Suami Pengganti
Disebuah gedung yang sudah dihias dengan sedemikian rupa tampak sangat ramai dipenuhi para tamu undangan yang turut hadir disana.
Ada sekitar lima ribu tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut, untuk menghadiri pernikahan Aidan dan Freeya, Pernikahan yang tergolong sangat mewah, karena keduanya berasal dari keluarga berada dan cukup disegani.
"Bagaimana ini pa?" ucap seorang wanita cantik yang memakai setelan kebaya pink dusty dengan tataan rambut yang pas diusianya.
Raut wajah gelisahnya tak bisa disembunyikan, sesaat setelah menerima pesan singkat dari putranya.
"Telpon ma, coba ditelpon dulu, papa yang akan bicara dengannya." balas Abi laki-laki yang hampir memasuki usia lima puluh itu memang selalu tampak tenang menghadapi segala sesuatu, termasuk menghadapi situasi kacau seperti saat ini.
"Tidak aktif pa, bagaimana ini?"
Arumi menangis, bahkan tubuhnya sudah sempoyongan, kalau saja Abi tak menahannya mungkin saja ia sudah terjatuh membentur lantai.
"Bagaimana kita menjelaskan pada mereka pa, pada mbak Nadia, mas Badi, Freeya terutama." isak tangis Arumi semakin kuat memenuhi ruang ganti.
"Mama istirahat dulu, jangan pikirkan apapun, biar papa yang pikirkan ini semua, tenangkan hati mama oke." ucap Abi sembari menarik kursi dan mendudukkan istrinya disana.
"Papa akan coba hubungi semua sahabat Aidan."
Arumi hanya mengangguk setuju, dengan harap-harap cemas.
Abi berdiri kemudian merogoh ponsel disaku celananya, dan menekan salah satu nomor ponsel milik salah satu sahabat Aidan.
Ia mulai goyah, saat sahabat pertama Aidan tak mengetahui keberadaan putranya, kini hatinya tak bisa setenang wajahnya, bohong! jika ia harus terus menerus terlihat baik-baik saja, terlebih acara akad nikah sebentar lagi akan dimulai.
Abi terus menghubungi semua nomor sahabat Aidan yang ia miliki, sayangnya dari banyaknya teman Aidan tak ada satupun yang mengetahui keberadaan putranya saat ini.
"Bagaimana pa?"
Abi menggeleng lemah, "Mereka tidak ada yang tahu keberadaan Aidan ma."
Pembicaraan keduanya teralihkan saat sebuah pintu diketuk beberapa kali dari arah luar.
"Mbak Arum didalam mbak, ini saya Nadia."
"I-iya mbak, masuk saja mbak." sahut Arumi, lalu buru-buru menghapus air matanya dan memasang senyum manis seiring pintu dihadapannya terbuka lebar.
"Lho, kok masih disini? sebentar lagi acaranya mau dimulai kan,? pak penghulunya juga sudah datang dari setengah jam yang lalu mbak." ucap Nadia memberi tahu.
Arumi dan Abi pun sontak saling pandang.
"Ada apa mbak, mas Abi?" lanjut Nadia saat tak mendapatkan jawaban, selain wajah tegang dari keduanya.
"Mbak, ada yang ingin kami bicarakan." Arumi kembali menangis dengan kedua tangan menyatu dan gemetar.
"Ada apa mbak?" Nadia tentu bingung, terlebih saat melihat calon besan perempuannya yang kini mulai terisak.
"Tolong panggilkan mas Badi mbak, Freeya juga, kita harus bahas masalah ini sama-sama, secara kekeluargaan." kini Abi yang angkat bicara, sementara Nadia meski tak mengerti ia menurut saja bergegas memanggil anak dan suaminya.
"Ada apa ini mas Abi, apa yang terjadi?" ujar Badi tampak khawatir telah terjadi sesuatu.
"Duduk dulu mas!" Abi menyuruh semuanya untuk duduk.
Dipandanginya wajah Freeya yang tampak cantik memakai kebaya putih dengan hiasan siger dikepalanya, hiasan yang merupakan khas Sunda.
Ada perasaan tak tega untuk menyampaikan hal yang mungkin saja membuat calon menantunya itu akan syok dan terluka.
Bertahun-tahun ia mengenal sosok Freeya gadis berhati lembut dengan tutur kata yang sopan, dan sangat menghormatinya.
Gadis seperti itu tentu adalah gadis idaman untuk dijadikan menantu.
Namun, ia tak punya banyak waktu untuk menyembunyikannya, saat ini juga ia benar-benar harus mengatakannya.
Abi menghela napas pelan, lalu memandangi wajah ketiganya.
"Mas Badi, mbak Nadia, dan nak Freeya, sebelumnya saya benar-benar minta maaf, acara pernikahan terpaksa ditunda, atau mungkin dibatalkan."
Deg!
Wajah ketiganya menegang, terutama Freeya, sementara Arumi hanya bisa menunduk dengan isakan yang semakin kuat.
"Mas bercanda?" ucap Badi yang dibarengi tawa hambar.
"Tidak mas! yang saya katakan ini serius."
Badi terhenyak dengan wajah tak percaya.
"Apa-apaan ini mas, memangnya kenapa? mengapa harus ditunda atau dibatalkan, apakah ada sesuatu yang kurang? apa tidak bisa dicarikan solusi, katakan mas! kita sama-sama mencari solusinya." Ujar Badi yang tentu saja tak terima pernikahan putrinya dibatalkan begitu saja.
"Aidan menghilang."
"Menghilang bagaimana?" Badi hampir berdiri, kalau saja Nadia tidak mencegahnya.
Abi menghela, sebelum kemudian memperlihatkan ponsel Arumi yang berisi pesan dari Aidan.
"Maaf ma, pa! setelah aku pikir-pikir lagi ternyata aku belum siap menikahi Freeya sekarang! tolong kalian jangan mencariku."
Badi membaca kata demi kata yang tertulis dalam isi pesan tersebut, pesan yang sengaja dikirim Aidan kepada mamanya.
"Keterlaluan!" umpat Badi dengan rahang mengeras, bahkan tanpa sadar menjatuhkan ponsel milik Arumi hingga mengenai lantai.
"Mas ini_" Badi mengacak rambutnya frustasi, ia bahkan kehilangan kata-kata saking kagetnya.
"Mbak Arum, mas Abi, apakah tidak ada solusi lain selain harus dibatalkan, bagaimana tanggapan dari orang-orang nantinya." Nadia berbicara lebih tenang dari suaminya, walaupun raut wajahnya tidak demikian.
Diwaktu yang sama ponsel Abi berbunyi.
"Maaf! saya angkat telpon dulu sebentar." Abi berdiri didepan pintu, tak lama kemudian masuk seseorang dengan balutan kemeja dan jas yang rapi sangat pas ditubuhnya yang tinggi dan tampan.
Arumi yang semula masih menangis pun sontak berdiri mendekati pintu, matanya berbinar sembari menyentuh wajah seseorang yang baru saja tiba tersebut.
"Adam?!" ucapnya, tak percaya.
"Ma." sahutnya lirih, lalu meraih tubuh sang mama kedalam pelukannya.
"Maaf, Aku tidak memberi tahu mama sebelumnya kalau hari ini Aku akan pulang."
Arumi mendorong tubuh Adam pelan, ia mendongak menatap wajah putranya yang tentu jauh lebih tinggi darinya.
"Tidak apa-apa nak, justru mama sangat senang akhirnya kamu pulang, oh iya perkenalkan ini keluarga Freeya calon istri Aidan." ucap Arumi sembari menarik tangan Adam membawanya kehadapan Nadia, Badi, dan juga Freeya.
Untuk sesaat mereka terhanyut dalam obrolan ringan saling berkenalan, dan menanyakan bagaimana kehidupan Adam selama ini ketika berada diluar negri.
"Nak Adam, apakah nak Adam memiliki seorang pacar, atau tunangan?" Badi bertanya dengan nada serius, yang ditanggapi Adam dengan tawa kecil.
"Belum om, belum kepikiran sama sekali, kebetulan saya juga sedang sibuk mengurus perusahaan baru di Jakarta.''
"Kalau begitu, maukah nak Adam menikahi putri saya, Freeya?"
Deg!
Bukan hanya Adam yang terperanjat saat mendengar ucapan Badi barusan, tetapi semuanya menunjukkan reaksi yang sama, dan sama-sama menatap kearah Badi terkecuali Abi.
"Bagaimana nak Adam, mas Abi, mbak Nadia?" ulangnya.
"Saya setuju." Abi menjawab tegas, sembari melirik putranya yang tampak keberatan, sekaligus syok.
"Tolong papa, ini demi nama baik keluarga kita nak." bisik Abi dengan raut memohon.
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments