Ali buru-buru mendorong Annisa untuk masuk ke dalam ruangan pribadinya saat mendengar suara sang ibu yang memanggil namanya dari luar ruangan ini.
"Ibu? Sendiri atau sama Ayana?" tanyanya berusaha menghilangkan keterkejutannya. Namun, sayang, sang ibu bukan hanya sekedar ahli dalam membaca bahasa tubuhnya, namun juga ahli dalam hal indra penciumannya. Dia tampak mengendusi tubuh Ali yang memang tadi sempat berdekatan dengan Annisa.
"Parfume-nya udah ganti sekarang? Gak maskulin lagi, feminim?"
Degh! Ali terhenyak. Tanpa sadar dia juga ikut mengendusi tubuhnya sendiri. Hal yang tak luput dari perhatian sang ibu.
"Gak kok, aromanya masih sama, Ibu mengada-ada, ih!" ucapnya dengan sedikit mengibas sebagian jasnya.
"Kalau gak, ngapain repot-repot dibersihin sih, Mas? Ada noda membandel yang harus dikasih cairan pemutih biar hilang sekalian dari muka bumi ini, ya?"
"Uhuk!" Ali tak bisa untuk menahan rasa sesak yang menjalar hingga ke tenggorokannya.
"Ngena banget ya, Mas? Syukur deh, mudah-mudahan selimut tetangga yang akan coba kamu kenakan bisa dengan cepat meluruh ke lantai atau bila perlu meluruh ke tukang laundry aja, lah. Kan lebih gampang bersihinnya. Kalau Ibu yang bersihin takutnya sobek lagi bulu-bulu gatalnya, kan gak lucu kalau nanti dibawa pulang sama tetangga yang punya selimut jadinya grotol-grotol dan compang-camping." Ali selalu saja dibuat tercengang dengan perumpamaan ibunya ini. Ibunya tahu, namun tak langsung mengatakannya. Hanya sebuah perumpamaan yang sanggup membuat tak hanya Ali, namun juga Annisa yang kini duduk gemetar di dalam sana.
"Mau pulang sendiri atau Ibu yang deportasi nih?" ucap Halimah lagi. Ia jengah dengan sikap putranya yang tidak pernah teguh pada pendiriannya itu. Sebelumnya dia menerima pesan dari Isa jika ada wanita yang mengaku sebagai istri dari Ali yang datang ke kantornya. Dan saat dia datang, nyatanya perempuan itu sudah disembunyikan oleh putranya ini. Baiklah, sekalian saja keduanya dibuat kebat-kebit dengan berbagai ancamannya.
"Ibu tunggu malam ini di ruang kerja Ayah. Ibu gak menerima alasan apa pun!" Setelah berucap demikian, Halimah segera keluar dari ruangan putranya itu. Namun, tiba-tiba dia kembali membalikkan badannya saat menyadari sesuatu.
"Lebih baik jas-nya dibuang aja, Mas. Jangan sampai Ayana mencium bau-bau tulang bengkok yang hampir busuk di pakaianmu itu! Bisa huwek-huwek dia nanti."
Ali menggaruk tengkuknya yang terasa merinding disko kini. Dia belum berniat untuk memerintahkan Annisa keluar. Belum aman jika sang ibu masih berada di kantor milik ayahnya ini.
"Ibumu tahu, Mas?" tanya Annisa saat Ali memanggilnya untuk keluar.
"Sepertinya begitu. Maka, kumohon pergilah! Kamu tahu ancaman ibuku tidak pernah main-main?"
"Dan permintaanku juga gak main-main, Mas. Dan sayangnya, aku gak takut tuh sama ancaman ibumu, semakin menantang maka akan semakin seru!"
"Jika itu yang menjadi keputusanmu, maka tak ada lagi yang harus kupertanyakan kepadamu. Kemasilah semua pakaianmu, hari ini juga aku pastikan suamimu akan datang menjemputmu!"
"Dan akan kupastikan jika istrimu akan segera meminta cerai kepadamu!"
Ali segera menghubungi asisten pribadinya.
"Sebentar lagi orang-orang suruhan papamu akan datang menjemputmu. Jadi kemasilah seluruh barang-barangmu!"
Annisa tak menggubris ultimatum dari Ale. Dia malah nekat memeluk Ali dari belakang hingga membuat Ali kepayahan melepaskan dekapan dari Annisa.
"Nisa, lepas!" geramnya dengan coba melerai tangan Annisa yang melingkar kuat di pinggangnya.
"Aku gak akan melepaskan pelukanku ini sebelum kamu batalkan niatanmu tadi, Mas!"
"Gak akan pernah! Kamu sudah salah melangkah, Nissa, aku wajib meluruskan jalan pikiranmu."
Saat mereka tengah berjibaku antara satu dengan lainnya, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah luar apartemen milik Ali ini.
"Annisa Alfahri!"
Ali membeliang menatap nanap tak percaya. Seorang pria yang usianya terpaut beberapa tahun dengan dirinya tampak berjalan dengan sikap congkak dan menatap tajam pada Ali yang kini menatap Annisa yang berlindung di balik tubuh besar Ali.
"Dasar laki-laki murahan! Melindungi istri orang dengan dalih merasa kasihan." Pria yang tak lain adalah Adrian Wicaksono, suami dari Annisa itu kini semakin mendekat kepada mereka berdua.
"Seharusnya kalimat itu yang pantas untuk kuucapkan kepada Anda, Tuan Wicaksono yang terhormat! Anda suaminya, lalu kenapa bisa istri Anda selama berhari-hari meninggalkan Anda dan memilih saya sebagai tempat berlindungnya?"
"Karena dia tahu Anda tidak pernah konsisten terhadap semua yang Anda ucapkan! Bukankah Anda sudah memiliki seorang istri, Tuan Ibrahim? Lalu, kenapa Anda harus sibuk memberi perhatian terhadap istri orang, apakah Anda belum bisa melupakan Annisa yang sudah jelas-jelas berpaling dari Anda dan lebih memilih saya?"
"Di sini saya hanya menempatkan diri sebagai seorang teman yang memang harus peduli terhadap kesusahan dan penderitaannya karena bersuamikan pria seperti Anda!"
"Teman? Teman macam apa? Kalian bahkan berencana untuk menikah sebelum akhirnya Annisa menjadi istriku. Lalu, sekarang kalian tinggal dalam satu atap yang sama, menjijikan!" ucap Adrian dengan bermaksud menarik Annisa yang malah semakin merapatkan tubuhnya terhadap Ali.
"Pulanglah, Nisa!" ucap Ali pelan seraya menoleh kepada Annisa yang kini perlahan menjauh dari tubuhnya.
"Sayang, kenapa dirimu pergi dari istana peraduan kita? Aku sudah siapkan semua yang kamu inginkan, tapi kenapa kamu malah lari dengan mantan kekasihmu yang miskin ini?" ucap Adrian dengan tatapan merendahkan terhadap Ali.
"Kendatipun aku bukanlah pria berharta seperti dirimu, namun ada cinta yang tak penah ingin kubagi kepada wanita lain selain istriku. Sementara kamu?"
"Aku mampu dengan adil membagi cintaku kepada istri-istriku. Sedangkan kamu? Satu istri saja belum mampu dirimu untuk memberikan cinta yang seutuhnya. Suami macam apa dirimu itu, Tuan Ibrahim?"
"Aku pulang, Mas." Ucapan Annisa seolah menjadi belati yang sanggup menghujam palung terdalam hati dan nurani Ali. Ada pedih yang tak pernah bisa ia hindari, ada luka yang tak pernah mampu ia seka dalam aliran darah rasa kecewa. Nyatanya dirinya memang masih tersiksa dengan apa yang coba diikhlaskannya, nyatanya dirinya masih tak rela jika Annisa akhirnya kembali ke dalam pelukan suaminya. Ada rasa yang jelas-jelas salah, namun masih bersemayam dalam jiwanya.
Ali menutup pintu apartemennya rapat-rapat saat suara langkah kaki Annisa dan juga suaminya itu sudah tak terdengar lagi di telinganya. Ia marah dan ia kecewa, marah pada dirinya sendiri, kecewa pada pendiriannya yang umpama pohon tanpa akarnya, mudah goyah dan tak pernah kuat, walau hanya angin semilir yang berdesir.
*
*
Ayana baru saja keluar dari kamar mandi saat Ali tiba-tiba sudah terbaring di ranjang dengan kaki yang ia juntaikan separuh bagian. Sepatu dan jas kerjanya masih setia menempel di tubuh Ali. Ayana yang hanya mengenakan handuk sebatas paha itu tampak mendekat kepada sang suami yang nampak sangat kelelahan itu.
"Mas," ucapnya pelan dengan duduk di samping tubuh suaminya itu.
Ali menggeliat, membuka matanya perlahan. Hal pertama yang menjadi perhatiannya adalah penampilan Ayana saat ini. Rambutnya yang masih basah dengan tetesan air yang kini mengalir rintik-rintik melewati tubuh bagian atasnya yang terbuka, membuat jakun Ali anggup-anggip, naik-turun.
"Aku menginginkanmu, A,,."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
kenapa kau menginginkan Ayana sedang kan hati mu di Annisa 🤦♀️
2024-02-09
1
վմղíα | HV💕
berantas pelakooooor mu sebelum semakin jauh merusak rumah tangga anak ibu
2023-10-20
1