Ali tercekat, lidahnya keluh, pandangan matanya seakan ikut memudar seiring berubahnya raut wajah sang istri yang kini menatapnya dengan perasaan benci. Apakah memang semua ini layak untuk dirinya? Sedangkan pada kenyataannya dia belum melakukan pembelaan terhadap fitnah yang ditujukan untuk dirinya.
Ali menengadah, ia lihat mata yang mulai berkabut itu semakin berkaca-kaca dan menganak sungai melewati guratan halus di bawah telaga bening sang istri.
"Ay, Mas mohon dengarkan penjelasanku. Semua tidak seperti yang kalian pikirkan. Aku tidak sebejat itu. Aku akui aku bersalah karena membawa wanita lain dalam rumah tangga kita, tapi secuil pun aku tidak pernah menyentuhnya."
"Dan pikiranku terlanjur buruk tentang dirimu, Mas. Sepertinya usul Papa wajib untuk kupertimbangkan."
"Ayana! Kamu sedang hamil, Sayang," ucap Ali berseru memanggil sang istri yang kini sudah berlari kecil masuk ke dalam rumahnya. Ali berhasil menghentikan langkah kaki Ayana sebelum istrinya itu menutup pintu kamarnya dengan wajah tak bersahabat.
"Mas mohon, berikan kesempatan kedua untukku. Bukankah aku masih memiliki kesempatan seperti pria pada umumnya?"
Ayana masih bergeming tak ingin bersuara dan menjawab permintaan suaminya itu.
"Mas mohon bicaralah, Ay! Jangan diam saja," pintanya dengan gerakan tangan ingin menagkup wajah Ayana, namun dengan gerakan cepat Ayana menolaknya.
"Untuk apa? Kupikir aku sudah terlalu banyak berkorban untuk dirimu, Mas, bahkan sejak kali pertama kita bertemu dan dengan entengnya aku menyetujui permintaanmu. Demi apa, Mas? Tentu aku ingin hidupku bahagia dengan pria yang kupikir bisa membawaku dari hancur dan gilanya keinginan papaku, tapi kenyataannya apa? Aku bahkan bisa lebih gila dari permintaan papaku itu karena ulahmu. Lalu, sekarang apa yang kamu inginkan?"
"Pulang dan Mas akan jelaskan semuanya kepadamu di rumah kita, bukan di sini!"
"Di mana pun akan tetap sama, Mas."
"Tapi tiidak dengan di rumah ini!"
"Bicara di sini atau tidak sama sekali!"
Ali menghela nafasnya panjang, menghempaskan begitu banyak penat dan beban yang begitu berat. Ia bawa sang istri untuk duduk di sampingnya kini. Tak ada sentuhan fisik yang dapat Ali lakukan, walaupun hanya menyentuh ujung tangan Ayana saja, sang pemilik hati tak membolehkannya. Baiklah! Ayana sudah bersedia mendengar penjelasan darinya saja Ali sudah sangat bersyukur. Setidaknya masih ada setitik harapan untuk gulitanya cahaya rumah tangganya sekarang ini.
"Dia sudah pulang bersama suaminya." Ayana menoleh memberi tanggapan atas ucapan Ali yang sepertinya sengaja ia gantung itu.
"Kamu mengancamnya?" ucap Ayana dengan pandangan mata fokus menatap bola mata Ali.
"Tentu saja iya."
"Setelah kamu tahu jika Papa mengetahui tentang kebusukanmu itu?"
Ali menghembuskan nafasnya cepat, lalu menggelengkan kepalanya menolak tuduhan Ayana.
"Aku sama sekali tidak mengetahui tentang hal itu, Ay. Sungguh!"
"Lalu, untuk identitas-ku, apakah kamu juga tidak mengetahuinya, atau berpura-pura tidak tahu dengan maksud terselubung di belakangku? Ada apa dengan dirimu, Mas, kenapa kamu selalu membodohiku?"
"Gak, Ay! Aku sama sekali gak tahu jika Chandra Adhyaksa itu adalah ayahmu, bahkan ayahku sendiri tidak menyadari tentang hal ini, apalagi aku yang tak penah tahu latarbelakang permasalahan kedua orang tua kita."
"Dan sekarang, kamu semakin memperkeruh semua masalah dan situasinya, Mas!"
"Gak ada niatku untuk membuatmu merasa seperti yang kautuduhkan itu, Ay. Aku tulus memintamu untuk menjadi istriku dan aku mulai sadar jika kamulah jodoh yang diisyaratkan Tuhan dalam istikharah-ku."
Ayana mendongak merasa terharu dengan pengakuan Ali. "Benar seperti itu, Mas?"
"Hem."
"Tapi, hatiku telanjur terluka dan kecewa dengan semua pengkhianatanmu, Mas. Maka izinkan aku untuk menangkan diri di rumah ayahku ini. Tanpa kamu."
"Aku takut kamu akan semakin membenciku, Ay."
"Bukankah cintaku tidak penting untukmu?"
Ali diam, sepertinya hati istrinya ini sudah benar-benar tidak berpihak lagi terhadapnya. Namun, Ali tidak akan menyerah untuk memperjuangkan hak-nya. Biarlah orang menyebut semua ini adalah karma untuk dirinya. Saat dulu sang istri berjuang untuk mendapatkan hatinya, namun hatinya masih tertambat pada hati yang lainnya. Dan sekarang dia merasakan, betapa payahnya menggapai hati yang terlanjur terluka dan kecewa karena kecerobohannya.
"Kumohon jangan terlalu lama meminta waktu untuk sendiri," ucapnya saat Ayana akan beranjak masuk ke dalam kamarnya.
"Dan kumohon jangan terima pinangan dari pria mana pun. Karena aku bukanlah aku, jika ada yang berani mengusik kepunyaanku." tambahnya lagi.
Ayana menoleh dengan dahi yang mengernyit. "Seharusnya hal itu yang tertanam dalam benakmu sebelum memutuskan untuk membawa wanita itu."
"Aku pulang. Bolehkah aku bicara dengan calon anak kita?" pinta Ali yang membuat Ayana menengadah memutar bola matanya malas. Suaminya ini sungguh sangat menyebalkan, dia tahu titik kelemahan seorang wanita yang sedang hamil muda.
Ali maju beberapa senti untuk kemudian berjongkok di depan sang istri.
"Ayah pulang dulu, Sayang. Ibumu sedang tidak ingin ada di dekat Ayah. jangan menyusahkan ibumu selama Ayah tidak ada di sampingnya. Jadi anak yang baik dan doakan Ayah agar lulus dalam ujian dari Bunda kali ini. Sabar ya, tunggu kedatangan Ayah," ucapnya dengan berniat mengecup perut sang istri, namun Ayana buru-buru memundurkan tubuhnya hingga Ali pun gagal melaksanakan niatannya itu.
"Boleh Mas peluk kamu? Supaya rindu ini gak terlalu berat." Idih gombal-gambel!
Ayana hanya diam, namun dia tak menolak saat Ali memeluk tubuhnya. Tak ada pergerakan apa pun yang ditunjukkan Ayana sebagai respon atas pelukan sang suami. Namun, Ali tak protes, ini sudah cukup baik dan menggembirakan hati dan perasaannya. Setidaknya masih tersisa secuil rasa untuk besar cinta dan juga penyesalannya.
"Terima kasih, masih memberikan kesempatan itu untukku, semoga Tuhan Sang Pemilik hati setiap insan senantiasa melembutkan hati kita, agar bisa memilah yang mana cinta dan juga amarah."
Ali melangkah pelan setelah sang istri menutup pintu kamarnya. Namun, saat dia tengah akan kembali melangkah terdengar suara Chandra Adhyaksa.
"Apalagi yang kamu tunggu, Anak muda? Riwayatmu sudah berakhir hari ini. Kasihan sekali, baru saja merasakan bahagia, eh sudah main pergi aja!"
Chandra Adhyaksa pun bergegas masuk ke dalam rumahnya diikuti beberapa pengawalnya.
*
*
*
Ali sudah tiba di rumahnya, ia disambut dengan kehadiran ibunya yang tampak sangat cemas menunggu kepulangannya.
"Mas," tegurnya saat sang putra hanya berjalan melewati dirinya tanpa menyapa dan bertanya. Ali pun berhenti. "Ada apa, Bu?"
"Mana istrimu? Kok pulang sendirian?" ucap sang ibu dengan mencekal tangan putranya itu.
"Ayana butuh waktu untuk sendiri, Bu."
"Dan kamu mengizinkannya?" ucap sang ibu heran.
"Biarkan Ayana mencari ketenangan hati dengan caranya sendiri, Bu."
"Di mana dia saat ini?"
"Di rumah ayahnya."
"Kalian bertengkar, Mas? Apa masalahnya?"
"Cucu Ibu sedang dikambinghitamkan oleh bundanya."
Halimah terlongong bengong dengan mata membeliak. "Ayana hamil, Mas?"
"Alhamdulillah, iya, Bu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments