Bab 7

Bening ambil air bersih dari kamar mandi menggunakan gayung, tidak lama kemudian kembali ke kamar Bayu. Dia letakan air di atas meja mencari P3k di kamar tersebut tetapi tidak dia temukan.

"kotak P3k dimana?" Tanya Bening menatap Bayu yang duduk di tengah ranjang membungkus tubuhnya dengan selimut. Bening kesal pertanyaannya jangankan dijawab, menoleh pun tak mau.

"Kamu niat obati saya tidak sih?! bolak balik!" Ketus Bayu ketika Bening hendak keluar mencari obat. Bening berhenti sejenak sebelum tanganya menarik kenop. Ia melirik Bayu sekilas, sebelum akhirnya melengos meninggalkan suaminya itu.

"Dasar pria egois!" Bening ngomel-ngomel sendiri.

"Ada apa Ning?" Bibi rupanya mendengar gumaman Bening.

"Anu Bi, Tuan tadi sudah minum obat belum?" Tanya Bening menyembunyikan rasa kesal sekaligus menanyakan dimana letak P3k.

"Sudah Non," Jawab bibi lalu menunjukkan obat di ruang kerja.

Bening menepuk jidatnya sendiri, padahal tadi malam Bayu menggunakan obat tersebut. Namun, mengapa bisa lupa. Pantas saja Bayu semakin marah kepadanya.

Setelah memukan yang dicari, Bening kembali ke kamar Bayu. Ketika membuka pintu sedikit, mendengar percakapan di handphone antara Bayu dengan Naura.

"Pulang dong sayang... aku lagi sakit ini," Ucap Bayu seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya.

"Yang benar saja Mas, aku baru saja tiba di negara A loh, masa kamu suruh pulang lagi sih... Kan sekarang ada Bening, dia itu istri kamu juga."

"Apaan?! Dia itu ngelayap seharian baru saja pulang kok! Mana becus wanita seperti itu jadi istri" Adu Bayu.

"Alaah Mas... sabar kenapa sih... sudah ya, aku mau mandi. Dadaa..." Pungkas Naura. Bayu tertegun memandangi handphone yang diputus istri kesayangan secara sepihak.

Di luar pintu kamar, Bening masih menguping obrolan pasutri yang pura-pura bahagia itu. Akhir kata, Bening mendengar janji Naura akan memberi tahu dirinya agar mengurus Bayu, sungguh membuatnya tidak habis pikir. Apa mungkin Naura tidak kuat dengan sikap Bayu lalu memilih melimpahkan tugasnya? Entahlah, hanya mereka yang tahu.

"Ngadu saja terus!" Batin Bening, akhirnya masuk setelah Bayu melempar handphone tampak kesal.

Bening ambil perlengkapan obat dan air, lalu membawanya mendekat, meletakkan di tempat tidur. Sebelah Bayu yang tidak perduli akan kehadirannya.

"Siniin tanganya," Kata Bening. Namun Bayu tidak menggubris.

"Mau diobati nggak nih, nanti ngadu lagi sama istri kesayangan. Katanya tidak diurusi, padahal sejak tadi malam mau saya obatin tidak mau," Cerocos Bening panjang lebar. Bayu melempar tatapan tajam ke arah Bening.

"Lagian, kenapa sih ini tangan? Aneh banget deh, masa di ruang kerja bisa berdarah jika bukan karena menonjok sesuatu" Tebak Bening jitu, pura-pura tidak melihat mata elang yang menjurus kepadanya. Bening memilih meraih tangan Bayu tanpa persetujuan. Ia membersihkan darah yang sudah mengering dengan kapas basah.

"Pelan-pelan!" Bayu melotot.

"Mana yang kencang sih? Wajar dong, kalau sakit sedikit, orang darahnya kering pada nempel begini." Bukan Bening jika tidak berani menjawab, selagi dirinya benar.

"Makanya... kemarin kan saya sudah katakan. Kalau mau diobati harus di bersihkan dulu lukanya, tapi Tuan itu orangnya ngeyel."

"Diam! Saya sumpal nih mulut kamu!" Ancam Bayu mengangkat guling.

Bening tidak lagi menjawab, walaupun kesal namun tetap mengobati luka tangan Bayu dengan hati-hati.

"Sudah selesai, saya mau beli obat anti nyeri dulu," Kali ini Bening berkata lembut. Tanganya merapikan obat luar ke dalam kotak.

"Suruh bibi saja! Jangan alasan beli obat, tapi mau ngeluyur!" Tuduh Bayu, tidak punya perasaan, membuat Bening menahan rasa marah.

"Ya sudah, saya memberi tahu bibi," Bening menyembunyikan rasa kesal, lalu mengangkat kotak P3k akan mengembalikan ke tempat semula.

"Simpan saja disitu!" Cegah Bayu, agar bibi yang ambil kotak tersebut.

"Terus... bagaimana mau kasih tau bibi kalau saya tidak diijinkan keluar." Bening menarik napas berat menjatuhkan bokongnya di sofa. Gadis itu prustasi, apapun yang dia lakukan salah di mata Bayu.

"Telepon, bodoh!" Jawab Bayu menyakitkan hati Bening.

"Saya tidak punya handphone." Jujur Bening. Bayu menoleh cepat, memandang Bening yang sedang menopang dagu dengan tangan kiri. Ia merenung walaupun dirinya bukan anak sekolahan tetapi mendengar kata 'bodoh' sungguh melukai hatinya.

"Hari gini? Kamu tidak punya handphone?" Tanya Bayu dengan nada meremehkan.

"Memang kenapa kalau saya tidak punya handphone?" Bening menghampiri Bayu, berdiri di samping ranjang. Pria macam Bayu harus diberi pelajaran. "Jangan mengukur seseorang dengan diri Anda Tuan! Anda orang kaya, jangankan membeli handphone, membeli pesawat pun Anda mampu," Bening meneteskan air mata.

"Anda ini sombong Tuan, tidak pernah melihat ke bawah. Jangankan membeli handphone, membeli satu bungkus mie instan 3 ribu rupiah pun, bagi orang miskin seperti saya harus memeras keringat dulu. Menunggu satu bulan baru gajian!" Bening mengusap air matanya, lalu meninggalkan Bayu sambil menangis. Tiba di dapur menemui bibi

"Bi, dipangil Tuan" Ucapnya serak. Tidak menunggu jawaban bibi, Bening pun naik tangga menuju roftoop.

"Ya Allah... kuatkan aku," Ucapnya menatap kiblat dimana matahari sudah tenggelam hanya meninggalkan kemerahan di langit nan jauh disana.

Ia mencari jawaban apa yang salah dengan hidupnya. Mengapa pria rata-rata menyakiti hatinya. Dulu ayahnya meninggalkan dirinya begitu saja, entah dimana keberadaannya kini. Membiarkan dirinya putus sekolah dan hidup dalam kesengsaraan.

Tidak hanya itu, banyak pria yang merebutkan dirinya, namun bukan karena menyayangi, melainkan akan berbuat yang tidak senonoh.

Lalu kali ini justeru menikah dengan pria yang egois, sombong dan tidak punya perasaan. "Cepat sembuh ibu..." Ujarnya. Tidak terasa warna merah pun menghilang tergantikan gelap. Bening membersihkan sisa air matanya agar tidak diketahui bibi, kemudian menuruni tangga menuju kamar.

"Darimana Ning?" Tanya bibi ketika melewati dapur, bibi sudah menata makan malam di meja.

"Cari angin Bi," Jawabnya, lalu balik bertanya kepada bibi sudah membeli obat atau belum.

"Sudah Non," Jawab bibi menatap wajah Bening sembab habis menangis bertanya-tanya dalam hati. Namun, bukan kewenangan bibi untuk tahu masalah majikannya.

"Saya shalat dulu Bi" Pamit Bening, merasa diperhatikan bibi, Bening pun masuk ke kamar menjalankan ibadah magrib, setelah ambil air wudhu.

Lantunan surah Yusuf setelah shalat magrib, menyejukan hati bagi siapapun yang mendengarkan, itulah yang dikerjakan Bening agar hatinya lebih tenang walaupun menghadapi banyak masalah.

Semakin berinteraksi dengan Al-Quran, Bening menyadari bahwa kebutuhan hati, perasaan dan jiwanya sudah dibekali oleh Allah.

Di luar kamar, seseorang yang sedang melewati kamar Bening hendak ke meja makan, berhenti sejenak, kala mendengar suara merdu bacaan ayat suci Al-Quran.

...~Bersambung~...

Terpopuler

Comments

Agus Arnawa

Agus Arnawa

laki laki kalau sering ditemenin pasti kecantol

2024-01-16

2

Erina Munir

Erina Munir

nahhh...kepincut dehh...sama suaranya bening

2024-01-14

0

Ani Ani

Ani Ani

tabac kan hati mu

2024-01-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!