Ia pernah merasakan rasa gugup seperti ini, persis kejadian tahun lalu, saat ia menderita sembelit. Pengen ampas keluar tapi ujungnya mesti ke ke klinik dan minta obat pencahar, malunya hingga ke ubun-ubun, menyesalnya hingga ke palung hati, ketika melihat alat pipih nan panjang sepanjang ruas jari yang kini dipegangnya.
"Ya Allah!" tubuhnya merosot ketika mendapati kenyataan pahit jika kini ada sesuatu yang tumbuh di dalam rahimnya. Garis dua itu adalah suratan takdirnya sekarang.
Jani tak dapat mencegah air matanya menetes, "ngga mungkin, ini gimana?!" ia bahkan menjambak rambutnya kencang di dalam sana, berkali-kali ia menggigit kuku jarinya bingung. Kejadian malam panas beberapa bulan belakang itu rupanya meninggalkan sesuatu.
Sudah terbayangkan jika sampai ama tau, tetangga tau, atau tempat kerjanya heboh karena perutnya membuncit mirip bu sung lapar, dan ada makhluk hidup di dalamnya, mati sudah!
Gadis itu mele nguh kasar, meski setelahnya ia keluar dari kamar mandi umum di sebuah rumah makan. Ia menyeka wajah yang cukup menyedihkan karena menangis lalu merapikan penampilan.
Jani berjalan seperti tak bernyawa, ia bahkan tak melihat arah kemana kakinya melangkah, sampai-sampai hampir tertabrak oleh kendaraan yang melintas di depan rumah makan.
Titttt!
Ia tersentak dan tersadar, "astagfirullah! Maaf pak...maaf!" Jani mengatupkan kedua tangannya memohon maaf.
"Woy, neng! Awas atuh jalannya, liat-liat pake mata!" hardik si pengemudi, "tetep aja kalo ketabrak mah, yang disalahin yang pake mobil!" sarkasnya lagi kasar.
Jani meringis merasa bersalah, meskipun gendok juga karena dimarahi sampai sebegitunya, namanya juga orang melamun pak! Mana sempat liat-liat jalan!
"Iya maaf pak. Saya liat jalannya pake mata batin soalnya," jawab Jani mendapatkan cebikan kesal dari si pengemudi.
Jani tidak langsung pulang ke rumahnya, rasanya ia tak sanggup melihat ama. Membayangkan betapa kecewanya ama, mendapati anak gadisnya hamil di luar nikah.
"Ya Allahhh, Jani teh harus gimana atuh?! Bu nuh diri aja gitu?!" dumelnya sendiri macam orang gila, ia duduk di pinggiran jalan, mana wajah kuyu dan semrawut, cocoknya sih bawa mangkok plastik sambil bawa karpet eceng gondok.
Gadis itu seperti manusia kebingungan yang abis diilangin akal sehatnya, dan pemandangan itu tak sedikit pun terlewatkan dari pengawasan anak buah Loui.
Stefan sempat ingin keluar ketika mendapati Jani hampir tertabrak oleh mobil, namun ia urungkan ketika mendapati Jani baik-baik saja, bahkan Jani membalas si pengemudi tak kalah sewot. Seram sekali di negara ini, orang salah itu lebih garang ketimbang orang yang di rugikan, brrrr! Ia bergidik.
"Apa yang sedang gadis itu lakukan?" alisnya mengernyit memperhatikan Jani yang tengah memegang benda pipih, bahkan bukan hanya satu, namun ada sekitar 4.
"Apa yang sedang ia pegang? Ia nampak kacau..." ujar Stefan, ia dan Paul saling lirik, memikirkan hal yang sama, meskipun masih dalam tahap menebak.
Kedua lelaki ini mengangguk dengan telepati keduanya.
Paul meraih jaket di jok belakang dan keluar dari dalam mobil, daripada penasaran, lebih baik ia melihatnya secara langsung.
Rinjani tak cukup peka dengan kehadiran orang asing diantara banyaknya orang berlalu lalang disana, pikirannya sedang mumet dan terlalu banyak memikirkan sesuatu terutama kesedihan dan ketakutan.
Setelah dirasa cukup dekat, Paul mencoba berpura-pura melintas di belakang Jani agar ia dapat dengan jelas mendengar dan melihat apa yang terjadi dengan Jani.
"Duhh, gimana ini!" Jani sudah merasa frustasi, ia bahkan kembali menitikan air matanya bingung sekaligus takut.
Dilemparnya tespeck itu ke arah tempat sampah yang ada di sekitar area itu, dan Jani melangkah lagi.
Paul menghampiri tempat sampah dimana Jani membuang barang yang sejak tadi gadis itu bolak-balik lihat demi melihat hasilnya.
Ia celingukan lalu mengambil dan menyembunyikan di balik saku jaketnya, kemudian kembali ke dalam mobil.
Stefan menoleh ingin segera tau, "benda ini yang sejak tadi ia lihat dan ia buang." tunjuknya pada kresek hitam yang diambilnya dari tempat sampah.
"Buka."
Paul mengangguk dan mengeluarkan isinya, pipih putih dengan gari dua. Mereka berbeda merk namun satu persamaannya, adalah garis merah dua yang ada disana.
"Benda apa ini?" tanya Paul, Stefak berinisiatif mencarinya di mesin pencarian di ponselnya.
Dan voalah!!! Itu adalah alat tes kehamilan, lalu hasil garis dua itu menunjukan kalau Rinjani positif sedang mengandung.
"What the f*ck! She is pregnant!"
Stefan segera melakukan panggilan pada Oscar. Betapa tidak Oscar ikut terkejut, ia bahkan memastikan jika Rinjani tak pergi dengan seorang lelaki manapun setelah pulang dari Amerika, pada kedua anak buahnya.
Kepalanya menyembul dari dalam air, dalam sekali gerakan Loui sudah berada di tepian kolam renang dan menarik bathrobe miliknya. Disambarnya gelas sloki di meja gazzebo seraya ia isi dengan isian botol kristal itu dan meminumnya, kemudian ia duduk di kursi gazzebo seraya menatap Oscar yang baru saja datang.
Aliran rum itu terhenti di tenggorokan, seketika jantung dan paru-paru Loui menolak menerima minuman memabukan itu saat mendengar laporan dari Oscar tentang apa yang terjadi dengan Jani.
"Hati-hati kau berbicara, Oscar!" sentaknya bangkit dari duduknya. Tanpa banyak berbicara, Oscar menunjukan foto dari alat tes kehamilan milik Jani yang dikirim kedua anak buahnya itu.
Loui mencebik, "apakah itu anakku? Bisa saja gadis itu pergi dengan lelaki lain dan melakukannya juga," jawab Loui bergidik acuh.
"Stefan dan Paul mengikutinya bahkan sejak gadis itu masih di bandara." Jawab Oscar, "tak sekalipun mereka melihat Rinjani bersama lelaki lain."
Loui mendengus geli, "siapa namanya? Rinjani? Jelek sekali..." cibirnya, kemudian ia kembali berpikir, "apakah benar, itu anakku? Ck! Rasanya tidak mungkin."
Oscar menghela nafasnya, kenapa dengan bosnya itu, mendadak jadi orang be go, bukankah ssjak awal ia yang menyuruh Oscar dan anak buahnya yang lain karena ketakutan jika Jani mengandung benihnya, lalu sekarang giliran kenyataan itu terjawab ia sendiri yang menyangkal, maunya itu apa?!!!
"Kau bisa lakukan tes DNA nantinya tuan," balas Oscar memberikan solusi.
"Jika itu benar anakku? Aku tak mau menikahi gadis itu, apalagi memiliki keluarga, Oscar." Jawab Loui berdiri kembali dan berjalan ke ujung tepian kolam, melihat cerminan dirinya di permukaan air.
"Kau bisa membuat perjanjian dengannya, tuan."
Loui menoleh ke belakang, "perjanjian?!" alisnya berkerut.
Oscar mengangguk, "jika ia mengandung anakmu, kau tidak perlu takut jika kartel ini jatuh pada orang lain, namun pada penerusmu sendiri..." usul Oscar.
Loui sedikit berpikir, tapi kemudian ia mengangguk, "kau benar juga! Cerdas! Bonus mu akan ku kirim sebentar lagi!" balas Loui, "kalau begitu pesankan aku tiket ke tempatnya," titah Loui di bungkuki Oscar, "siap tuan."
"Oh ya, satu lagi! Suruh Luis membawa potongan buah-buahan tropis kesini, rasanya lidahku ini pahit sekali....apakah rum ini palsu?!" tanya nya mengangkat gelaa sloki itu dan mempertanyakan keaslian isinya.
"Jangan-jangan sudah kau isi dengan racun atau cairan guna-guna agar aku suka padamu?!" tuduh Loui pada Oscar namun kemudian Loui tertawa akan leluconnya padahal Oscar pun tak ingin tertawa untuk itu.
Oscar memutar bola matanya jengah, bagaimana bisa pimpinan mafioso bisa sekonyol Loui!
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Putri Dhamayanti
hahaha yg ngidam so loui
2024-08-31
0
Lia Bagus
wah loui ngidam dong 😅😅
2024-08-22
0
Vivo Smart
daebak... pemimpin mafia tau guna guna
2024-06-24
0