Against All Odds
"Hi, selamat datang di novel pertamaku. Karena ini pertamakalinya aku nulis novel, jadi mungkin masih banyak kekurangan, seperti masalah tanda baca, susunan kalimat, plot hole, alur yang lambat, dan sebagainya. Jadi jangan ragu untuk kasih kritik dan saran kalian, thanks a lot."
"Ketika orang lain berkata itu tidak mungkin, itu adalah saat yang tepat untuk membuktikan bahwa mereka salah." - Leo Demhian
...----------------...
[AGAINST ALL ODDS]
Malam itu, hujan turun dengan derasnya, mengguyur perbukitan yang menjadi latar belakang Aurora Crest Hotel atau yang bisa disebut Hotel Puncak Aurora. Hotel yang berdiri megah dengan tujuh lantai itu terletak cukup jauh dari pemukiman warga, membuatnya terlihat seperti sebuah kastil yang terisolasi.
Sebuah mobil polisi, melaju membelah hujan. Cahaya dari lampu mobil beradu dengan butiran hujan, menciptakan pancaran cahaya yang berkilauan di malam yang gelap. Mereka berhenti tepat di depan gerbang hotel yang terbuka. Terlihat hanya ada lampu yang menyala di lantai dasar dan beberapa titik di halaman, membuat bayangan-bayangan gelap yang menanjang di setiap sudut bangunan hotel.
Alisha, yang duduk di kursi pengemudi, menarik rem tangan mobil. Ia memposisikan mobil menghadap pintu lobby hotel, menyoroti Hotel Puncak Aurora dengan cahaya mobil dari kejauhan.
Alisha menoleh ke arah Neil yang duduk di kursi belakang, "Neil, tolong keluarlah dari mobil dan periksa pos satpam, cari tahu semua informasi tentang laporan yang sudah kita terima."
Neil sedikit menggerutu ketika dia melepaskan sabuk pengaman dan mengambil mantelnya. "Baiklah... aku pergi," katanya sambil membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
"Bagaimanapun, kau harus mematuhi perintah dari atasanmu, Neil. Kita sebagai polisi, harus melakukan tugas ini dengan profesional." Tegur Leo, yang sedang duduk disamping Alisha.
Neil hanya menjawab dengan memutar bola matanya, menunjukkan rasa tidak peduli.
Alisha yang memiliki pangkat lebih tinggi diantara mereka, samasekali tidak terganggu oleh sikap rekannya, dia sudah menganggap Leo dan Neil seperti sahabatnya sendiri. Mereka sudah terbiasa saling memanggil dengan sebutan nama, bukan melihat dari pangkat mereka. Namun, karena kedekatan diantara mereka, tidak jarang mereka dihukum karena tidak menaati peraturan di kepolisian, terutama Neil.
Neil berjalan ke arah pos satpam dengan mantelnya, melangkah di atas air yang menggenang dari hujan. Ia berusaha untuk tidak memikirkan ketidaknyamanan yang dirasakannya, melainkan mencari tahu informasi yang dibutuhkan.
Ketika sampai di pos satpam, Neil melihat-lihat sekitarnya dan mencari petugas keamanan untuk mendapatkan informasi.
Melalui radio, Alisha mendengarkan laporan dari Neil. "Ini aneh, pos satpam kosong," ucap Neil dengan suara berbisik.
"Alisha, kita harus masuk kedalam. Aku rasa memang ada yang tidak beres hotel ini, aku bahkan baru tahu ada hotel besar ditempat seperti ini." Leo merespon dengan serius.
Alisha mengangguk setuju, dia mengambil radio komunikasi yang terletak di sebelahnya lalu menekan tombol push-to-talk pada radio untuk mengaktifkannya.
Saat ada suara di ujung saluran, Alisha berkata dengan suara yang jelas dan tegas, "Markas pusat, ini Alisha dari tim patroli di Hotel Puncak Aurora. Kami membutuhkan izin untuk memasuki hotel dan melakukan penyelidikan lebih lanjut. Mohon petunjuk dan persetujuannya."
Setelah beberapa saat, suara di ujung saluran kembali terdengar. Suara itu dari petugas di markas pusat yang memberikan persetujuan dan petunjuk kepada Alisha. Dia mendengarkan dengan seksama, mencatat instruksi-instruksi yang diberikan.
"Terima kasih, markas pusat. Kami akan melaksanakan tugas dengan hati-hati. Kami juga akan melaporkan setiap perkembangan dan mematuhi semua instruksi yang diberikan." Setelah itu, Alisha melepaskan tombol push-to-talk dan menempatkan radio kembali di tempatnya.
Alisha memasukkan mobil polisinya ke dalam halaman hotel. Setelah menemukan tempat yang aman untuk memarkir mobil, Alisha memutar kunci dan mematikan mesin. Suara mesin yang menderu-deru memudar, meninggalkan suasana sunyi di dalam mobil.
Terdiam sejenak, Alisha melihat ke arah Leo yang duduk di sampingnya.
Alisha menepuk lembut pundak Leo, "Apa yang ada di pikiranmu? Teringat akan kakakmu?"
"Ya, sedikit." Leo menatap Alisha dengan senyuman tipis di bibirnya, mengisyaratkan bahwa memang ada kenangan yang menghantuinya.
Elara Demhian adalah kakak perempuan Leo yang menjadi alasan baginya untuk menjadi seorang polisi. Kakaknya telah hilang selama bertahun-tahun, namun setiap kenangan indah bersamanya selalu menghantui pikiran Leo. Walaupun begitu, dia selalu berharap dengan optimis untuk dapat bertemu kembali dengannya.
Leo melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil. Dia melangkah keluar ke dalam hujan yang semakin deras. Alisha juga mengikuti langkahnya, keluar dari mobil.
...----------------...
Alisha dan Leo berdiri di depan pintu masuk hotel, memandang ke dalam dengan jelas melalui pintu kaca yang besar. Cahaya redup dari lampu di dalam hotel memungkinkan mereka melihat interior dengan jelas.
Tanpa ragu, Alisha mendorong pintu hotel dan memasuki lobi. Dia melepaskan mantelnya dan meletakkannya di atas kursi yang berada di dekat pintu. Leo mengikutinya, mengikuti langkah Alisha dengan mantap.
Saat mereka memasuki lobi hotel, mereka melihat Neil yang berdiri di dekat meja resepsionis. Neil menekan bel yang berada di meja itu beberapa kali dengan agak tergesa-gesa, mencoba memanggil perhatian dari staf hotel.
"Neil, kita harus tetap bersama-sama. Kau tidak boleh seenaknya masuk ke dalam hotel tanpa persetujuan dari markas pusat."
Neil memiringkan kepalanya, membalas dengan nada yang sedikit kesal, "Aku hanya ingin mencari tahu apakah hotel ini ada manusianya atau tidak. Kau juga tidak menjawab ku saat aku berada di pos satpam."
Leo, yang selalu tenang dan santai, mengamati situasi dengan bijaksana. Dia memutuskan untuk menjelajahi lobi hotel sendirian, membuka beberapa pintu ruangan yang ada di sekitar mereka.
Lantai dasar hotel terdiri dari lobi yang luas dan elegan, dengan sebuah tangga marmer yang mengarah ke lantai atas di sebelah lift. Di sekitar ruangan itu ada beberapa kursi dan sofa yang diletakkan secara rapi, serta beberapa tanaman yang menambah kesegaran di ruangan tersebut.
Setiap pintu kamar di lantai dasar ditandai dengan angka-angka besar. Ada pula area kasir atau resepsionis di salah satu ujung lobbi, dengan sebuah layar LED besar menggantung diatasnya.
Setelah Leo selesai berkeliling dan tidak menemukan satu orang pun di dalam hotel, dia memanggil Alisha dan Neil yang sedang sibuk mengecek komputer dan dokumen di meja resepsionis. Alisha dan Neil segera menghampiri Leo, siap mendengarkan apa yang dia ingin sampaikan.
Leo mengajak mereka untuk pergi ke lantai enam, karena menurut laporan yang mereka terima, kegaduhan berasal dari lantai tersebut.
Laporan itu diterima dari seorang staf hotel yang melaporkan bahwa dia telah mendengar suara gaduh yang berasal dari lantai enam. Namun, laporan tersebut tidak memberikan rincian lebih lanjut karena saat itu, komunikasi tiba-tiba saja terputus.
Mereka bertiga memasuki lift dan menekan tombol untuk menuju ke lantai enam.
Cahaya redup dari lampu di dalam lift memberikan tampilan yang samar-samar di sekitar mereka. Mereka berdiri berdampingan, menunggu dengan jantung yang berdebar. Mereka saling bertatapan, mencermati ekspresi satu sama lain. Mereka merasakan kekhawatiran yang sama.
"Apakah ada informasi penting yang kalian dapatkan?"
Mendengar pertanyaan Leo, Neil hanya menggeleng pelan. "Terakhir kali ada pengunjung yang melakukan check-in di pagi hari. Setelah itu, tidak ada informasi lebih lanjut tentang keadaan hotel ini." Neil mendesah, laku bersandar di dinding lift. "Huh, apa yang sebenarnya sedang terjadi disini."
Mendengar jawaban dari Neil, Leo hanya melipat kedua tangannya, menatap rekan-rekannya dengan wajah serius, Kemudian kembali berfokus pada pintu lift.
"Apakah tidak masalah jika kita langsung ke lantai enam?" Tanya Neil. Namun, kata-katanya terhenti saat dia melihat nomor diatasnya sudah menampilkan angka enam.
Lift pun segera berdentang, mengungkapkan sebuah koridor di hadapan mereka. mereka memandang ke depan dan terpaku melihat keadaan koridor yang terbentang di hadapan mereka.
Koridor di lantai enam hotel terlihat rusak parah, menciptakan pemandangan yang menakutkan. Keadaan koridor tersebut membuat mereka terkejut dengan tingkat kehancuran yang terjadi di depan mata mereka.
Pecahan kaca berserakan di lantai, mencerminkan kehancuran yang melanda koridor ini. Pintu-pintu kamar yang seharusnya utuh dan tertutup, sekarang jebol dan tergantung. Beberapa pintu bahkan terlihat seperti telah hancur, meninggalkan serpihan kayu yang tersebar di sepanjang koridor.
Meja dan kursi yang biasa digunakan oleh tamu hotel, kini telah rusak dan berserakan. Beberapa kursi patah menjadi dua, sementara meja-meja terlihat retak.
Deretan lampu yang seharusnya menyinari koridor tersebut sebagian besar menggantung dengan posisi yang tidak stabil. Beberapa lampu bahkan sudah mati, meninggalkan koridor dalam kegelapan yang mencekam. Cahaya redup yang masih ada memberikan tampilan yang samar-samar dari sekitar mereka.
Tidak hanya itu, lantai koridor dipenuhi dengan tikus dan serangga yang bergerak dengan bebas. Mereka berlarian di antara puing-puing dan pecahan kaca.
Langkah kaki mereka menggema di koridor yang gelap itu, membuat suasana yang sepi semakin mencekam. Senter yang mereka bawa memancarkan sinar kecil, menyoroti beberapa sudut kegelapan.
Suasana hening di koridor tersebut hancur ketika tiba-tiba terdengar suara keras saat Alisha tidak sengaja menyenggol meja disana. Dia melompat sedikit ketakutan, mencoba menghindari tikus dan serangga yang perlahan merambat di kakinya.
"Alisha, apakah kau ingin aku menggendongmu?" Ujar Neil dengan nada mengejek.
"Sudahlah, perhatikan saja sekeliling mu! Aku juga bukan lagi bayi yang harus digendong," balas Alisha dengan nada sedikit kesal.
Mereka melanjutkan perjalanan mereka di koridor yang hancur, tetap berjalan dengan hati-hati dan senter mereka terus menyoroti setiap sudut kegelapan yang mencekam. Namun, perhatian mereka teralihkan saat mereka melihat Leo berhenti di depan, ia sedang memperhatikan salah satu kamar disana.
Leo terlihat serius hingga mengeluarkan pistol dari sarungnya. Tanpa ragu, dia melangkah menuju kamar tersebut. Alisha yang melihat hal ini segera menghampiri Leo dengan langkah cepat.
"Apa yang terjadi, Leo?"
Leo hanya menggeleng. "Tidak ada apapun di sini, mungkin hanya perasaanku saja." Ujarnya dengan nada kecewa. Namun, saat ia memutar kepala untuk melihat ke belakang, ekspresinya berubah menjadi terkejut. "Neil, kemana?"
Alisha memutar badannya dengan cepat, menunjuk ke belakang. "Neil, ada di-" Namun, kata-katanya terputus saat dia menyadari bahwa Neil tidak ada di sana. Wajahnya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. Leo juga terkejut dan mengernyitkan keningnya.
Leo dengan cepat mengeluarkan walkie-talkie dari saku dan mencoba menghubungi Neil beberapa kali.
"Neil, kau tidak apa-apa?"
"Neil!"
"Woy! Neil! Jangan main-main, lah."
Alisha juga melakukan hal yang sama, bahkan mencoba menghubungi markas pusat, karena keadaan mulai menjadi tidak terkendali. Namun, tidak ada respon samasekali dari pihak mana pun.
Alisha tampak gelisah dan berdecak. Dia menurunkan senternya, lalu berkata dengan tegas. "Leo, semua komunikasi telah terputus, aku tidak mengerti kenapa semua ini dapat terjadi, mungkin jaringan komunikasi telah disadap. Tapi yang paling penting, kita harus segera mencari Neil sekarang juga!"
Leo mengangguk serius seraya mengokang pistol ditangannya. "Baiklah, aku malah merasakan sesuatu yang lebih buruk dari itu."
Dengan tekad dan keberanian, mereka mulai merambah koridor, melihat di sekeliling mereka untuk menemukan tanda-tanda keberadaan rekan mereka.
Mereka berdua mempercepat langkah, berusaha mengulangi jejak yang sudah mereka tempuh. Koridor yang gelap dan berantakan terasa semakin mencekam, dan ketegangan yang mereka rasakan semakin bertambah.
Setelah beberapa langkah, mereka akhirnya mendengar suara pelan yang berasal dari salah satu pintu kamar yang terbuka. Bisikan suara tersebut menarik perhatian mereka.
Leo dan Alisha saling memandang. Kemudian dengan perlahan, mereka melangkah mendekati pintu, bersiap untuk menghadapi apa pun yang mungkin menanti di baliknya.
Mereka merasa detak jantung mereka semakin cepat. Dengan napas tegang, mereka akhirnya berdiri di ambang pintu kamar.
Pintu kamar didorong perlahan, mengungkapkan kegelapan di dalamnya. Alisha dan Leo merasakan denyut jantung mereka semakin kencang ketika mereka melihat sosok hitam yang duduk dengan punggung menghadap mereka di tengah kegelapan.
[Bersambung]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Astatin AT☠️
Keren.
2024-04-20
1
Cassandra🌙
Makin bagus, makin mudah dibaca dan dipahami, jadi pengen terus baca, keren 👍😍
2024-03-05
0
엘룬이 💕
Bagus bab satu jadi lebih detil dr sebelumnya /Good//Good/
2023-11-06
2