Rinjani belum percaya sepenuhnya, ia memeriksa dompet dimana serpihan harga diri tersisa selembar uang kertas merah dan hijau.
"Ck. Kalo dipake periksa, abis uang Jani. Besok masih tanggal 27...masa udah kasbon duluan sama teh Enur." Terkadang begini bingungnya jadi orang susah, sana--sini mentok, kalo udah di akhir bulan, nafas kaya ikut-ikutan mpot-mpotan.
Tapi jika tidak periksa? Ia akan dibayangi rasa takut dan tak pasti. Jani mengangguk yakin, buat besok...gimana besok aja, kalo perlu ia akan puasa saja, cuma makan nasi garem.
Meski langkahnya ragu, Jani menghembuskan nafas beserta seluruh keraguan, membubuhkan namanya di daftar pasien dokter kandungan.
.
.
Nama : Ny. Rinjani Odelia
Usia : 21 tahun
Usia kandungan : 6 week 5 day
Jani benar-benar dibuat hancur seketika, saat kenyataan yang lebih valid lagi menggebrak kesadarannya.
"Harus bilang apa sama ama, hiks...hiks..." selembar foto usg di tangannya berukuran foto dompet, menunjukan bulatan seperti gelembung udara di dalam rahim Jani.
Tawa beberapa remaja sekolah tak membuat Jani ikut merasakan kebahagiaan mereka, karena jelas-jelas kini hidupnya telah hancur. Ia menyugar rambut yang telah lepek plus bau ikan asin sampai ke belakang.
"Mikir Jani...mikir!" gumamnya menghela nafas, menangis tak akan menjadi solusi tepat untuk masalahnya sekarang.
"Oke. Jani masih punya waktu sampe perut Jani buncit...." ia segera menghapus jejak-jejak air matanya, jangan sampai ama tau untuk saat ini, biarlah waktu yang menjawab. Ia memasrahkan semuanya pada Tuhan. Sempat terpikirkan jalur abo rsii, tapi memikirkan resiko dan biayanya, kembali Rinjani hanya seorang rakyat jelata.
Menyusul ayah dari anak ini? Besyandaaa! Jangankan berhadapan dengan Loui, masuk distrik yang bak kampung negara beling saja ia tak mau! Lagipula, ia dapat tebak 99 persen Loui akan bertanggung jawab, bagi orang luar s3xx itu adalah hal lumrah, bahkan dengan orang yang baru kenal saja.
Jani merapikan kaos dan menariknya, masih rata kan? Ia melirik perutnya yang udah diisi onde, baso, nasi plus gorengan itu.
"Assalamu'alaikum..." Jani pulang ke rumahnya.
****
"Bagaimana tuan, apakah pertemuan dengan tuan Caster kita lanjutkan?"
Howekkkk! Loui masih saja sibuk dengan urusan perutnya yang terasa seperti dirasuki oleh angin puyuh, seperti berputar-putar dan dire mazzz.
"Apakah perlu ku panggilkan dokter Yas?"
Loui mendelik sinis membasuh mulutnya pada Oscar, "tak perlu. Aku tidak semanja itu." Loui menyalak seraya merapikan tampilannya lagi di depan cermin, ia harus bertemu dengan tuan Caster atas perjanjian kerja sama keduanya dalam usaha menyelundupkan senjata ilegal ke kawasan rawan perang.
"Aku turun sebentar lagi, beritahu saja tuan Caster jika kita sudah siap bertemu dalam 10 menit lagi," ucapnya diangguki Oscar, "baiklah."
Sepeninggal Oscar, Loui menatap pantulan parasnya di cermin, "yang benar saja. Kenapa denganku? Apa karena alkohol yang ku konsumsi?" ia mendengus geli, "yang benar saja. Selama puluhan tahun aku mengonsumsi aku baik-baik saja..." jawabnya sendiri. Sudah seperti orang tak waras, bertanya sendiri, menjawab pun sendiri.
Loui berjalan bersama Oscar dan beberapa anak buah kepercayaannya, pertemuan yang telah mereka tentukan waktu dan tempatnya itu, selalu jauh dari prediksi dan endusan polisi.
Kedua kubu yang bertemu di sebuah gudang kontainer di pelabuhan membuahkan keuntungan bagi masing-masing pihak.
Caster menjabat tangan Loui yang terbungkus sarung tangan kulit, "senang bekerja sama dengan anda, mr. Loui."
Loui mengangguk sekilas dengan ssnyuman yang tersungging miring tanpa banyak berkata seperti biasa, itu sebabnya ia mendapat julukan mafioso dingin karena tak pernah banyak bicara dengan lawan bisnisnya, apapun ia serahkan pada Oscar sebagai jubirnya.
Oscar dan Stainley memeriksa koper dengan tumpukan dollar yang tersimpan rapi sebagai barang tukar mereka yang telah memasok persenjataan para serdadu ilegal di tanah rawan perang dunia.
Deretan anak buah yang dipersenjatai senpi mengelilingi menjadi pengamanan transaksi gelap itu, hingga akhirnya setelah tuan Caster tersenyum puas, Loui beserta rombongan pamit undur diri duluan.
"Bagaimana dengan tiketku ke Indonesia?"
Oscar mengangguk, "sudah di refund kembali untuk jadwal besok tuan," Oscar terpaksa harus menjadwalkan ulang keberangkatan Loui ke Indonesia karena kondisi Loui yang mendadak memiliki penyakit aneh, mual dan muntah di pagi hari.
"Apa gadis itu diam-diam mengirimkan sihir padaku? Karena aku telah merenggut kehormatannya sampai hamil?" Loui bertanya pada Oscar yang meliriknya dari samping, seolah Oscar malas menanggapi celotehan gila lainnya dari Loui, sejak kapan mafia kenal santet, coba!
"Bagaimana Stefan dan Paul?" tanya Loui lagi.
"Stefan dan Paul masih berada disana mengawasi Rinjani," jawab Loui memancing lengkungan di bibir Loui.
"Jani," ama memperhatikan Jani yang belakangan ini senang memakai kaos besar hingga hampir menenggelamkan dirinya.
"Ya, ma?" Jani menoleh sesaat setelah ia mandi, hendak bersiap bekerja.
"Badan kamu teh berasa lebih berisi," alis ama mengernyit demi memastikan sesuatu yang ia ingat-ingat lupa!
Sontak Jani bagai disambar petir waktu lagi rebahan, "ah masa sih, ma? Engga ah! Gendutan karena Jani suka jajan baso, kali ma." jawabnya buru-buru masuk ke dalam kamar, takut jika amanya semakin memperhatikannya dan tau akan kebohonganny.
Jani segera menutup pintu kamar dan menguncinya, "kayanya Jani udah ngga bisa bohong lagi sama ama," ia menghela nafasnya dalam.
Apakah ini waktunya ia bilang pada ama? Jika ia sedang.....argghhh! Ngga tega!
Jani menyegerakan berpakaian lalu bersolek sedikit.
"Jannnnn," Tita memanggilnya dari arah depan berniat berangkat bersama ke industri ikan asin rumahan teh Enur.
"Iya! Tunggu!"
Eh, Ta. Sok masuk dulu atuh, udah sarapan belum? Tanya ama pada Tita yang tertangkap oleh pendengaran Jani di depan sana. Dengan segera Jani memoleskan liptin dan keluar mencangklok tas di pundak.
Udah, bi. Ngga usah repot-repot!
"Yu Ta!" ajaknya buru-buru, menghindari kembali pandangan ama yang sudah pasti akan membahas berat badan.
"Ama, Jani berangkat dulu...." pamitnya menggusur Tita yang masih asik berbicara dengan ama.
"Eh Jan! Kalem atuh kalem!"
"Bi, Tita sama Jani kerja dulu," ijin Tita. Ama melambaikan tangannya merasa ada yang aneh dengan putrinya.
"Jani kenapa sih?"tanya ama bergumam seraya memperhatikan lekat-lekat badan belakang Jani yang teelihat semakin sekal.
.
.
"Jan, kamu teh berenti dulu jajan basonya. Makin gede tau ngga, nimbun lemak!" ujar Tita diantara sapuan angin laut.
Jani mengangguk, "iya kayanya. Makin melar gini..." kekehny garing.
"Iya ih, bukan melar lagi. Kaya orang hamil!" celetuk Tita tertawa kencang, padahal Jani sudah terkejut mendengarnya, jangankan tertawa, berjalan pun rasanya kaki Jani mendadak lemas.
"Jan, buru ih! Kaya ngga tau teh Enur aja, kalo telat suka ngomel!"
Jani tersadar dan menyusul langkah yang tertinggal, sebenarnya tempat kedua gadis ini bekerja tak jauh. Tapi terkadang Tita selalu membawa motornya dan Jani numpang, namun hari ini tidak, "masih di bengkel si oyen?" tanya Jani.
"Iyalah! Ini makanya jalan kaki, cape geningan jalan teh, yah?!" keluhnya.
Obrolan mereka terpaksa terhenti melihat rumah berpagar putih teh Enur mendadak ramai mirip di datangi artis Hollywood.
"Eh, ada siapa sih? Konsumen teh Enur?" tanya Tita seraya saling melirik dengan Jani yang mengernyitkan dahi, "ngga tau, kayanya pembagian sembako kali, Ta," ujarnya sekenanya.
"Wah, mesti kebagian atuh Jan! Buru ah jalannya dikebut takut keabisan sembako!" Tita menarik tangan Jani agar berjalan setengah berlari. Namun ketika mereka sampai di dalam, Jani merasa ada yang tak beres, pasalnya ia melihat orang-orang bule dengan wajah tak asing berada di carport rumah teh Enur.
"Kaya kenal..." gumam Jani melihat salah satunya, sontak saja ramai, kedatangan mereka mirip-mirip presiden blusukan, mana pengawalnya ganteng-ganteng. Kalo presiden bisa dipahami sidak komoditi yang dihasilkan, atau sambil kampanye. Lah ini! Cowok buke keren-keren datang ke home industry ikan asin mau ngapain?
Tita melirik seraya mencebik, "ah, so tau. So kenal! Kamu mana ada kenalan bule, banteran kenal mang Ujang," tawa Tita mencibir.
"Apa jangan-jangan...." Jani semakin penasaran dengan itu.
"Jani!" teh Enur sebagai empunya rumah memanggil Jani yang tengah menjamu dan menemani tamunya itu seraya melambaikan tangannya, secara otomatis semua mata memandang Jani termasuk para lelaki bule di luar itu.
"Jani, teh?" ia menunjuk dirinya sendiri setengah be go.
"Iya!" teh Enur terlihat tersenyum pada seorang pria yang membelakangi tanpa mau menoleh.
"Jan, ada apa? Itu tamu kamu?" tanya mang Encep tak percaya.
Jani menggeleng tak mengerti, "ngga tau."
"Kenapa teh Enur manggilnya kamu, Jan?" tanya Tita, kembali Jani menggeleng tak mengerti, "ngga ngerti, mau ngasih sembako duluan kali..." kekehnya berjalan masuk ke dalam rumah.
"Kenapa teh?" Jani mendekat meski tatapannya masih pada kedua lelaki disana, yang menoleh membuat Jani terkejut lalu menghentikan langkahnya.
Mata Jani membeliak.
"Mereka cari kamu, Jani..."
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
DozkyCrazy
rasssa luuu
2024-11-16
0
Qaisaa Nazarudin
masih gak ngaku juga anak kamu..Rasain tuh,mending kamu yg merasakan ngidam nya jangan Jani..kasihan Jani kalo sampai orang2 tau kalo dia LG hamil..
2023-12-16
0
Qaisaa Nazarudin
Bukannya waktu di Amrik umurnya 20 tahun ya??Katanya "Mahkota yg dia jaga selama 20 tahun sudah terenggut " gitu kan ya tadi kalo gak salah..🤔🤔
2023-12-16
0