Dalam momen tegang itu, Leo merasakan beban berat di pundaknya. Matilda yang berusaha melepaskan diri dari bekuannya masih tidak berhasil, dan Gideon bisa saja menebaskan pedangnya yang mengancam ke arah Matilda kapanpun dia mau. Leo mencoba memikirkan segala opsi yang ada, namun waktunya semakin terbatas.
"Tuan Leo Demhian, jangan lakukan apa yang dia mau!" Matilda berteriak dengan nada penuh keprihatinan, memohon Leo untuk tidak mengikuti perintah Gideon.
Gideon tersenyum sinis, "Oh Ayolah... berhentilah bermain-main denganku. Belladona! Bunuh wanita yang terbaring terlebih dahulu!"
Leo merasa tekanan semakin bertambah. Di kepalanya, dia mencoba memecahkan teka-teki ini. Namun rasa panik menguasai dirinya, dia merasa bahwa waktu untuk menyelamatkan Alisha semakin berkurang. Belladona bersiap untuk melepaskan sihir mematikan, sihir yang sama yang dia gunakan ketika mencoba membunuh Alisha. Kini nasib Matilda dan Alisha bergantung pada keputusannya.
Cahaya dari Menhir yang selama ini begitu kuat tiba-tiba memudar, meninggalkan seluruh ruangan dalam kebingungan dan ketegangan. Ruangan yang tadinya berkilauan kini dipenuhi dengan ketidakpastian. Cahaya ungu yang selama ini mengitari Menhir pun lenyap, menghilangkan aura magis yang selalu hadir. Semua mata yang ada di ruangan itu, termasuk Gideon, Belladona, Matilda, dan para pasukan Thellidia, tiba-tiba tertuju pada Leo.
Leo berdiri di depan Menhir, menatap Gideon dengan tatapan tegas yang dipenuhi emosi yang mendalam. Dia telah melepaskan tangannya dari Menhir, mengakhiri ikatannya dengan benda itu. Kehadirannya dan tindakannya ini mengubah seluruh dinamika situasi di ruangan tersebut, menciptakan momen ketegangan yang luar biasa.
Gideon tersenyum puas. Dia memandang Leo seolah-olah merasa Leo adalah orang bodoh yang sudah terjebak dalam perangkapnya. Dengan nada sombong, Gideon mencemooh Leo, memanggilnya dengan sebutan merendahkan.
Namun, senyumannya itu segera pudar ketika Leo, tanpa getar emosi, dengan nada dingin, mengungkapkan sebuah kebenaran yang kelam tentang ayah Gideon dan ibunya yang tragis. Gideon merasa seperti sebuah pukulan telah menghantamnya, dan perasaan ketidakpercayaan mulai merayap ke dalam dirinya. Dia berusaha keras untuk menolak kenyataan yang baru saja dia dengar, tetapi keraguan semakin menguat dan membayangi pikirannya.
"Kamu bisa berbicara apa saja yang kamu mau, Leo Demhian!" Gideon mencoba mempertahankan sikap angkuhnya, meskipun dalam hatinya keraguan tumbuh subur. "Aku tidak akan percaya omong kosongmu!"
Namun, kata-kata Leo telah menciptakan sedikit goyangan dalam keyakinan Gideon, dan situasi semakin tegang.
Gideon masih bersikeras mengejek Leo, dia melepaskan kata-kata tajam dengan nada sombong, "Kau benar-benar orang bodoh, Leo Demhian! Pikirkan, apa yang akan membuatku percaya dengan omong kosongmu?"
Namun, Leo tidak bergerak. Dia tetap menjawab dengan tenang, matanya penuh dengan ketegasan saat dia mulai menjelaskan kembali fakta tentang orang tuanya. "Apa yang kukatakan ini adalah kebenaran yang pahit. Ayahmu, Jurgan Emeric, adalah sosok yang penuh dengan kebusukan. Dia yang telah membunuh ibumu, Ratu Thelsysa, dalam sebuah permainan politik yang gelap dan hanya demi sebuah kekuasaan. Itu sebabnya ibumu meninggal."
"Dari mana kau tahu! Dasar tikus tidak berguna!" Gideon mendekat kearahnya seraya mengayunkan pedangnya keatas.
Leo, dengan tatapan tajam, merogoh kantong di samping celananya, dan dengan gerakan tiba-tiba. Sebuah taser gun muncul di genggaman tangannya. Leo dengan tenang mengatakan kepada Gideon, "Orang sepertimu tidak akan pernah merasa cukup di dunia ini." Tanpa ragu, Leo menembakkan taser gun tepat ke leher Gideon.
Gideon langsung merasakan sengatan listrik yang kuat mengalir melalui tubuhnya. Dia berteriak kesakitan, tubuhnya menggeliat dan bergetar hebat. Wajahnya yang tadinya sombong dan yakin berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kepalanya berputar dan pandangannya kabur. Gideon berjuang untuk tetap berdiri, tetapi sengatan listrik terus menghantamnya. Akhirnya, dengan lesu, tubuhnya ambruk ke lantai.
Leo menarik kabel taser gun miliknya, lalu menatap Gideon dengan dingin. "Orang yang terlalu banyak bicara sepertimu layak disebut pangeran? Bahkan kau tidak bisa melawan polisi amatir sepertiku." Seraya memasukkan taser gun atau pistol kejut miliknya ke sebuah kantong di dekat celananya.
Matilda, dengan sigap, melihat kesempatan ini untuk melepaskan diri dari bekuan Cayden. Dengan menggunakan sihir api kegelapannya, dia melelehkan es yang membelenggu kakinya. Lapisan es yang membatasi gerakannya perlahan mencair dan menguap, membebaskannya untuk bertindak. Dalam sekejap, dia berhasil melepaskan diri dan segera menyelamatkan Alisha.
Sementara itu, Belladona merasa panik saat melihat Gideon yang masih tergeletak dan kaku. Dengan cepat, dia mengarahkan sihir penyembuhan ke tubuh Gideon, tangannya bergerak dengan lincah, mengelilingi bagian tubuh yang terkena dampak Taser Gun. Dia mulai merapal mantra penyembuhan dengan konsentrasi yang tinggi, "Healbridels!" Cahaya lembut terpancar dari telapak tangannya, membungkus tubuh Gideon dengan warna biru kehijauan yang tenang.
Sambil merapal mantra, dia berkata dengan penuh harap, "Semoga kekuatan kembali padamu, Gideon. Bertahanlah!" Dia terus berusaha keras, mencoba mengembalikan kekuatan dan gerakan pada tubuh Gideon yang masih terasa kaku.
Matilda mendekati Leo dengan hati-hati, menggendong Alisha dengan penuh perhatian. Dia melirik ke arah Belladona, kemudian dengan nada ejekan, dia menyentil, "Loh, si om kenapa? Mabuk ya?"
Ejekan itu membuat Belladona merah padam dan marah. Dia merasa terganggu oleh Matilda dan terpikir bahwa Matilda tidak memahami situasi yang serius.
"Apa yang kalian tunggu? Serang mereka!" Belladona berteriak sambil menoleh ke belakang, memberikan perintah kepada barisan prajurit yang berdiri di belakangnya untuk menyerang.
Namun, seperti tidak ada respon, seluruh prajurit, termasuk Cayden yang berdiri disamping Belladona, tiba-tiba mematung, terpaku oleh ketakutan yang mendalam. Mata mereka terbelalak dan wajah mereka terlihat pucat. Tidak ada yang bisa menggerakkan satu jari pun. Belladona mengernyitkan keningnya, merasa bingung oleh apa yang terjadi pada prajuritnya.
"Sepertinya ini waktuku untuk mencoba seberapa kuat diriku yang sekarang," kata Leo dengan suara tenang, senyuman terukir di wajahnya. Aura kegelapan yang mendalam terpancar dari dirinya, menciptakan atmosfer yang menakutkan bagi siapa pun yang melihatnya. Semua prajurit Belladona hanya bisa menggigil dalam ketakutan yang tak terbantahkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments