Permintaan Noah Ibrahim.

"Nona Ayana!" Begitulah teriakkan yang sama sekali tak diindahkan oleh gadis yang masih belum berniat mengendurkan laju kuda besi milik Ali.

Setelah beberapa menit kuda besi itu melesat dan dirasa ketiga pria dengan pakaian serba hitam tadi sudah tak lagi mengikuti mereka, gadis itu pun menepikan kendaraan milik Ali tersebut.

Ali masih bergeming. Dia masih menunggu, kalimat apa kiranya yang akan meluncur dari bibir mungil nan merahnya itu.

"Maaf," ucapnya dengan sorot mata nanap menatap Ali. Ali masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.

"Terima kasih, sudah bersedia menolongku," ucapnya lagi dengan menampilkan senyum setipis sutra, namun manisnya sungguh mampu membuat Ali hampir tersedak salivanya sendiri. Ekhem!

"Bahkan saya belum mengatakan jika saya bersedia menolong Anda tadi, kan? Ini pemaksaan!" Ali membuang pandangannya ke samping saat gadis dengan mata bulat itu menjelangak menatapnya.

"Sekali lagi, maafkan aku, Pak." Ali akan protes dengan sapaan yang disematkan gadis itu untuk dirinya. Kenapa harus Bapak? Ibunya saja memanggil dirinya dengan sapaan Mas. Lah, ini kok Bapak.

Baru dia akan membuka mulutnya, tiba-tiba ponsel-nya berdering.

"Ayah manggilin kamu, Mas. Ibu harap kamu segera datang ke rumah sakit sekarang juga!"

"Ali segera datang, Bu," jawab Ali sebelum menyudahi panggilan suaranya terhadap sang ibu.

Ali bergegas naik ke atas roda duanya dan sepertinya dia melupakan kehadiran gadis yang sudah membuat sedikit drama kolosal hari ini untuk dirinya. Namun, tiba-tiba Ali mengernyit seolah mengingat sesuatu kini. Dan benar saja, Ali ternyata teringat ucapan azimat sang ayah dan pandangan matanya pun langsung tertuju pada gadis yang sama sekali belum ia ketahui Identitasnya itu.

"Masih ingat dengan janji yang Anda ucapkan tadi, Nona?" tanyanya dengan tatapan tajam.

Gadis itu pun mengangguk tanpa melihat kepada Ali yang masih betah memandangi dirinya.

"Baiklah, ikut saya, sekarang!" titahnya.

Tanpa bertanya ke mana dan untuk apa, gadis itu langsung naik ke kuda besi milik Ali.

Tak butuh waktu lama, kini keduanya sudah tiba di rumah sakit tempat sang ayah dirawat.

"Saya mohon jadilah mitra terbaik saya untuk saat ini," ucap Ali dengan penuh penekanan dan dijawab dengan anggukan kepala oleh si gadis.

"Ibu!" perempuan paruh baya dengan rambut disanggul satu kebelakang itu tampak berdiri saat melihat kedatangan Ali yang ternyata tidak sendiri.

"Bagaimana keadaan Ayah, Bu?" tanya Ali seraya menggenggam kedua tangan ibunya yang terasa dingin di bagian telapaknya.

"Ayah kritis lagi, Mas. Berkali-kali Ayah memanggil namamu."

"Maafin Ali, Bu. Ada insiden kecil di jalan tadi." Sang ibu pun mulai memperhatikan gadis yang kini berdiri di belakang sang putra.

"Dia siapa, Mas?" tanyanya dengan tatapan nanap tak berkedip dan juga alisnya yang berkerut seolah memperjelas pertanyaannya barusan.

Sementara Ali dengan wajah terkejut dan terlihat gelagapan itu tampak bingung kini. "Arrggh! Aku bahkan belum bertanya siapa namanya, kan?" monolognya dalam hati.

"Saya Ayana Isadia, Bu," ucap si gadis dengan berjalan mendekat lalu mencium punggung tangan sang ibu.

"Huh!" Rasanya seperti orang puasa yang baru saja mendengar adzan magrib berkumandang dengan segelas es buah yang segar di depannya. Rasanya nyess, adem banget.

"Dia benar-benar mempraktikkan ucapanku tadi." Ali menatap gadis cantik itu yang baru ia tahu namanya adalah Ayana Isadia yang ternyata juga tengah menatapnya.

"Calon istrinya Ali?" tebak sang ibu tanpa basa-basi lagi.

"Uhuk, uhuk!" Gadis yang bernama Ayana itu tampak terkejut atas ucapan Halimah Ibrahim, ibunda Ali.

"Eh, kenapa? Gak usah gugup. Ibu sangat bahagia karena akhirnya Ali bisa memenuhi permintaan ayahnya yang kini tengah berjuang di dalam sana," tunjuk Halimah Ibrahim pada ruangan yang bertuliskan ICU di bagian pintunya itu.

Ali mengangguk menatap kembali kepada Ayana. Coba berbicara lewat pandangan matanya, berharap Ayana mengerti dan paham.

"Kenapa baru sekarang, Mas? Saat ayahmu sedang,,." Halimah tak mampu melanjutkan kalimatnya. Sesak di dadanya semakin menjadi saja jika melihat kondisi sang suami, Noah Ibrahim. Air matanya telah lebih dulu berbicara.

"Ayah pasti bisa melewati masa-masa kritisnya, Bu. Percaya sama Ali." Sang ibu tak menanggapi ucapan putranya itu. Ia mendongak menengadahkan wajahnya menatap langit-langit rumah sakit ini. Dapat Ali lihat betapa khawatirnya dia saat ini melihat belahan jiwanya terbaring tak berdaya dengan selang infus di tangan dan juga beberapa alat medis yang kini menempel di tubuhnya yang terhubung pada layar monitor.

Noah Ibrahim tampak menggerakkan jari tangannya, lalu mencoba membuka matanya perlahan. Ali bergegas mendekat kepada sang ayah dengan membawa serta Ayana. Sedangkan Halimah sudah terlebih dulu duduk di samping sang suami.

"Ayah," ucap Ali pelan dengan lebih mendekatkan wajahnya. Sang ayah merespon melalui bahasa matanya.

"Dik." Ali menghelap

"Dik, Adik?" tanyanya dalam hati merasa heran lalu menatap kepada sang ibu yang juga tengah menatapnya.

"Aku di sini, Bang. Ada apa?" tanya Halimah. Ali mulai mengerti sekarang, mungkin ini adalah panggilan sayang di antara mereka berdua. Akan tetapi, mengapa?

Sang ibu tampak mengelus lembut punggung tangan sang ayah. "Ali Zein Ibrahim putraku, kemarilah, Nak!" pintanya. Dan Ali merasakan sesuatu yang buruk melalui panggilan dengan nama lengkapnya yang diucapkan oleh sang ayah, seolah menyiratkan sebuah kesedihan.

Ali kembali mendekatkan wajahnya. "Ali di sini, Ayah ingin apa?" tanyanya pelan. Namun, ada gejolak luar biasa yang dirasakan oleh Ali saat kedua netra mereka saling bertatap bersirobok. Ali menyingkir saat sang ayah menepuk pelan lengannya.

"Siapa gadis cantik yang ada di belakangmu, Ly? Apakah calon menantu Ayah?" Ali langsung menatap Ayana dan dibalas dengan senyuman oleh sang gadis. "InsyaAllah, Yah. Apa Ayah meridhoinya?" tanya Ali terlihat pasrah. Sesungguhnya niat awalnya membawa Ayana ke sini tidaklah sejauh ucapan yang baru saja meluncur bebas dari bibirnya itu.

Noah Ibrahim tersenyum menanggapi pertanyaan Ali dan dia pun lalu mengangguk pelan.

"Niat baik harus disegerakan, Ly! Apalagi yang kautunggu? Segera hubungi Ustad Musa untuk menjadi saksi pernikahan kalian!"

Ali terhenyak. "Kenapa harus secepat ini? Apa Ayah pikir gadis di sebelahku ini adalah seorang anak yatim piatu yang tidak membutuhkan izin untuk menikahinya? Bahkan jika pun benar seperti itu kenyataannya, setidaknya dia masih memiliki saudara yang harus kumintai izin. Dan aku yakin dia berasal dari keluarga yang cukup berada, dapat kulihat dari ketiga pria yang memanggilnya dengan sapaan Nona sewaktu di jalan tadi," monolognya dalam hati.

Namun, semua tanya dan keberatan Ali atas permintaan sang ayah tadi seolah terhempas sejauh-jauhnya saat Ayana mengangguk menyetujui permintaan Noah Ibrahim.

"Kamu bersedia menjadi istri Ali Zein Ibrahim, Nak?"

Terpopuler

Comments

վմղíα | HV💕

վմղíα | HV💕

iya bu Ali sudah punya calon 😂

2023-10-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!