Stainley bersama beberapa anak buahnya yang lain bercengkrama seraya menunggu di luar hotel, mereka bahkan merokok sambil berdiri bersandar di pintu mobil.
Seketika Stainley dibuat menegang melihat sosok gadis yang seharusnya sedang dikerjai oleh bosnya justru melintas bebas di depannya sambil mabuk.
"Si alan!" ia segera membuang puntung rokok dan berlari masuk ke dalam, baru saja ia menyulut batangan tembakau yang semestinya dapat membuat otaknya bisa santai barang sejenak, tapi celaka! Jika begini caranya maka setelah ini ia harus merelakan diri bahkan mungkin nyawanya sendiri menerima amukan dari Loui.
Rinjani tak berdaya dibuatnya, tangisan membawanya ke alam tidur.
Loui menuntaskan hazratnya di dalam sana, lalu berguling ke samping Jani. Ia menyunggingkan senyuman tak percaya jika ber cinta dengan j@ lang macam Belle bisa senikmat ini.
Loui tanpa repot-repot melihat ke sampingnya segera bangkit, ia yakin jika Belle sudah terlelap karena kelelahan akibat ulahnya.
Niat hati melihat wajah menyedihkan dari adik Blue Anderson seraya menatap puas penuh kemenangan, Loui segera menyalakan lampu kamar.
Cetrek!
Loui mematung di tempatnya, melihat wajah cantik nan pucat yang memejamkan matanya di atas ranjang, bahkan tubuh Rinjani masih bulat karena ulahnya, "siapa dia?"
Paras cantik Asia dengan rambut yang sudah acak-acakan itu jelas bukanlah Belle. Loui mendekat demi memastikan jika matanya tidak sedang gangguan.
"Dia bukan Belle," lirihnya.
"Badji ngan! Seharusnya aku tau itu saat tadi merasakan keganjilan!" Segera Loui memakai kembali pakaiannya dan keluar meninggalkan kamar Jani. Tangannya menscroll nama Oscar dengan wajah yang telah menahan rasa marah.
Rinjani merasakan pegal sekujur badan, seperti habis ditin dih gajah! Ia mengerjap dengan mata yang teramat lengket karena matanya menangis semalam, mungkin juga air mata itu bercampur padu dengan belek dan maskara.
Pikiran yang masih belum ngumpul sepenuhnya harus kembali tersadarkan dengan kenyataan pahit jika dirinya sudah diperawanin orang asing, tunggu! Kemana lelaki pendosa itu?! Apakah ia ditinggalkan begitu saja? Setelah di perk osa?! Jani segera bangkit dan mendapati dirinya masih bulat sempurna kaya bayi baru brosot.
"Ya Allah...." ia merosot di samping kasur dan menekuk lututnya, menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Apakah kini ia harus seperti pemeran utama di film-film, yang memilih bunuh diri menenggak cairan pembersih toilet? Kalau langsung mati, kalo justru bikin ia menc ret-menc ret? Auto masuk rs. Perutnya kan setrong, kalo cuma pembersih toilet lambungnya ngga akan rusak semudah itu.
Mati kagak, malah ngutang numpuk! Ataukah ia mesti potong urat nadi di tangan? Kalo langsung mati, kalo Allah masih ngasih waktu buat hidup yang ada dia mesti berobat dan operasi ke RS, mati kagak malah makin pusing karena biaya operasi! Arghhhh!
"Hiks...hiks...!" Jani menarik selimut dan masuk ke dalam kamar mandi, mandi di bawah guyuran shower persis drama India, namun nyatanya baru setengah jam badannya sudah menggigil! Yang ada ia meriang, ujungnya nyusahin Sisca. Pengen mati aja seribet itu!
"Terus Jani mesti ngapain sekarang?" ia menatap wajah kuyu dan pucatnya di cermin persis mayat hidup, netranya menyipit melihat tanda merah bahkan kebiruan hasil keganasan si lelaki malam tadi terhadapnya. Jika ia melapor pada Sisca atau pihak KBRI bukan tidak mungkin akan menggegerkan kampung, terbayang betapa gosip itu akan menyebar luas bak virus.
"Ama...." lirihnya, memikirkan sang ibu yang sudah pasti akan jadi beban pikiran untuknya kalau tau Jani disini dizolimi orang. Lagipula apakah ia yang notabenenya bukan siapa-siapa, hanya rakyat jelata akan bisa mendapatkan keadilan di negri orang? Ia tak punya bukti untuk menyeret orang tersebut, ia juga tak tau siapa dia.
Tok...tok...tok...
"Rinjani..."
Jani dikejutkan dengan suara ketukan pintu bersamaan dengan Sisca yang memanggilnya.
"Iya!"
Jani membuka pintu kamarnya, "let's go to trip!" seru Sisca sudah siap dengan tas punggung kecilnya, namun wajah riangnya mendadak memudar melihat wajah pucat Jani, ia terlihat seperti orang....
"Kamu sakit?" tanya Sisca, hanya senyuman kaku yang ditunjukan Jani sekaligus nyengir yang dipaksakan, "Jani agak pusing kak Sis."
"Yahhh, masa udah sampe Amrik, malah sakit.. Jadi gimana nih? Coba keluar, siapa tau nanti baikan pas makan sama cari kopi?!" alis Sisca naik turun memberikan penawaran.
Jani lama menatap Sisca, wanita itu ada benarnya, menghirup udara luar seraya meneruskan tujuannya kesini, siapa tau bisa membuat hatinya tenang dan melupakan kejadian semalam.
"Oke, kak. Tunggu bentar, Jani ganti dulu baju..." jawabnya.
Sudah ia duga, ia akan habis oleh bosnya itu.
"Bodohh!"
Stainley sudah babak belur dihajar oleh Loui, begitupun Oscar yang kena getahnya, "bagaimana bisa, pantauanmu lolos dari satu ja\*lang macam dia! Kau taruh dimana, mata dan otakmu itu!"
Bughh!
Kembali Loui menyarangkan bogeman mentahnya di perut Stainley, sampai-sampai sang anak buah memuntahkan isian perutnya di lantai parkit ruang kerja Loui.
"Bawa dia keluar! Dan bereskan semua muntahannya!" titahnya pada anak buah lainnya, Loui keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang dipenuhi dengan wajah Jani. Dengan segera para bawahannya itu mencari mop dan membereskan semuanya sebelum sang bos marah kembali.
"Oscarrrr!!!" teriaknya memanggil, padahal Oscar masih terbaring karena tonjokan dan tendangannya.
"Kali ini jangan kecewakan aku, cari tau siapa wanita yang sudah kutiduri itu!"
Oscar tergopoh-gopoh bangkit dan berlari diantara lantai berkarpet mahal itu, "siap.."
Loui menatapnya dengan alis tebal yang menukik, "sebaiknya kau cepat, karena feelingku mengatakan jika dia adalah orang Asia yang sedang berlibur disini. Dan kau tau...."
"Feelingku tak pernah salah," Loui memutar badannya untuk kemudian masuk ke dalam kamarnya dan bersih-bersih, rasanya badannya itu terasa lengket karena penyatuan semalam.
Oscar terduduk lemas disana, menyenderkan sebentar punggungnya di tembok, "shittt! Gara-gara Stainley, aku jadi ikut dihajar Loui!"
Ia merogoh ponselnya, meminta beberapa anak buah menyelidiki tentang wanita di hotel Manhattan semalam, dan hanya dalam kurun waktu kurang dari 30 menit saja, Oscar sudah mendapatkan informasi berharga.
.
.
Jani sedang berada di deretan pertokoan streetfood kawasan Manhattan square sekarang, asap mengepul dari hotdog jumbo yang sedang dipegangnya.
"Jan, kenapa? Ngga suka hotdog ya? Mau cari nasi?" tanya Sisca duduk di kursi depan yang dipayungi langit pagi kota ini, hanya hotdog dan secangkir espresso namun inilah gaya hidup menengah ke bawah masyarakat disini.
Jani menggeleng, "suka, insyaAllah selama halal kak." Jawabnya menatap hotdog di tangannya, padahal biasanya cuma natap nasi hangat pake garem aja udah naf suuu, tapi ini...diliatin sosis gede sepaket roti panjang besar dan saus meleleh lebih mirip....
"Astagfirullah! Pikiran Jani ngeres kemana-mana ini!" serunya menggelengkan kepalanya, kenapa ia jadi merasa kalau milik lelaki semalam itu macam sosis yang berada di antara jepitan roti. Dasar otak sableng!
Mendadak ia merapatkan pa ha, merasakan kejadian semalam yang cukup menyakitkan, si alnya milik lelaki semalam seperti masih tertinggal di dewinya.
"Kenapa Jan?" tanya Sisca cukup tersentak meski mulutnya masih sibuk mengunyah hotdog.
"Engga---engga kak," tukasnya cepat.
"Eh, sorry...leher kamu kenapa, merah-merah gitu, alergi?!" Sisca mendaratkan pandangan pada leher Jani yang bikin gagal fokus, karena kemarin rasanya warna merah itu belum ada mengingat Jani mengikat rambutnya.
Jani membeliak, "ah, iya kak. Kayanya cuaca disini bikin Jani gatel-gatel, harus adaptasi..." ia mengehkeh sumbang dan segera melahap hotdog dengan sulit, naf suu makannya mendadak hilang entah kemana, bahkan Jani sampai mendorong kunyahan roti isi itu dengan espresso miliknya.
"Uhukkk---uhuukkk!" Jani terbatuk.
"Eh, kenapa?!" Sisca ikut terkejut, sarapan roti aja kok ya hebohnya ngalahin makan beling!
"Pait," ujar Jani mengelap dagunya yang kotor karena kopi, ia sampai memuntahkan kunyahannya, hingga matanya sempat menangkap beberapa sosok pria misterius yang memperhatikannya di arah depan, terhalang beberapa meja namun Jani dapat melihat jika sejak tadi lelaki itu menatapnya penuh selidik.
"Kak, pindah yuk! Jani ngerasa ngga nyaman disini..."
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
DozkyCrazy
Jani kerren 👏👏👏 untung gak gilaaa
2024-11-16
0
Putri Dhamayanti
biaya...ooh biaya 🤣
2024-08-30
0
Putri Dhamayanti
serah jani ajalah 🤣
2024-08-30
0