Selepas kepergian Mathew dari kamarnya, Rinjani menurunkan tas pakaian lalu mengedarkan pandangan ke setiap inci dari kamar yang ditempatinya.
"Bagus.." bahkan lebih bagus dari kamar di rumahnya, atau bahkan rumahnya di kawasan pesisir....
Mirip bocah tk yang diajak nginep di hotel terus takjub dengan pemandangan, maka itu yang Jani lakukan. Bukan karena ia yang kampungan tapi sungguh pemandangan di kamar belakang ini cukup sedap di pandang mata. Ia menaikan lututnya di atas sofa yang sengaja dibuat didepan kaca jendela.
"Ck..ck...ini hotel atau apa sih?" gumamnya menatap halaman rumah yang asri sedang diurus oleh tukang kebun dari balik kaca jendela kamar, meskipun tidak menempelkan dahi apalagi batang hidung di kaca tapi bunga-bunga itu tetap terlihat jelas sampai ulat yang menempel pun terlihat dari sana.
Ada taman bunga mawar merah dan beberapa bunga kecil berwarna keunguan, entah apa namun sangat cantik karena mereka tumbuh bak rumput dan cukup banyak dibawah sana.
Hanya saja kecantikan sekelompok bunga di bawah itu harus terdistrack oleh orang-orang berpakaian preman yang berjaga sambil menyelipkan revolver di pinggang mereka.
Rasa tenang Jani terusik dengan sosok mereka, siapakah Loui sebenarnya? Rumahnya terlalu bagus untuk dihuni sekelompok orang bersenjata. Apakah pekerjaan Loui semacam agen rahasia? Seperti di tv tv, ataukah justru ia seorang.....mafia? Sindikat kejahatan?
Jani menepis semua rasa penasarannya dengan menyudahi acara melihat halamannya dan merangkak ke atas ranjang saja, mendadak matanya itu berasa digelayuti bapaknya kingkong, berat tak ada obat! Memang belakangan, sejak ia merasa tubuhnya itu sedang tak baik-baik saja, Jani jadi mudah mengantuk.
Jani berdecak kesal, sudah 2 jam sejak bangun, ia hanya berdiam di kamar, sesekali mengagumi interior kamar ataupun sekedae duduk menatap keluar jendela layaknya tahanan.
Tak bisa, Jani tak bisa begini. Kakinya gatal, tangannya geli jika tak melakukan apapun.
Ia keluar dari kamar seperti tikus yang baru saja keluar lubang mencari makan.
"Kuburan nih," gumamnya melihat jika kondisi rumah ini sepi bak kuburan. Ia berjalan melewati koridor lantai 2 yang dialasi karpet, "eh," ujarnya menunduk melihat kaki yang terbalut flatshoes andalan, kemudian ia mencopot sepatu yang hampir aus bagian bawahnya itu dan retakan di sekitar depan akibat terlalu seringnya dipakai, lalu Jani menentengnya begitu saja sambil melanjutkan langkah dengan bertelan jankk kaki.
Seorang anak buah yang bertugas mengawasi cctv sampai mengulum bibirnya dengan aksi si nona barunya itu.
Jani mengelus perutnya yang sudah mulai menunjukan bentuk itu, merasa lapar...ia kemudian menyusuri luasnya rumah Loui demi mencari dimana dapur berada. Hidungnya mengendus-endus bak an jinkk pelacak, "ini rumah apa kastil hantu sih?!" Jani kembali bergumam, melihat-lihat. Pasalnya di rumah sebesar ini, dengan orang-orang yang sempat ia lihat, seharusnya sih ramai...
Lantas kemana perginya mereka?
"Hello! Everybody home?!" tanya Jani celingukan mencari orang, dirasa-rasa cukup bikin bulu kuduk merinding juga!
"Kala kupandang kerlip bintang nan jauh disanaaaa, asekkk!" ia berdendang demi mengusir rasa sepi.
"Ini dapur dimana sih, oyyy! Mat! Stennn!"
"Louuuu!" panggilnya.
"Nona Rinjani," panggilnya mengejutkan Rinjani, "allahuakbar!"
"Kaget tau ngga!" gerutu Jani, Mathew tertawa dalam diam, "itu..." tunjuknya ke arah tangan Jani yang menenteng sepatu.
Lantas Jani menengok ke arah Mathew yang memakai pantofel mengkilatnya lalu membeliak, "eh! Lepas itu sepatunya! Kotor, kasian ini yang bersih-bersih, udah bersih gini malah diinjek-injek lagi, buruan buka sepatunya!" paksa Jani menunduk ingin melepas sepatu Mathew.
"Eh, nona. Jangan, ini...." namun Rinjani sudah membuka simpul tali sepatu Mathew dan menepuk kakinya kencang, "buka!" perintah Jani lebih galak dari Loui, mau tak mau Mathew menurut karena Jani sudah menarik-narik kakinya, sampai-sampai ia berpegangan pada dinding.
"Nah, kan gini bagus. Jadi lantainya ngga kotor, gimana kalo sepatu kamu abis nginjek ta\*i?! Kaya sepatu Jani nih!" sodornya ke depan wajah Mathew yang sontak langsung menjauh, jijik.
Jani tergelak, "canda!"
"Oh, ya. Jani laper....dapur dimana?" tanya Jani.
"Mari saya antar," jawabnya, namun Mathew kembali mengerem langkahnya mengingat Jani justru memungut sepatu miliknya dan menaruh itu di samping meja panjang yang ada disana, "kalo nanti kamu nyari, sepatu kamu disini ya. Agak Jani umpetin ke dalem, takut ada yang nyolong!" ucapnya berdiri dan berjalan duluan saat Mathew masih melongo dibuatnya, "apa dia bilang?" gumamnya mengikuti langkah Jani.
Tak sengaja Jani berjalan berpapasan dengan Loui yang muncul dari ruangan lain bersama Stainley dan Oscar. Netra lembutnya bertemu dengan netra tajam Loui, sejenak keduanya terdiam saling memandang sebelum akhirnya Loui memutus kontak mata itu dan beralih menatap kaki telanj ank Jani dan Mathew yang kompakan.
"Kenapa kalian berdua bertelan jank kaki?" tanya Loui membuat Oscar dan Stainley mengehkeh geli melihat Mathew.
Jani ikut menjatuhkan pandangan pada kaki-kakinya lalu beralih pada kaki Loui dan kedua lainnya, "ck--ck!" ia menggelengkan kepala.
"Gak sopan! Orang cape-cape ngepel dia malah nginjek-nginjek pake sepatu!" gerutu Jani, Loui melirik Mathew karena tak mengerti dengan bahasa Jani kali ini, biasanya Jani akan berbicara dalam bahasa Inggris namun jika sedang mengomel maka ia memakai bahasa ibunya, sungguh curang!
Mathew menjelaskan apa maksud Jani, seketika Oscar meledakan tawa, namun langsung mengatupkan mulutnya ketika Loui menatapnya sengit.
"Apa kau tak tau bagaimana cara kerja uang?" tanya Loui sengak nan arogan menepis jarak antara wajahnya dan wajah Jani.
"Uang membayar pekerjaan mereka, dan untuk itu mereka bekerja...coba kau lihat, jika selamanya lantai itu tetap bersih, maka berkat kau lah perut mereka akan kelaparan," jelasnya tanpa ekspresi justru terkesan persis orang banyak utang, ruwet! Ketus! Judes!
"Mathew, belikan ia sepatu dan pakaian bagus, aku tidak mau nanti calon penerusku kampungan sepertinya..."
Jani membeliak mendengar itu, bola matanya sampai mau keluar saking tak percayanya Loui menyebutnya kampungan. Tangan yang semula menggenggam sepatu itu bergetar hebat.
Loui sudah melengos pergi disusul Oscar dan Stainley, namun amarah Jani masih menggunung, jika waktu lalu ia gagal maka ada lain kali untuk mencobanya dan itu sekarang, dengan tenaga sisa dan mata yang menyipit, ia melempar sepatunya ke arah punggung Loui yang tak tertutupi oleh dua anak buahnya itu.
Pluk!
Sasaran mendarat mulus di punggung tegap berbalut kemeja putih terikat kencang suspender itu. Seketika Loui menghentikan langkahnya dan memutar badan.
"Wanita, sungguh menyebalkan..." geramnya.
Jani langsung nyengir kuda, "ooo..."
"Kemari kau wanita!" Diluar ekspektasi Oscar, Loui justru terpancing untuk mengejar dan membalas Jani.
Jani langsung ambil langkah seribu ketika melihat Loui berjalan cepat ke arahnya.
Sementara Oscar dan kedua lainnya justru sibuk menonton dan menganga, mereka lupa...dia Loui....manusia yang mudah terpancing amarahnya.
"Lou, kita harus pergi!" teriak Oscar menghela nafasnya, menatap punggung Loui yang semakin menjauh mengejar Jani.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Siti Nina
Emang the best slalu bikin ngakak 😂😂😂
2025-02-24
0
Putri Dhamayanti
siapa mau nyoloooong ... 🤣 kagak ada jaaaan
2024-08-31
0
Putri Dhamayanti
🤣🤣🤣🤣🤣 au aah, jani mah 😂
2024-08-31
0