Satu yang ada di benak ama, setan apa yang merasuki anaknya itu hingga memutuskan untuk menjadi tkw di Amerika cuma buat nyari dollar.
"Mau kerja apa kamu teh disana, neng? Sampe tega ninggalin ama sendiri, disini?" tanya ama menatap Jani dengan sorot mata getir, ketika Jani menyibukan diri dengan memasukan baju-bajunya, padahal Loui sudah melarangnya. Jika hanya untuk pakaian, ia bisa membelikan Jani beserta dengan pabrik-pabrik tekstilnya sekalian.
Dagang asin jambal, yang benar saja!
"Ya kerja, ma. Ma..." Jani duduk bersimpuh di bawah kaki ama denvan menatap penuh hormat dan sayang, "ama jangan khawatirin Jani disana, Jani tau ama takut karena liat si akang borokokok di depan. Meskipun tampangnya kaya bapaknya si jampang, ngomongnya was--wes--wos bikin ama pusing karena ngga ngerti, natap orang kaya rampok, tapi insyaAllah dia calon bos yang baik..."
Ekhem, benak Jani berdehem kencang hingga terdengar sampai langit. Karena kebohongan mutlaknya yang memuji-muji si borokokok, biar ama tenang.
"Buktinya dia sampe nyusulin Jani kesini, gaji disana gede, ma...coba bayangin kontrak Jani disana cuma 10 bulanan. Tapi nanti pulang bisa bawa uang sekarung. Ama mau naik haji? Mau bangun rumah kaya punya teh Enur atau ama mau bukan usaha konveksi bisa...do'ain aja Jani disana baik-baik aja, sehat selalu." seketika tenggorokannya tercekat saat harus berpamitan.
Ama mencium kening Jani, "do'a ama selalu mengiringi langkah Jani..."tangisan itu adalah do'a dan harapan dari seorang ibu untuk putrinya.
Secara tak sengaja moment haru itu terintip jelas oleh netra Loui yang duduk di kursi ruang depan. Rumah Jani memang kecil, bahkan ia tak memiliki ruang keluarga, jadi tamu langsung saja masuk ke ruang depan dan tersambung dengan pintu kamar Jani yang sedikit memperlihatkan celah.
Mendadak Loui mengingat dirinya dulu, dulu sekali. Ia pun hampir lupa, ketika ia berada di panti asuhan dan adegan itu selalu ia lakukan bersama para perawat dan biarawati disana, terasa hangat seperti sentuhan ibu yang langsung menyentuh hati kecilnya.
"Pak Lou, tolong titip anak saya. Jangan sampai disakiti...." ucapan ama menyadarkan lamunan Loui, nyatanya kedua wanita itu sudah berada di hadapannya yang duduk bersilang kaki, jujur saja kursi rumah Jani ini, ingin sekali ia melemparnya ke laut saking kecil, sempit dan jeleknya.
Loui menatap Mathew meminta translate sebab tak mengerti, namun belum Mathew berucap Jani sudah memotongnya dengan translate berbeda makna.
"Maksud ama saya, Jangan sampai saya disakiti apalagi dibunuh, kalo ngga mau nantinya mister dikeroyok emak-emak pake centong nasi. Terus dikirimi vodoo!"
Mathew tertawa mendengarnya, ia segera melipat bibir kencang-kencang dan langsung dibalas desisan sinis Loui.
"Ya."
Tak ada acara pamit sampe lempar kembang apalagi lempar uang kaya saweran, Tita yang sudah merengut memeluk Jani ketika sebuah mobil hitam mewah Loui hampir menelan Jani.
"Hati-hati kamu disana, Jan. Cepet pulang, bawa duit banyak!"
Jani tak banyak bicara, takut jika ujungnya mewek apalagi di depan si borokokok. Ditatapnya Ama, wa Idu dan beberapa orang lainnya termasuk teh Enur, "Jani berangkat, ma. Mohon do'a restunya..." Jani menenteng tas berisi pakaian dan masuk ke dalam mobil.
Loui ikut masuk ke samping Jani, dan beberapa kali netranya menangkap Jani yang menoleh sambil melambaikan tangan di dekat kaca mobil Loui ke arah orang-orang.
Jani harus kembali ke negara ini, dimana seharusnya ia melupakannya.
Ia terlelap cukup lama, bahkan beberapa kali terbangun karena transit dan harus ke kamar kecil ia kembali tertidur. Sementara Loui dengan susah payah harus menahan rasa mual yang bergejolak di perutnya.
Oscar membawa mobil dengan kecepatan bak kilat bahkan Jani hampir terbanting-banting jika tak memakai sabuk pengaman, persis orang mau boker tepatnya si Oscar ini.
Selintas Jani mengingat tempat yang dilewati. Jalanan yang waktu lalu lewati untuk lari dari Loui waktu lalu, seketika ia menelan salivanya sulit, apakah ia akan baik-baik saja disini? Lalu tatapannya jatuh ke arah perut buncitnya dan mengusapnya, yeah! Selama ada dia di perutnya, Jani akan baik-baik saja.
Loui menoleh dan melihat itu, "apa kau sudah memeriksanya? Apa dia baik-baik saja?" tanya nya. Jani mengangguk mengiyakan, lalu pandangannya kembali ke arah luar jendela.
Mansion ini, Jani kembali ke mansion ini. Seperti sebelumnya, banyak pengawal berpakain rapi di dalam sementara di luar tadi orang berpenampilan preman berjejer jadi penjagaan ring 3 dan 2.
Kemungkinan untuk kabur itu sepertinya hal yang mustahil mengingat begitu ketatnya penjagaan disini, Jani cukup dibuat penasaran dengan pekerjaan Loui, apakah ia petinggi negara sampe-sampe harus di jagain ketat kaya harimau Sumatra yang hampir punah.
Langkah Loui berhenti di ruang tengah rumah yang lebih mirip seperti ballroom hotel. Sepertinya jika hanya ia saja yang tinggal ditemani para anak buah yang jarang masuk ke area ini, Loui cukup boros, kenapa ngga dibikin jadi yayasan atau panti asuhan saja?
Rinjani mengedarkan pandangan ke sekeliling, cocok disewain buat acara hajatan, pasti laku. Interior ruangan jelas mengambil latar drama kolosal, pasalnya Jani merasa jadi si juliet atau mungkin putri bangsawan jamannya robin hood dagang semen.
Ia masih berdiri di tengah ruangan, ketika Loui justru duduk bersilang kaki dan menyulut rokok, meminta asisten rumah tangganya untuk mengambilkan minum.
Jani melihat sosok lelaki yang kini membawakan minum, sepertinya disini tak ada sosok perempuan sampe asisten rumah tangga saja lelaki.
"Duduk." pinta Loui pada Jani. Sebotol air mineral tersaji di meja depan Jani sementara yang Jani lihat Loui meminum air keruh kekuningan dengan bau wangi namun menyengat.
"Tak ada aturan berarti selama kau tinggal disini, lakukan apapun sesukamu. Hanya saja, jangan mencampuri urusanku dan kau dilarang mengetahui apapun yang penghuni disini lakukan, mengerti?"
"Cuma itu? Gampang." ujar Jani meremehkan, diangguki Loui.
"Jika aku ingin pergi, berbelanja, atau periksa kandungan?" tanya Jani.
"Mathew akan mengantarmu," balasnya lagi, menyudahi obrolan dan beranjak pergi dari sana. Oke, sampai sini Rinjani dapat melihat jika ia bertanggung jawab atas janin yang dikandung Jani, hanya itu, tanpa cinta tanpa rasa berlebih. Tapi Jani tak peduli, toh ia pun tak menggunakan perasaannya.
"Rinjani, ikut saya..." ucap Mathew mengantarkan Jani menuju kamar yang akan dihuni. Setiap langkah yang diambil nyatanya membuat Jani penasaran akan setiap pintu ruangan yang dilewati, celaka ia penasaran! Bak menelan ucapannya sendiri.
"Suthh..Mat." bisiknya memanggil dan menyamakan langkah besar Mathew dengan sedikit tergesa, gila saja langkah Mathew sebaiknya ia ikut melamar jadi atlit jalan cepat saja!
Mathew menoleh, "ada yang kamu butuhkan, nona?"
"Emh, bukan itu. Sebenarnya aku hanya ingin bertanya. Apa pekerjaan Loui?" Jani sampai harus berbisik saking takutnya, jangan sampai Loui benar-benar menembaknya kali ini.
Mathew hanya menarik senyuman miring, "poin pertama dan kedua nona, aturan yang sudah tuan Loui sebutkan tadi, jika anda dilarang untuk mencampuri urusannya dan mengetahui apapun yang dilakukan para penghuni disini termasuk tuan Loui sendiri."
"Jika saya jadi nona, maka saya akan bersikap pintar untuk tidak penasaran. Cukup nikmati saja fasilitas yang telah disediakan tuan Lou, dan pikirkan bayi yang sedang anda kandung."
Bibirnya manyun kecut mendengar jawaban Mathew, "cuma nanya doang, kalo ngga mau jawab juga ngga apa-apa." dengus Jani bergumam.
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Inonk_ordinary
ntar mati muda
2024-07-24
0
Efrida
kerjaannya dagang cilok dia mknya byk duit 😂😂😂😂
2023-12-16
1
lestari saja💕
yaa kali jani bakalan anteng2 bae
2023-11-29
0