Jani mengajak Sisca pindah tempat duduk. Masih cukup merasa trauma dengan orang asing. Mimpi apa ia kemarin, bisa ketiban si al berkali-kali gini! Ataukah karmanya yang udah nuker sendal di masjid, jadi begini?! Bukannya kalo dari masjid tuh ambil yang baiknya buang yang jelek-jelek?
Sejauh mana pun Jani berlari, orang-orang berpakaian hitam layaknya sales kavling makam itu terus mengikutinya, Jani bahkan sempat berpikir hutang apa yang dia miliki, rasanya ia cuma ngredit sendal selop sama mang Kardi, masa iya...dikejar-kejar sampe Amrik!
Sisca mengajak Jani jalan-jalan ke museum, yang tak jauh dari kawasan Lower Manhattan, sebagai bentuk dari tour in New York'nya.
"Hayuk Jan!" ajaknya berlari, tur ini sedikit bisa menghilangkan rasa sedihnya semalam, meskipun tak dapat membalikan kembali kehormatannya yang sudah ia jaga selama 20 tahun ini, bahkan dari angin sekalipun.
Sisca membayar tiket masuk sementara Jani mengedarkan pandangannya, dimana kawasan itu menawarkan pemandangan pelabuhan kota New York yanh sibuk. Matanya menyipit mengamati betapa indahnya negri orang, meski tak seindah negri sendiri.
"Jani pengen liat patung liberty, kak." tunjuk Jani ke arah langit dengan benda kecil yang menjulang sebagai icon terkenal kota ini.
"Boleh, abis ini ya...kita naik kapal feri gratis buat liat liberty sama pulau Ellis." jawab Sisca.
Sekilas Jani melihat kembali pria-pria sebelumnya yang sempat ia lihat di taman kota, para pria yang mengikutinya tadi ternyata mengikutinya sampai disini.
Jani mengernyitkan dahi meski langkahnya mengikuti Sisca, "siapa sih, perasaan Jani kok ngga enak ya?!" gumamnya menyentuh dan menepuk-nepuk dadhanya tak enak hati.
••••
Sisca berjalan bersama Jani, dengan menunjuk beberapa benda, saksi bisu memori dari dahsyatnya serangan ******* 11 september 2001 silam, yang menelan korban sebanyak 3 ribu orang tewas.
"Ya ampunnnn, ck--ck...begini ya," Jani melihat beberapa potret kehancuran gedung kembar.
"Iya Jan, sekitar 3 ribu orang tewas akibat serangan ini."
Sebuah dinding warna biru bertuliskan kata-kata terkenal dari penyair Roma Virgil turut menghiasi, Jani memotretnya di ponsel.
Please hape dimohon kerjasamanya biar moment disini membekas dan menjadi sejarah hidupnya.
Ruangan museum ini cukup dingin karena AC, membuat Jani selalu merasa ingin pi pis, "kak Sis, Jani ke toilet dulu, ya...ngga kuat euy! Kalo dikasih dingin begini deh, beser!"
Sisca terkekeh, "sana deh, jangan sampe nanti banjir disini... Ke kiri Jan," balasnya diangguki Jani yang segera berlari mencari toilet.
Jani cukup pintar untuk membaca tanda gender, ia memasuki kamar mandi wanita dan mencari bilik toilet.
Segera Jani membuang hajatnya disana, "ahhh lega!"
"Ini Jani ceboknya gimana?" ia kelimpungan mencari gayung dan air untuk membasuh, tapi tak jua menemukan, hanya ada tissue yang tergulung di dinding.
"Ini seriusan Janj cebok pake tissue? Kalo Jani sampe be rak gimana, masa pake tissue juga?!" ia bergidik mengambil botol air mineral di saku tasnya.
"Heran, warga sini cebok gimana sih!" menekan tombol di atas toilet duduk.
Wushhhh!
Jani membuka kunci toilet lalu keluar.
Langkahnya tersentak dan terhenti seketika saat 3 orang pria berjas hitam berdiri di depan kamar mandi wanita kaya pager betis.
Matanya membeliak syok, karena sosok ketiganya adalah para pria yang sejak tadi mengikutinya.
"Siapa kalian?!" tanya Jani sedikit mundur, jantungnya berdegup begitu kencang, mungkin sebentar lagi akan meledak dibuatnya.
"Sebaiknya nona ikut kami sekarang," pinta salah satunya. Jani menggeleng, demi apa?! Ia mengingat adegan sindikat mafia dalam film-film yang sering ia tonton, dan mereka itu persis seperti di film. Apakah dirinya menjadi incaran mereka dan akan dijual, dibunuh bahkan arghhhh! Mayatnya dibuang ke selo kan samping pembuangan akhir.
"Apaan tuh, cewek se mox! Cewek se moxx!!" tunjuk Jani ke arah belakang mereka, seorang lain menoleh namun tidak dengan Oscar, ia justru menyunggingkan senyuman miring, tak tertipu dengan trik bocah.
Oscar meraih tangan Jani dan mencengkramnya, Jani menjerit berontak namun segera dibekap oleh Newton. Perlahan dan pasti, Jani melemas tak sadarkan diri.
Ia tak ingat apa yang terjadi, ia pun tak ingat ada dimana, juga apakah ia masih hidup?
Gelap, sesak....apakah ini alam kubur?
Tapi kok, ada guncangan kaya suara mesin mobil?! Mana ada mobil di alam kubur!
Tubuhnya diangkat di guling kesana kemari mirip karung semen. Yang Jani rasakan adalah ia diangkat di atas sesuatu yang keras dengan posisi terbalik mirip karung beras.
Telinganya juga dapat mendengar jika ia sedang memasuki sebuah ruangan dan dijatuhkan di atas kursi hingga terduduk.
Penutup kepala Jani dibuka seketika membuat terang memaksanya mengermyitkan dahi meski matanya masih tertutup. Badan yang lemas memberikan pengaruh tak berdaya, apakah bekapan tadi dibubuhi racun?
Seseorang membuka pintu dari arah belakang.
Tap...tap.. Tap...
Jani mengerjapkan mata dan mencoba menjernihkan pandangan, sepertinya awal yang tidak buruk, karena dirinya ditempatkan di sebuah ruangan macam kantor dengan ornamen kayu dan begitu rapu dengan rak-rak buku macam perpustakaan, entahlah ini menghayal atau tidak semacam itulah yang Jani tangkap di penglihatannya.
"Anda sudah sadar nona?" tanya seseorang dari sampingnya, namun bukan hanya orang yang bertanya itu saja yang menghampiri Jani, namun ada sosok lainnta yang jauh lebih berkharisma, cukup rupawan dan sepertinya....Jani menghirup nafas.
Ia mengenali aroma maskulin itu
DEG!
Apakah ini aroma? Kulitnya seketika meremang saat pria itu menatapnya lekat, bahkan lebih terkesan meneliti, Jani merasa seperti sedang ditelan jangii.
Jani menatap seseorang yang bisa berbicara bahasa melayu seperti dirinya, "syukur nona sudah sadar, perkenalkan saya Mathew. Dan ini....tuan Loui,"
Pandangannya bertemu dengan mata tajam nan kelam menusuk milik Loui, ia kenal, lelaki itu adalah lelaki yang pernah bersitatap dengannya di hotel.
"Nona Rinjani,"
Rinjani sempat melongo dibuatnya, "kamu tau Jani?"
Mathew tersenyum, "apapun bisa tuan Loui tau, bahkan semut di New York sekalipun."
Loui beranjak mengambil kursinya, bahkan ia tak perlu repot-repot memutar. Hanya dalam sekali dorongan meja kerjanya tergeser sempurna membuat Jani terkejut.
Brakkk!
Ia mengambil kertas dan pulpen serta menarik kursi miliknya, "to the point saja. Aku tidak suka berbasa-basi!" ucapnya menyerahkan kertas itu di pangkuan Jani dan menyeret kursinya duduk di depan Jani.
"Dengar aku, wanita. Semalam aku sudah mengambil kehormatanmu, dan untuk kesalahan itu, aku akan memberimu sejumlah uang." ucapnya menekan tombol pulpen.
Jani masih menyimak dengan raut wajah yang semakin lama semakin keruh juga geram. Dadhanya bahkan naik turun pertanda jika emosinya terpancing.
"Jangan pernah melaporkan hal ini, anggap saja aku membeli tubuhmu semalam. Berapa yang kamu mau?"
Jani semakin murka dibuatnya, ternyata dia, lelaki borokokok!
Jani menjengkat berdiri dengan sentakan membuat kertas dan pulpen itu jatuh.
"Heh borokokok! Jadi kamu yang perko sa Jani! Dasar lalaki turunan setan!"
Jani menghadiahi rahang Loui dengan bogeman mentahnya. Cukup kuat dan meninggalkan bekas. Bahkan Oscar sampai terkejut dibuatnya, karena meskipun Loui tidak bersih dari luka perkelahian, namun cukup sulit bagi lawan untuk menyentuhnya.
Bukannya membalas ia justru terkekeh sumbang dan mengusap rahangnya.
"Gadis berani, atau justru...."
"Gadis bodohhhh!!!" teriaknya ke arah wajah Jani, namun Jani tak gentar sedikitpun pada lelaki yang telah mengoyak kesuciannya tanpa ampun.
"Kamu yang bodohhh! Kamu pikir Jani ja langggg!" balas Jani berteriak di depan wajahnya sambil mendongak karena perbedaan tinggi yang signifikan, jangan remehkan orang pendek, meskipun postur tubuh rendah tapi bagus, cocok kalo balap kerupuk, ngga usah sampe nunduk-nunduk.
"Simpen uang kamu yang ngga laku di Indonesia, apalagi buat bayar utang selop di mang Kardi!" lanjutnya galak.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Ita Listiana
🤣🤣🤣🤣
2025-01-27
1
Saiya Iranie Susianty
🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2025-01-23
0
Putri Dhamayanti
lakuuuu...jani, terimaaaaa
2024-08-31
0