Ali menjelangar, tercenung memikirkan ucapan sang ayah yang malah langsung diangguki oleh Ayana. Sang ayah bahkan sudah tak terbata lagi saat mengucapkan kalimat tanya tadi kepada Ayana.
Ayana kembali mengangguk saat Ali membeliak menatapnya. "Apa-apaan mereka ini? Main lamar-melamar dan langsung iya saja! Lalu aku dianggap apa, orang-orangan sawah, kah?" Ali memandang secara bergantian antara Ayana dan sang ayah yang kini tersenyum menatapnya.
"Tunggu apa lagi, Ly," ujar Noah Ibrahim kembali mendesak putra sulungnya itu.
"Ali belum ada persiapan sama sekali, Yah. Bahkan untuk mas kawinnya saja Ali belum menyiapkannya," ucap Ali coba melanjutkan rasa keberatannya atas kesepakatan yang baru saja dibuat oleh Ayana dengan sang ayah.
"Apa pun yang akan Mas berikan kepadaku sebagai mas kawin, aku akan menerimanya dengan senang hati. Apa pun itu." Kembali Ayana berbicara, kalimat yang bagaikan hujaman anak panah yang menembus tepat di jantung Ali.
"Apa pun yang aku punya, katanya? Oh, ayolah! Aku pria mapan dan tampan. Lalu, tadi apa? Menyedihkan sekali, seperti orang yang ketangkap basah sedang nina-ninu lalu dipaksa menikah, kan gak lucu!"
"Ali minta waktu untuk bicara dengan Ayana, Yah," pinta Ali dengan menarik satu tangan Ayana.
"Apa yang ada di otak cantikmu itu, Nona? Kenapa main setuju, iya-iya saja dengan permintaan ayahku, tak bisa, kah meminta pendapatku terlebih dulu?" tanya Ali dengan memandang tajam terhadap sang gadis. Sementara Ayana tampak memandangi tangannya yang masih digenggaman oleh Ali.
"Maaf," ucap Ali setelah menyadari akan hal itu, lalu melepas genggaman tangannya terhadap Ayana secara perlahan.
"Aku pernah merasakan kehilangan dan juga penyesalan secara bersamaan yang hingga saat ini terus saja menyertai langkah kakiku," ucap Ayana dengan ujung mata yang mulai mengembun dan mulai berkaca-kaca.
"Maksudmu?"
"Saya tidak ingin Anda mengalami hal yang sama seperti yang pernah kualami, Tuan. Saat sesuatu yang beliau pintakan sudah tak berguna lagi untuk kita realisasikan, hanya kata sesal yang bisa kita gaungkan."
Ali masih belum mengerti dengan penjelasan Ayana dan bermaksud untuk bertanya lagi. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara teriakkan dari kamar perawatan Noah Ibrahim.
"Abang!"
"Ayah!" Ali segera berlari menuju ruang perawatan sang ayah. "Ada apa, Bu? Ayah kenapa?" tanyanya dengan raut wajah khawatir saat beberapa tenaga kesehatan tampak berjibaku di atas tubuh ayahnya.
"Pasien kembali kritis, Dok. Bagaimana ini?" Dokter tersebut tampak menatap kepada Ali dan juga sang ibu.
"Pasien kembali kritis. Apakah beliau mengalami tekanan sebelum ini?" Halimah menatap Ali yang kini tertunduk lesu menyadari kesalahannya yang tidak langsung mengabulkan permintaan sang ayah.
"Pesan saya, saat nanti pasien sudah siuman, buatlah indah semua keinginannya." Itulah pesan sang dokter sebelum keluar dari ruang perawatan Noah Ibrahim.
Halimah tertunduk lesu di samping ranjang suaminya yang kembali terdiam.
"Ali akan segera menikahi gadis itu, Bu. Hari ini juga," ucap Ali dengan bergegas melangkah keluar untuk menemui Ayana yang kini tengah menatap mereka di sebalik kaca pembatas ruangan itu.
"Ayana!" ucap Ali dan gadis itu pun tersenyum tanpa menyahut panggilannya.
"Sekarang aku paham maksud dari ucapanmu tentang penyesalan tadi. Jadi seperti ini penyesalan yang kaurasakan?" tanya Ali yang dijawab dengan anggukan kepala oleh sang gadis.
"Siapa? Ayah, Ibu?" tanya Ali, lagi.
"Mamaku," jawabnya dengan suara bergetar.
"Apakah permintaannya sama dengan yang dipinta oleh ayahku?"
"Ya, sama persis. Hanya saja aku sudah dijodohkan dan aku menolaknya."
"Ayana." Kali ini Ali membawanya untuk lebih dekat lagi melihat ayah dan juga ibunya yang kini ada di dalam ruang perawatan rumah sakit ini.
"Apakah kau bersedia menjadi pendamping hidup, dunia dan juga akhiratku?" ucap Ali dengan kembali meraih tangan Ayana lalu pandangan keduanya sama-sama tertuju kepada orang tua Ali.
"Apa perlu saya ulangi lagi jawab atas pertanyaanmu itu, Tuan?"
"Ali, panggil aku Ali, hanya Ali, tanpa embel-embel Tuan di depannya," ucap Ali protes terhadap panggilan yang disematkan Ayana untuk dirinya.
"Ali? Hanya Ali?" ucap Ayana dengan menahan tawanya karena merasa aneh dengan permintaan dan penolakan Ali.
"Iya!"
"Aku bersedia menjadi pendamping hidupmu, dunia dan akhiratmu dalam kebaikan." jawab Ayana tanpa ragu.
Ali tersenyum. Dia memantapkan niatnya untuk menikahi gadis yang baru ia sadari jika dialah wanita yang hadir dalam mimpi setelah sholat istikharahnya.
Jalan hidup Ali memang sedemikian uniknya. Jodohnya datang dalam waktu dan tempo sesingkat-singkatnya.
Ustad Musa sudah hadir di antara mereka saat ini. Dengan pakaian seadanya, jas kerja dan celana bahan dengan warna senada Ali mantap mengucapkan kalimat sakral yang diharapkannya hanya akan terucap satu kali seumur hidupnya.
"Alhamdulillah, sah!" Itulah kalimat pamungkas dari acara ijab dan qabulku bersama Ayana Isadia, istriku.
"Ali, Ayana." Suara lirih Noah Ibrahim membuat keduanya segera mendekat kepada sang ayah.
"Selamat berbahagia Anak-Anakku. Jaga dan sayangilah ibumu saat Ayah sudah tak mampu lagi melindungi dan menjaganya. Jangan buat ibumu menangis, karena tangan Ayah sudah tak mampu lagi untuk menyeka air matanya. Maafkan Ayah." Itulah kalimat terakhir yang diwasiatkan Ayah kepada Ali dan juga Ayana sebelum akhirnya menutup mata untuk selamanya.
*
*
*
Sudah satu bulan sejak kepergian Noah Ibrahim.
Ali dan Ayana tinggal di kediaman Noah Ibrahim, tentu saja selain karena Ali adalah anak mereka satu-satunya, keadaan sang ibu, Halimah Ibrahim juga belum cukup baik untuk ditinggalkan seorang diri di rumah berlantai dua itu.
Malam itu setelah menikmati makan malam, Ali dan Ayana berbincang santai di balkon kamar mereka.
"Ay, " sapa Ali saat tiba-tiba keduanya hanya terdiam.
"Apa Mas," jawabnya dengan membenahi posisi duduknya menghadap Ali kini.
"Besok aku akan mulai bekerja. Perhatikan Ibu, jangan biarkan beliau terlalu lama duduk atau mengerjakan sesuatunya seorang diri."
Ayana tersenyum mengangguk. "Kamu terlalu berlebihan, Mas. Beliau ibuku juga sekarang, jadi rasanya kurang tepat jika Mas Ali meminta hal seperti itu kepadaku. Hal yang pasti akan kulakukan tanpa harus kamu memintanya."
Pernikahan keduanya masih terbilang biasa saja. Bahkan selama satu bulan pernikahan, mereka belum pernah sekali pun menunaikan kewajiban mereka sebagaimana pasangan pengantin baru pada umumnya. Alasannya tentu saja karena mereka menikah tidak dengan didasari rasa cinta.
Ali tidak ingin memaksa Ayana untuk secepat itu menerima dirinya. Bukankah cinta akan tumbuh karena seringnya bersama? Semoga saja!
"Kamu gak sarapan dulu, Mas? Aku udah masakin masakan kesukaan kamu lho." Ayana segera berjalan cepat menhampiri Ali yang bersiap masuk ke mobilnya. Ayana berjalan dengan menenteng lunch box di tangannya.
"Aku buru-buru, Ay. Nanti saja saat makan malam, tolong masakin orak-arik tempe dan tumis kangkung ya," pintanya tanpa memperhatikan kotak makanan yang ada di tangan istrinya.
"Aku udah siapin ini untuk kamu. Dimakan pas jam makan siang nanti ya," ucap Ayana dengan menyerahkan bekal makanan kepada Ali. Ali meraihnya masih dengan perasaan canggung.
Ayana melangkah gontai masuk ke dalam rumah saat mobil yang dikendarai oleh Isa sopir pribadi suaminya itu sudah keluar dari pagar rumahnya ini.
"Sikapnya masih dingin dan kaku kepadaku. Apakah dia memiliki masa lalu yang belum usai saat memutuskan untuk menikahiku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
sabar Ayana.....
2024-02-09
1
վմղíα | HV💕
Alhamdulillah sah, semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah 🤭
2023-10-18
1