"Cukup temani!" ucap Ali saat Ayana akan ikut membantu menyiapkan makan malam untuknya.
"Begini?" tanyanya setelah duduk di kursi makannya.
"Anak yang baik," ucap Ali seraya mengacak pelan puncak kepala Ayana. Hal yang membuat Ayana kembali teringat akan sosok sang ayah, Chandra Adhiyaksa yang tak pernah lagi ia dengar kabar beritanya setelah ia memutuskan untuk menolak permintaan sang ayah dan memilih pergi dari rumah besar itu.
Ali melihat ada gurat kesedihan di mata istrinya itu.
"Kenapa menangis?" tanyanya sebelum akhirnya duduk di samping Ayana dengan membawa satu piring nasi beserta lauk-pauknya.
"Aku teringat ayahku, Mas. Perlakuanmu sama persis seperti beliau." Ayana mendongak menatap Ali yang mulai menyantap makanannya. Ayana tak pernah melewatkan satu suap nasi pun yang masuk ke dalam mulut suaminya itu. Hal yang dianggap berbeda oleh Ali.
"Aaa." Ali menyodorkan satu sendok nasi tepat di depan bibir Ayana. Ayana menggeleng menolaknya.
"Aku gak laper, Mas!"
"Tapi lihatin aku terus!"
Ali tetap meletakkan sendok yang berisi nasi itu di depan bibir sang istri. Akhirnya Ayana membuka mulutnya.
"Makan yang banyak biar badannya sedikit berisi. Tidak terlalu kurus seperti ini," ucap Ali yang kembali menyuap makanan ke dalam mulutnya.
"Apakah kamu akan lebih mencintaiku jika tubuhku lebih berisi?"
"Cintaku tak bersyarat Ay! Seperti keinginanku untuk menikahimu yang kauterima tanpa karena."
Ayana tersenyum mendengar penuturan Ali. Namun, kenapa hingga saat ini Ayana merasa belum memiliki hati suaminya itu? Tertinggal di mana hati milik suaminya itu?
Keesokan harinya.
"Pulang jam berapa tadi malam, Mas?" tanya Halimah saat melihat anak dan menantunya sudah bersiap untuk menikmati sarapan paginya.
"Jam 1, Bu." Ali menggeser kursi untuk sang istri duduk di sebelahnya.
"Lembur? Kenapa gak ngasih kabar orang di rumah, Ibu atau Ayana?"
"Ali sibuk banget, Bu. Maaf sudah membuat kalian khawatir," ucapnya dengan mengambil piring yang sudah diisi sarapan pagi berupa roti panggang yang sudah diolesi madu sebelumnya oleh Ayana.
"Kalau masalah sibuknya sih Ibu paham. Tapi kalau sampai lupa ngabarin Ibu atau istrimu itu sih kebangetan, Ly. Jangan diulangi lagi!"
Ali dan juga Ayana sama-sama mendongak mendengar ultimatum sang ibu.
"Malam ini lembur lagi? Sendiri apa ditemani asisten?" tanya sang ibu lagi karena Ali belum menanggapi ultimatumnya.
"Ali usahakan pulang, Bu. Tapi Ali gak bisa memastikan pulangnya jam berapa." Ali menatap Ayana yang kini mengusap punggung tangannya yang ia letakkan di atas paha.
"Ayana gak apa-apa kok Bu, jika Mas Ali menginap di kantor. Terlalu beresiko pulang ke rumah jika sudah larut malam."
"Tapi Ibu gak ngizinin!" Dan jika sang ibu sudah bertitah, Ali bisa apa?
"Ali usahakan pulang sebelum hari ini berganti esok, Bu."
Ali tiba di kantornya. Baru saja dia akan membuka laptop-nya, sebuah panggilan tampak di layar ponsel-nya.
"Nomor siapa ini? Gak ada namanya," gumamnya tak berniat menerima panggilan tersebut. Akan tetapi, ponsel-nya terus saja berdering.
"Mas." Ali tercengang saat mendengar suara itu. Ya, itu adalah suara Annisa.
Ali berjalan untuk menutup pintu ruangannya.
"Ada apa? Apa ada masalah?" tanyanya terlihat sangat perhatian terhadap Annisa.
"Kamu kenapa gak ke apartemen sih, Mas? Aku nungguin dari subuh."
"Aku akan ke apartemen sepulang dari kantor nanti." Ali segera menutup panggilannya terhadap Annisa. Rasa bersalah itu kembali hadir saat dia berjanji pada wanita selain istrinya. Dasar gak jelas kue, Ly!
Hari sudah malam, Isa dipinta oleh Ali untuk pulang terlebih dulu. Sementara dia pergi menemui Annisa di apartemen miliknya.
"Ada apa?" tanyanya setelah Annisa sudah membukakan pintu untuk dirinya.
"Bisakah kamu tidur di sini malam ini, Mas. Hanya malam ini, aku janji tidak akan meminta lebih."
Ali menghela nafasnya panjang. Permintaan apa ini? Baru saja dia berjanji pada ibu dan istrinya jika dia akan pulang ke rumah malam ini. Kendatipun, ia tak bisa memastikan waktu kepulangannya. Akan tetapi, tidak dengan tidur di sini bersama istri orang. Eddan!
"Jika hanya itu yang ingin kaukatakan, maka maaf aku rasa dirimu sudah tahu untuk jawabanku ini. Aku gak bisa! Hanya apartemen ini yang bisa kupinjamkan kepadamu, tidak dengan tubuhku!"
"Itu artinya aku masih bisa memiliki hatimu, Mas?"
Ali menggeleng. "Kenapa sekarang dirimu sangat jauh berubah, Nissa? Di mana Annisa yang baik dan lemah lembut tutur sapa dan sikapnya, apakah kamu berniat menjadi duri dalam rumah tanggaku bersama Ayana?"
"Aku bukan duri, Mas, aku juga bukan pelakor!"
Ali tercenung bingung. Bukan pelakor katanya? Lalu, apa namanya wanita yang mengharapkan cinta dari pria yang sudah berstatus sebagai suami orang, apa?
"Karena hatimu masih milikku, Mas. Jadi aku tidak perlu bersusah payah untuk merebutnya."
"Gila!" ucap Ali dengan menutup pintu apartemen-nya kuat-kuat. Dia bergegas masuk ke dalam kendaraannya. Pikirannya kembali tergoncang atas ucapan Annisa tentang hatinya yang memang pada kenyataannya masih milik wanita itu.
"Aku tidak akan menemuinya lagi. Sebaiknya aku hubungi saja Paman Umar agar menjemput Annisa di apartemenku. Tapi, apakah itu tidak sama saja artinya aku menggali lubang kuburanku sendiri? Bukankah Ibu dan juga Ayana pasti akan ikut mengetahui tentang diriku yang sudah menyembunyikan istri orang di apartemenku ini? Arrrggghhh, sial!" kesalnya dengan memukul kemudinya kuat-kuat.
Lama Ali berdiam diri di dalam kendaraannya hingga deringan pada ponsel mengagetkannya.
"Ibu?" ucapnya sebelum menerima panggilan yang berasal dari ibunya itu.
"Di mana kamu, Mas? Ibu telepon Isa, dia udah pulang dari tadi kata istrinya. Kamu bohongin Ibu dan juga Ayana, ya?"
Ali tercengang. Ibunya selalu saja tahu tentang apa pun yang dilakukannya. Dan sekarang dia bingung harus menjawabnya. Disaat kebingungannya sedang menemui jalan buntu, sang ibu malah mengubah panggilannya beralih ke panggilan video. Ali makin bingung, dijawab salah, gak dijawab tambah salah.
"Kenapa gak diangkat? Ibu semakin curiga sama kamu, Mas. Kamu ngumpetin istri orang ya?" Begitulah isi pesan dari sang ibu yang sanggup membuat darah Ali serasa berhenti mengalir. Tuduhan itu seperti nyata kini, suara ibunya itu seakan-akan ada di depannya dan tengah menatapnya dengan perasaan kecewa dan sedih.
Sebelum Halimah lebih jauh lagi berspekulasi, Ali segera menjawab panggilan video dari ibunya itu.
"Kamu masih di kantor, Mas, ngapain duduk sendiri di dalam mobil? Apakah kehadiran Ayana tidak bisa membuatmu lupa pada mantan kekasihmu itu? Ingat, Mas! Kamu yang memintanya untuk menerimamu menjadi suaminya. Jika Ibu tidak bisa menjadi alasan untukmu bisa menjadi lelaki yang bertanggungjawab, setidaknya jangan buat mendiang ayahmu sedih di sana dengan kelakuanmu ini, Mas!"
Ali melengung tercengung bingung. Dari mana ibunya bisa dengan tepat menebak keberadaannya yang nyata-nyata sedang duduk di dalam kendaraannya ini? Baru Ali akan berucap, matanya membeliak menatap nanap pada posisinya saat ini. Dia masih berada di area parkir apartemennya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Yunerty Blessa
maka nya Ali lupakan mantan mu..karna kau sudah beristeri
2024-02-09
1
վմղíα | HV💕
romantisnya, jangan berpaling lagi ya Ali ke mantan 🤭
2023-10-19
1