Rinjani berlari dengan sesenggukan melewati kawasan yang seperti tak berpenghuni juga kumuh itu. Begitu kentara perbedaannya dengan mansion tempatnya keluar tadi.
Tiba di sebuah distrik kumuh dengan para penghuni menakutkan, orang-orang disana memandangnya asing dan seperti menelan jangii. Menatapnya penuh curiga dan melu cuti.
Rinjani tak mau lagi ambil pusing dengan kepo terhadap mereka, memikirkan masalahnya saja kepalanya sudah hampir meledak, akan ia anggap ini adalah kesialan yang bertubi-tubi dan mereka salah satu calon penghuni kerah neraka yang tak ramah pada orang soleha macam dirinya.
Ia berlari sekencang dan sejauh mungkin seraya menyeka air mata yang sejak tadi berjatuhan, ia sungguh ingin pulang dan merindukan tanah Sukabumi.
Deg!
Beberapa orang pria dengan wajah seram layaknya preman dan badji ngan menatapnya tajam seraya memegang senjata laras panjang.
"Ya Allah, apa lagi ini!!!!" ia menggerutu dalam hati, ia dicegat sekelompok preman bersenjata, apakah ini semacam distrik preman? Siapa yang ia temui tadi, pria yang telah merenggut kehormatannya itu? Apakah ia pemimpin preman dengan pakaian rapi?
Jani berjongkok menenggelamkan wajahnya, "please let me go..." pintanya terisak.
Marco salah satu pria dengan wajah bekas sayatan pisau dan berkumis itu menerima panggilan dan mengangguk.
Jani berani menegakan wajahnya yang telah berurai air mata ketika terdengar alas kaki yang bergeser di depannya.
Rupanya mereka membuka jalan untuknya dan membiarkan Jani lewat begitu saja, "thank you..." ucap Jani segera berlari, rasa lelah tak ia hiraukan yang penting ia segera pulang menemui Sisca.
Jani menyetop taksi ketika jalan raya terlihat, "Manhattan."
Nafasnya masih tersengal berebut, rasanya paru-paru Jani menyempit dan hampir kisut. Jani menyerot air hidungnya dan merebahkan punggungnya di sandaran jok. Menatap jalanan dengan sorot mata getir.
Melihat penumpangnya kacau, mulutnya tak bisa untuk tak bertanya.
"Ada yang salah, nona?"
Jani menggeleng seraya tersenyum kaku, "tidak ada, pak. Manhattan hotel ya pak," jawabnya.
Reaksi terkejut sekaligus lega ditunjukan Sisca, "Rinjaniiii! Saya sampai lapor pihak keamanan museum sambil nyari kamu,"
Rinjani terdiam tak banyak bicara, rasanya ia ingin menyudahi saja tur Amriknya kali ini, ia hanya ingin pulang ke Sukabumi!
"Kak Sisca, Jani pengen pulang...." ia bahkan belum sempat mandi lagi setelah berlari yang entah berapa jauh dari distrik itu. Teringat jelas wajah-wajah orang itu yang menyeramkan, juga wajah Loui yang memuakan di pikirannya, si alnya tak bisa ia enyahkan.
Sisca bertanya berkali-kali dan selalu itu jawaban Jani, "pengen pulang aja."
Sisca mengeluarkan secarik kertas perjanjian bermaterai dan meminta Jani menandatanganinya, jika pihak perusahaan telah memberikan hadiahnya secara penuh.
Tanpa tunggu lama Jani langsung saja menandatanganinya, ia pun segera membereskan barang-barangnya.
.
.
Disinilah Jani berada bersama Sisca. Duduk bersampingan di dalam pesawat menuju Indonesia.
Sisca menatap Jani merasa aneh sekaligus khawatir, "Jani, kamu ngga apa-apa? Ada apa yang terjadi?" tanyanya, pasalnya Jani jadi berubah semenjak ia menghilang tadi pagi.
Sisca merasa jika ada sesuatu buruk yang terjadi, Jani juga tak mengatakan ia nyasar kemana tadi pagi, alasannya begitu klasik, keasikan jalan sampe keluar museum terus jalan-jalan, see! Begitu bohong! Ia tau Rinjani tidak seidi ot itu.
Tapi apapun itu, semoga Jani baik-baik saja.
Hatinya merasa lega ketika roda pesawat menjejak tanah air, setidaknya ia berada di negaranya. Ia pamitan pada Sisca dan meneruskan perjalanan menuju rumah.
"Ama, assalamu'alaikum!"
Ama sampai melongo dibuatnya, "loh! Kok..."
"Jani kangen ama! Jadi minta pulang," ucapnya menutupi rasa gundah gulana, Jani menepis semua rasa sakit dan memeluk Ama.
"Lebay! Nah, mana oleh-oleh?" tanya Ama tersenyum.
Jani mengehkeh, "saking kangennya sama ama, Jani ngga inget itu...Jani ngga bisa makan, makanan mereka, ma." Jani melepaskan pelukan dan melengos masuk. Rasanya sesak, melihat ama, matanya seketika berair, hatinya mendadak remuk.
"Hm, dasar! Emangnya di sana kamu ngga ada nasi? Ngga dikasig nasi? Kalo cuma roti mah kamu bisa meren, makan..."
Jani sudah lebih baik di rumah, meskipun terkadang rekan kerja, Tita, ama, wa Idu dan mang Ujang menggodanya dengan permintaan oleh-oleh.
Jika bukan karena kebutuhan dan perut, Jani inginnya bermalas-malasan. Entah kenapa sepulangnya ia dari negri paman Sam, Jani selalu merasa lapar.
"Jan, punya apa, minta atuh!" Tita yang baru saja selesai menjemur ikan kadukang untuk produksi rumahan oleh-oleh khas wisata laut.
Tita langsung saja mencomot onde-onde sebesar-besar upil gajah milik Jani dari dalam keresek, "makan terus, kerja Jan!" ucapnya menggoyang-goyangkan kaki di bale-bale dekat tempat penggaraman ikan.
Jani menatap onde kecil di tangannya dan menghela nafas malas, "ngga tau Ta, bawaannya teh akhir-akhir ini Jani pengen ngemil terus! Apa Jani masih dalam masa pertumbuhan gitu, ya?!"
Tita menyemburkan tawanya, hampir saja isian kacang hijau itu meluncur bebas dari mulutnya, "pertumbuhan apa?! Yang bener aja!" Tita memperhatikan badan Jani yang cukup berisi menurutnya.
"Eh, tapi iya loh Jan...kamu teh agak ngisi sekarang, apa karena kerjaannya kaya gini ya? Kebanyakan makan gaji buta!" tawa Tita dicebiki Rinjani, ia kemudian berdiri dari duduknya yang bikin si pan tat gatal karena sudah setengah jam ia duduk mengambil waktu istirahatnya hanya untuk nyemil.
"Udah ah! Nanti si ibu marah kalo liat pegawe kebanyakan ngumpul kaya gini," Jani melengos membawa serta sampah bekas onde miliknya.
"Pinggang kamu se mox, Jan!" seru Tita terkekeh, membuat Janu menoleh, "bagus atuh ya, udah mirip Anisa bahar belum?!" kelakar Jani ditertawai Tita.
Jani melanjutkan pekerjaannya mengangkat baskom berisi ikan yang sudah dicuci bersih dari luar menuju dalam untuk selanjutnya melewati proses fermentasi penggaraman.
"Nih, Jan! bawa," titah mang Encep.
"Siap!" Jani mengangkat itu dengan seluruh tenaganya, cukup bikin keringetan dan lemas, entah ia yang lebay atau manja, akhir-akhir ini ia mudah lelah.
Aroma ikan yang biasa ia sesap nikmat saja mendadak jadi bau, jika ia tidak memberikan afirmasi pada dirinya sendiri bahwa ia butuh uang dan menguatkan dirinya, mungkin ia sudah muntah-muntah.
Jani sempat menangkap pemandangan tubuhnya di kaca jendela ruangan, dan alisnya mengerut sempurna, "eh bener kata si Tita! Kenapa pinggang Jani jadi berisi gini?!" gumamnya pelan seraya melirik-lirik pan tata dan pinggangnya sendiri. Apa karena belakangan ini Jani sering nimbun lemak yang berasal dari baso?
Jani membeliak dan segera menaruh baskom ikan lalu berlari ke kamar mandi.
Huwekkk!
Mang Encep sampai menoleh terkejut, "eh, kenapa Jan?!"
"Engga apa-apa mang!"
Jani memuntahkan isian perutnya, setelah selesai dan lemas ia merehatkan sejenak dirinya menumpukan tangan di pinggiran bak mandi lalu mencari tau dengan menerawang ada apa dengan dirinya, apa yang sudah ia makan, atau cuaca beberapa hari ke belakang.
Rinjani menggeleng, tak ada yang salah dengan semua itu. Lantas ketajaman pemikirannya mengerucut pada satu kejadian waktu lalu ketika ia berada di Amerika.
Jantungnya seperti terpukul sesuatu yang besar hingga menghentikan laju pompa da rahnya, padahal belum tentu dugaan itu benar.
"Ngga mungkin!"
.
.
Terhitung sudah hampir dua bulan lamanya Oscar mengirimkan anak buahnya untuk menetap sementara di Indonesia.
"Bagaimana hasilnya? Jika sampai lusa tak ada yang terjadi dengan gadis itu, maka kalian bersiap pulang saja."
"Baik, tuan Oscar." jawab seseorang yang duduk di bangku samping pengemudi sementara si pengemudi mengawasi tempat Jani bekerja.
"Gadis itu keluar, lihatlah!" tunjuknya ketika Stefan mematikan panggilan Oscar.
"Ikuti dia, dan tugas kita selesai. Lusa tuan Loui meminta kita pulang ke Amerika."
.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
OMG jangan bilang Jani hamil..😭😭
2023-12-16
1
lestari saja💕
semoga bukn ank buah yg borokokok
2023-11-28
1
🌽Mrs.Yudi 𝐙⃝🦜🍇
berhasil nempelkah cebong loui? 🤔
2023-11-03
0