Dia pria dewasa dan wanita di sampingnya ini sudah jelas halal untuk dia nikmati. Namun, kenapa nama lain yang ingin diucapkannya? Ali menghentikan ucapannya, saat Ayana meletakkan jari manisnya di bibir Ali. Sentuhan pertama di daerah terlarang bagi seorang Ali Zein Ibrahim.
"Aku istrimu, istrimu adalah pakaianmu. Maka, kenakanlah aku sesuka dan semaumu, tak ada alasan untuk diriku menolaknya."
Ali tercenung, kesadarannya masih belum terkumpul sempurna dalam benaknya kini. Masih ada guratan kekecewaan atas kepergian Annisa untuk kedua kalinya. Menyesal, karena sudah peduli terhadap wanita yang sudah bersuami.
Namun, dalam amarahnya ada keinginan yang selama ini coba ia pertahankan, entah apa yang dia tunggu? Cinta? Tak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap Ayana, dia berdalih menunggu waktu yang tepat.
Dan saat ini, saat amarah dan kecewa tengah menguasai dirinya, keinginan itu muncul. Wajah dan tubuh siapa yang dia inginkan ada di bawah kungkungannya? Benarkah A, itu adalah untuk Ayana, bukan inisial nama yang lainnya?
Ali bergegas masuk ke dalam kamar mandi setelah selesai menuntaskan hasratnya terhadap sang istri yang kini masih duduk terdiam di tepian ranjang.
"Aku bahagia menjadi yang pertama untukmu, Mas. Tapi, kenapa aura kebahagiaanmu itu tak kudapatkan di wajahmu? Apakah bukan aku yang kauinginkan?" lirihnya dengan bermacam-macam rasa yang kini mendera. Ada rasa yang hanya sekedar ilusi, namun lebih sakit lagi perih yang asalnya dari dalam sanubari.
Ali sudah selesai membersihkan tubuhnya. Sejenak ia pandangi wajah Ayana yang tampak murung dengan kepala sedikit mendongak kepadanya.
Ali mendekat, mengusap punggung tangan Ayana yang menatap penuh rona bahagia di wajahnya.
"Ada kesedihan di balik wajah bahagiamu. Apakah aku yang menyebabkan semua itu?" tanya Ali dengan semakin mendekatkan wajahnya. Ayana mundur menghindari tatapan mata Ali yang membuatnya semakin sedih.
"Apakah kamu bahagia setelah memiliki diriku seutuhnya, Mas? Atau aku hanya sebuah pelampiasan?" ucap Ayana dengan melepas genggaman tangan Ali yang kembali menarik tangannya.
"Apakah itu pantas disebut sebuah pertanyaan? Jika iya, pertanyaan macam apa itu? Kamu istri sah-ku, hanya kamu. Tidak ada rasa kecewa yang harus kulampiaskan kepadamu, tidak ada kekecewaan yang harus kuluapkan ke dalam tubuhmu, hanya cinta, Ayana, cinta!"
Ayana tersenyum getir mendengarnya. Ucapan dan bahasa tubuh Ali tidaklah sama di matanya. Ada kebohongan di balik cinta, ada yang berat saat kalimat itu harus terucap.
"Bolehkan aku bahagia saat ini? Bolehkan aku bangga karena suamiku akhirnya mau mengakui diriku sebagai istrinya yang hanya satu, apakah aku melanggar hak yang memang sudah menjadi milikku?" Ayana tak mampu menahan laju kristal bening yang sudah menumpuk di ujung retinanya. Dan bulir bening itu akhirnya lolos juga.
Ali menyeka air mata Ayana dengan ujung jarinya. "Apakah aku menyakitimu? Kamu belum siap menerima semua keburukanku?"
"Bagaimana jika pertanyaan itu yang kini aku mintai jawabnya dari dirimu, Mas? Jawaban apa yang akan kuterima?"
"Maafkan semua kesalahan di masa laluku yang masih kubawa hingga kini ada di depanmu." Ali bawa tubuh sang istri yang sudah tak terisak lagi. Kendatipun, ia tahu Ali tak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu, namun, setidaknya ada sedikit kejujuran yang coba suaminya itu ungkapkan. Meskipun tak sedetail kecurigaannya, namun Ayana cukup tahu jika ada sesal yang coba suaminya itu perbaiki.
"Keramas, Mas? Abis perang uhud ya, gimana, menang gak?" ucap Halimah saat Ali masuk ke dalam ruangannya.
"Alhamdulillah menang, Bu." Ali segera duduk di seberang sang ibu.
"Kalau begitu, cucu Ibu otewe dong!"
"Aamiin, semoga secepatnya." Sejenak Ali mengalihkan perhatiannya pada map berwarna hitam yang kini ada di hadapannya.
"Semua sudah atas nama Ali, Bu, kenapa?" tanyanya heran seraya membuka isi dari map tersebut.
"Karena Ibu sudah percaya dengan dirimu, Mas. Ibu yakin kamu sudah selesai dengan masa lalumu, dan sudah siap menjalani kewajiban dan tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga dan juga sebagai tulang punggung keluarga ini."
Ali terdiam. Apa maksud ucapan ibunya ini? Apakah sebuah sindiran halus atau memang kalimat yang sebenarnya? Karena Ali yakin jika sang ibu pasti sudah bisa menebak jika Annisa-lah wanita masa lalu yang dimaksud sang ibu.
Hari demi hari telah berlalu. Ayana sudah bisa menerima semua pengakuan Ali yang dianggapnya masih belum sepenuhnya terungkap itu. Kendatipun, Ali sudah menunaikan semua kewajiban lahir dan bathinnya kepada Ayana, namun, Ayana tahu jika hati suaminya itu masih belum sepenuhnya menjadi miliknya.
Ali tengah membersihkan tubuhnya di dalam kamar mandi saat sebuah pesan masuk di layar ponsel-nya. Ayana tak berniat untuk melihat isi pesan tersebut. Namun, setelah beberapa detik sebuah pesan kembali masuk. Ayana pun segera meraih ponsel milik Ali itu.
"Mas, aku memilih pergi dari suamiku. Aku membutuhkanmu. Bisakah kita bertemu malam ini?" Begitulah isi pesan yang tampak di layar ponsel Ali. Ayana mencelang, degupan jantungnya seakan enggan berirama sempurna saat ia baca kalimat itu.
"Ternyata aku benar-benar mencintai pria yang belum usai dengan masa lalunya, bahkan saat tubuh ini sudah kuserahkan seutuhnya dan dia masih menyimpan rasa terhadap mantan kekasihnya itu."
Ayana meluruh jatuh ke lantai saat itu juga. Ingin rasanya ia menangis, namun untuk apa? Apakah Ali bisa memberikan cinta dengan linangan air matanya? Apakah Ali bisa melupakan bayang-bayang mantan kekasihnya itu dengan kekecewaannya? Tentu saja tidak! Kesuciannya, cintanya, semua kasih sayangnya sudah ia serahkan, namun hati suaminya belum juga ia dapatkan.
Pengorbanan seperti apa lagi yang harus dia lakukan? Ayana meremas kuat-kuat perutnya yang terasa ingin juga memusuhi dirinya akhir-akhir ini. Kenapa?
Ali keluar dari dalam kamar mandi dan mendapati sang istri masih tertidur di ranjangnya. Perlahan Ali mendekat, mengusap pelan surai panjang Ayana yang masih basah.
"Ay, Mas berangkat kerja dulu, ya. Nanti kalau butuh sesuatu bilang aja ke Ibu," ucap Ali dengan mengecup singkat puncak kepala Ayana.
Ayana menangis dalam mata terpejamnya, dia tersenyum dalam rontahan gelungan rasa sedihnya. Mas? Selama pernikahan mereka, baru kali ini Ali menyebut dirinya sendiri dengan sapaan Mas. Sapaan manis yang hadir dalam hati yang terisis. Sapaan sayang yang tak mampu lagi membuat perasaannya melayang seperti dulu saat dia pertama kali jatuh cinta pada suaminya itu.
"Ay, kamu beneran tidur?" tanya Ali dengan memutar tubuh Ayana yang kini menatapnya dengan mata berair.
"Kamu sakit, badan kamu panas, Sayang."
Dan lagi, air mata itu semakin hangat menyengat di pelupuk mata Ayana. Rasanya semua pintanya terjawab semua hari ini. Namun, kenapa dengan harapan yang tak lagi sama? Kenapa semua seakan percuma? Tak ada euforia yang layak untuk ia rayakan.
🌷🌷🌷🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Hikmah
ungkapan kecewa,sedih dan juga nelangsa.tak mampu mengunkapkan kekecewa'annya.hanya dengan air mata.
2024-02-20
1
Yunerty Blessa
sedihnya....
2024-02-09
1
rmdhny__lixx
aduhh thor nyesek kalo jadi ayana
2023-11-22
1