilih menatap pemandangan luar jendela kamar, ditatapnya kebun bunga yang begitu indah dari atas kamarnya ketika netranya jatuh begitu saja pada halaman rumah Loui.
Karena rasa bosannya, Jani akhirnya turun dari atas kamar menuju kebun bunga yang terlihat menggemaskan nan indah dari atas sana, ditambah Mathew juga ada di bawah sana bersama Stainley, membuat Jani penasaran jika tak merepotkan Mathew.
Hanya berjalan-jalan saja, sekedar menikmati senja disini. Lumayan lah, anggap saja halaman rumah Loui ini taman kota, karena memang seperti itu gambarannya.
"Mat!" lambaian tangan Jani menghampiri.
"Apa bunga-bunga disini bisa kupetik, barang satu atau dua saja?" tanya Jani, pasalnya tangannya itu gemas sekali pengen acak-acak bunga-bunga yang sedang bermekaran.
Stainley dan Mathew menoleh, "bisa, nona. Tapi sebaiknya cari yang sudah benar-benar mekar..." ujar Mathew membantu Jani memilih bunga yang terhampar di depan mereka.
"Jani mau yang itu," tunjuknya ke arah samping kanan agak sedikit di dalam rumpun.
Mathew mengangguk menurut, lalu menolong Jani mengambilkan bunga dan memberikannya pada Rinjani, memancing senyuman hangat nan manis dari perempuan dengan dress putih selutut dan surai yang tergerai indah ini, ditambah perut yang membuncit membuat Jani nampak menggemaskan.
"Ahhh, makasih! Bagus, di Sukabumi bunga ini ngga ada, apa namanya?" tanya Jani menciumi bunga kecil berwarna keunguan itu.
"American Bluehearts...bunga langka yang hampir punah," jawab Mathew.
"Oh ya?"
Mathew mengangguk, "hanya bisa ditemukan di Amerika dan sekitaran provinsi Ontario Kanada saja."
"Wawww. Kerennn!" angguk Jani menatap kagum pada hamparan bunga, membawa rambutnya ke belakang telinga dan membungkuk ke arah hamparan bunga, "berarti kalo dijual mahal dong, yah?!" ujar Jani, Mathew terkekeh, "mahal. Memangnya apa yang mau nona beli, jika berhasil menjual bunga ini?"
"Mau beli pesawat jet pribadi..." jawabnya ngasal, "biar bisa keliling-keliling sukabumi, nantinya!"
Mathew hanya mengulas senyuman miring, tanpa sadar interaksi mereka diperhatikan oleh mata elang Loui di atas sana, "cih! Kampungan sekali, melihat bunga saja, senangnya bukan main..." cibir Loui dengan mata yang tak lepas menatap pergerakan Rinjani secara intens.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
mery harwati
Loui jangan bilang kamse u ya, tar kena karma makanan karedok baru tau kamu Loui 😃
2025-01-06
0
Putri Dhamayanti
semprullll 🤣🤣🤣🤣🤣
2024-08-31
0
Lia Bagus
beuh doyan bang
2024-08-22
0