Kerja sama.

Tidak ada kabar bahagia yang paling menggembirakan hati seorang Halimah Ibrahim saat ini, kecuali kabar bahagia yang dibawa oleh putranya itu. Kendatipun ada kabar yang kurang mengenakan juga yang menyertainya. Setelah kepergian sang suami untuk selamanya, inilah senyum terindah yang pernah Ali lihat menghiasi wajah sendu sang ibu. Rasa kehilangan begitu mampu meluluhlantahkan dan memporak-porandakan hati dan pikiran ibundanya, ditambah lagi dengan Ayana yang pergi dari rumah. Namun, sekarang semua seolah sirna dengan kedatangan calon cucu pertamanya itu.

"Ayana baik-baik saja kan, Ly? Dia tidak mengalami ngidam yang terlalu extreme, kan?"

"Alhamdulillah, gak Bu. Hanya sepertinya dia alergi jika berdekatan dengan Aly." Bahkan yang sekarang dialami oleh Ali lebih ngeri dari sekedar extreme.

"Sabar, itu tidak akan lama, Nak. Hanya beberapa bulan saja maka. semua akan kembali normal," ucap sang ibu seraya mengusap punggung putra sulungnya itu.

Ali mengangguk berusaha agar sang ibu tidak menaruh curiga atas permintaan Ayana yang ingin tinggal di rumah Chandra Adhyaksa entah untuk waktu berapa lama, Ali berharap secepatnya.

Keesokan harinya di kediaman Ali. "Coba telepon menantu kesayangan Ibu dong, Mas. Bilang Ibu kangen gitu."

Ali tampak terkejut mendengar permintaan sang ibu. Dirinya saja belum pernah berbicara melalui sambungan telepon dengan istrinya itu setelah kepulangannya kemarin. Apakah marah istrinya itu sudah hilang atau masih stay di tempat? Sungguh Ali tidak mengetahuinya.

"Tunggu apalagi, Mas," pinta sang ibu terus saja mendesak putranya itu agar segera menghubungi Ayana.

"Iya, Bu. Akan Ali coba." Halimah sedikit merasa aneh dengan ucapan anaknya itu. Akan Ali coba katanya? Sungguh mencurigakan!

"Gimana, Mas? Gak dijawab sama Ayana?"

Ali menggeleng padahal nyatanya ia masih belum sama sekali menghubungi Ayana. Hanya berpura-pura tengah sibuk dengan layar ponsel-nya.

"Ya udah biar Ibu aja yang telepon!" Ali segera menyambar ponsel ibunya itu secepat mungkin.

"Ayana baru saja kirim pesan, Bu, saat ini dia sedang tidak ingin diganggu, ponselnya dinonaktifkan."

"Bisa gitu ya, Mas? Kamu gak bilang kalau Ibu yang ingin bicara?"

Nah, kan! Kalau sudah begini Ali harus jawab apa, Sodara-Sodara? Ibunya sangat ahli dalam hal selidik-menyelidik, sikat sampai dapat!

"Belum sempat bilang, Bu. Tapi, nanti Ayana bilang akan segera menghubungi Ali jika sudah kembali ada di rumahnya."

Ali sudah ada di kantor-nya sekarang. Hari ini perusahaan milik ayahnya ini akan melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan besar yang akan diwakilkan oleh putra pemilik perusahaan tersebut.

"Pak, perwakilan dari perusahaan Atmajaya Cooperation sebentar lagi tiba di tempat meeting. Pak Ali diminta segera hadir." Seseorang tampak memberi tahu Ali melalui sambungan Interphone-nya.

"Baik! Saya akan segera datang." Ali segera menutup jurnal kerjanya, ia kemudian menuju ruang pertemuan yang sudah dijadwalkan. Dia sama sekali belum mengetahui siapa itu Atmajaya Corporation? Dia rupanya melupakan nama belakang pria yang akan dijodohkan oleh istrinya, Erick Atmajaya.

"Selamat pagi Tuan Ali Zein Ibrahim." Ali tersenyum menyambut uluran tangan pria yang tak lain adalah Erick Atmajaya.

"Senang bisa bertemu dan berdiskusi bersama Anda, Tuan Atmajaya." Keduanya berpelukan singkat sebelum akhirnya duduk di kursinya masing-masing.

Meeting sudah selesai, kedua belah pihak sepakat untuk bekerja sama dalam pembangunan sebuah hotel di pusat kota. Ali dan Erick masing-masing menggelontorkan saham perusahaan sebesar 50 persen untuk mega proyek tersebut.

"Senang bisa bekerja sama dengan Anda, Tuan Ali."

"Semoga berjalan lancar mega proyek harapan kita, Tuan Atmajaya."

Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Erick Atmajaya, Ali belum juga menyadari bahwa pria tersebut adalah orang yang sama yang dimaksudkan oleh sang mertua, Chandra Adhyaksa untuk dijodohkan dengan Ayana, istrinya.

"Ay, doain proyek yang baru saja Mas rintis ini berhasil ya, Mas persembahkan semua untuk kamu dan calon anak kita," ucapnya dengan perasaan yang bahagia saat Ayana menghubungi dirinya melalui panggilan suaranya.

"Proyek yang mana, Mas?"

"Mas bekerjasama dengan sebuah perusahaan besar untuk pembangunan hotel bintang lima di pusat kota ini, Ay. Apa kamu punya ide untuk nama hotel kita nanti?"

"Terserah kamu aja, Mas!" jawabnya tak bersemangat. Sejujurnya dia rindu, namun sedikit rasa kecewa yang dirasakannya belum hilang begitu saja, hingga keinginan untuk bertemu itu masih belum muncul ke permukaan.

"Kamu masih marah ya sama, Mas?"

"Dikit!" jawabnya ketus.

"Alhamdulillah!"

"Hem!"

"Mas kangen Ay."

"Aku gak tuh, b aja!"

"Kamu gak, tapi anak kita? Seharusnya Mas sudah bisa mengajaknya bercerita di dalam perutmu Ay. Kamu merenggut gak asasi Mas sebagai seorang Ayah, Ay."

"Ada aku sebagai paket lengkapnya."

"Tetep aja beda rasanya."

"Kalau mau debat, mending gak usah ditelpon aja tadi, Mas. Gak kunjung berubah ih! Udah otewe jadi seorang Ayah, masih aja ego-nya yang ditinggiin!"

"Makanya izinin Mas ke rumah ya? Kamu gak takut dibilang dzolim sama suami, Ay?"

"Gak lah! Kan, aku udah minta izin sama kamu, dan kamu menyetujuinya. Jadi di mana letak kedzolimannya?"

"Ya, kalau gak diizinin, Mas takut kamu bakal gak mau lagi selamanya sama, Mas. Lebih baik menderita sebentar agar bahagianya selamanya."

"Mulai gombalan kusut-nya diputar, bikin perutku mual dan mau huwek!" Ayana benar-benar memutus panggilan suaranya begitu saja.

Sementara itu di sebuah hunian mewah, seorang pria yang sedang duduk santai di balkon kamarnya itu tampak tengah memperhatikan wajah seseorang yang terdapat di layar laptop-nya.

"Dulu dirimu mati-matian menolak pinanganku. Kita lihat saja nanti, bagaimana suami bodohmu itu akan dengan ikhlas menyerahkan istrinya untuk menjadi wanitaku. Ternyata begitu manisnya perjalananku untuk bisa mendapatkan dirimu," ucapnya dengan mengusap lalu mencium wajah yang memenuhi sebagian layar laptop-nya itu.

"Om Chandra, apakah kita bisa bertemu hari ini?"

"Tentu saja, Nak! Di mana dan kapan kita bisa bertemu?"

"Sekarang saja di kafe di depan kantor Papa, Om."

Chandra Adhyaksa segera melajukan kendaraannya dengan kencang hingga tak berapa lama kemudian dia sudah tiba di kafe yang dimaksud oleh si pria.

"Bagaimana Om? Apakah ada perubahan dalam hal sikap, Ayana?" tanyanya dengan sesekali menikmati makanannya yang baru saja disediakan.

"Sampai detik ini, dia masih menunjukkan sikap yang kurang bersahabat terhadap suaminya itu. Bahkan mereka belum sekali pun bertemu kembali setelah hari itu."

"Lalu, bagaimana dengan lamaranku? Apa ada kepastian, jika dia sudah menerima kehadiranku?"

"Kita selesaikan satu persatu, Nak! Tidak baik melakukan apa pun dengan terburu-buru. Hasinya kurang memuaskan."

"Baiklah! Untuk hasil yang memuaskan sepertinya aku memang harus menunggu hingga hari itu tiba."

🌷🌷🌷🌷🌷

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!