Jangan pernah ungkit lagi

"Mas tunggu, mas marah?" ujar Freeya yang kini mensejajarkan langkahnya dengan Adam.

"Nggak, kenapa saya harus marah?" sahutnya dengan tatapan lurus kedepan.

Freeya mencebik, "Iya juga sih, ngapain mas marah, seseorang itu bisa marah karena cemburu, kalau mas Adam kan nggak!"

Adam menghentikan langkahnya seketika, dan menghela napas panjang.

"Sepertinya kalau saya nggak salah ingat, tadi ada yang minta ditraktir makan bakso kan."

Jawaban yang sebenarnya tidak nyambung sama sekali, namun ia terpaksa mengalihkannya.

"Ayok, sebelum saya berubah pikiran."

Dibelakangnya Freeya mengerucutkan bibirnya, namun meski begitu kakinya tetap bergerak mengikuti kemana suaminya pergi.

Adam berhenti tepat didepan sebuah kios bakso yang cukup besar, dengan bangunan yang cukup unik, karena keseluruhannya terbuat dari kayu jati yang diberi warna pelitur darkmahony.

"Pak, baksonya dua porsi ya." ujar Adam pada sipenjual yang tengah sibuk meracik bumbu untuk pelanggan lain yang sudah memesan lebih dulu.

Ia menoleh menatap Freeya yang masih berdiri disampingnya.

"Mau campur atau nggak?"

"Campur saja mas, banyakin tauge nya ya.''

"Yasudah, akan saya pesankan! sekarang kamu cari tempat duduk yang nyaman, nanti saya menyusul."

"Iya mas."

Tak sampai sepuluh menit, Adam datang menghampirinya dengan dua mangkuk bakso yang ia bawa menggunakan nampan, kemudian duduk berhadapan dengan Freeya.

"Jadi ini tempat yang biasa mas datangi sama teman-teman mas itu?"

"Hmmm."

"Mas, perasaan tiap beli bakso nggak pakai sayur, kenapa? nggak suka?"

Adam menggeleng.

"Jangan bicara lagi, makan dulu baksonya, setelah itu kita belanja, stok makanan dan bahan sayuran dirumah sudah habis, kan?"

"Kita nggak bawa kendaraan lho mas, memangnya mas mau tenteng-tenteng keresek nantinya."

"Saya masih punya dua tangan Freeya, dua-duanya masih berfungsi dengan baik." ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya, membuat Freeya tertawa.

*

Setelah keluar dari kios bakso keduanya kini memasuki sebuah pasar yang menjual aneka bahan makanan dan juga sayuran.

"Mas yakin mau beli disini, becek lho mas tempatnya, bau juga."

"Yang penting bukan sayurannya kan yang bau.?"

"Ya, bukan sih!"

Adam bergerak lebih dulu, memilih berbagai macam sayuran dan membayarnya dengan uang tunai, sementara dibelakangnya Freeya hanya menjadi pengamat untuk setiap pergerakannya.

Ia tak menyangka bahwa Adam pria tampan yang setiap harinya terbalut setelan kemeja dan jas yang mewah itu kini tampak seperti orang biasa pada umumnya.

Bahkan ia tidak terlihat jijik sama sekali dengan keadaan lingkungan yang menurutnya kurang terawat itu.

Padahal seingatnya Aidan malah sama sekali tidak menyukai tempat seperti ini, karena menganggapnya kotor dan tidak higienis.

Kini setelah dirinya mengenal Adam lebih lama, ada banyak sekali hal-hal yang membuatnya merasa kagum.

Adam tidak hanya tampan, dia juga dewasa dan pengertian menurut Freeya.

"Sudah cukup kan? apakah masih ada hal lain yang ingin kamu beli?"

"Nggak ada mas, kita pulang saja ya."

"Hmm."

Keduanya berjalan beriringan, sesekali tertawa menertawakan hal konyol yang Freeya ceritakan ketika ia masih kecil.

"Eh Adam, kebetulan sekali kita bertemu disini, kamu dari mana?" sapa Devina yang datang dari arah berlawanan.

"Kami baru pulang belanja." jawab Adam dengan wajah datar.

"Dia_" Devina melirik kearah Freeya yang sama bingungnya.

"Oh iya, perkenalkan ini istri saya Freeya." jelas Adam, sembari merangkul pinggang Freeya hingga mepet ketubuhnya.

Freeya tersenyum canggung, "Mbak, pasti salah satu temannya mas Adam kan?" ucapnya sambil mengulurkan tangannya.

Dengan ragu, Devina menyambut tangan Freeya, berusaha menahan amarah yang kian bergemuruh memenuhi rongga dadanya.

"Devina." ucapnya singkat, setelahnya menarik tangannya kembali dengan cepat.

"Adam, aku mau bicara sebentar sama kamu?"

Adam tampak enggan, "Ini bukan jam kerja kan? jadi saya rasa tidak ada yang harus dibahas sekarang."

Menyadari ada sesuatu yang tidak biasa, Freeya pun berusaha membujuk suaminya, terlebih saat ia tak sengaja menatap mata Devina yang sudah berkaca-kaca.

"Mas, mengobrolah dulu dengan mbak Devina, saya mau mampir ke minimarket sebentar."

"Kamu mau beli apa lagi, memangnya masih ada yang kurang."

"Iya, saya lupa beli saos tadi."

"Kalau begitu saya temani."

"Eh, jangan! mas tunggu disini saja, hanya sebentar kok, habis ini saya langsung balik lagi, oke?"

"Tap_"

"Dam." panggil Devina, berusaha untuk menahannya, sementara Freeya langsung berlari kecil memasuki Minimarket yang terletak hanya beberapa meter saja dari sana.

"Dam, apa yang aku dengar barusan itu semua bohong kan Dam?" cecar Devina dengan air mata yang berjatuhan, air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan beberapa menit yang lalu, namun pada akhirnya ia tak mampu membendungnya lagi.

Adam tampak menghela napas, pria itu kemudian menatap Devina dengan serius.

"Devina, kamu tidak salah dengar! ini bukan sebuah kebohongan, saya dan Freeya memang sudah menikah, baik secara agama maupun negara."

"Aku nggak percaya." ucap Devina setengah berteriak.

"Kamu harusnya tahu kan Dam, aku bela-belain kembali kesini, bahkan menjalani sesuatu yang nggak aku sukai, ini semua aku lakukan demi kamu Dam, karena aku masih cinta sama kamu."

Adam menyunggingkan senyum, "Cinta kamu bilang? sudah terlambat Devina, kemana saja kamu dulu, bahkan dulu kamu tidak sedikitpun melihat keberadaan saya."

"Dam, dulu kita masih muda kan? masih banyak sesuatu yang ingin aku kejar, begitupun dengan kamu, betul kan?"

"Sudahlah, jangan pernah ungkit lagi apapun yang terjadi di masa lalu, kamu lihat sendiri sekarang saya sudah menikah dan memiliki seorang istri, lupakan semua hal yang tidak perlu di ingat."

"Tidak perlu diingat kamu bilang? apa hanya sebatas ini rasa cinta kamu ke aku Dam, mana kata cinta yang dulu pernah kamu ungkapkan padaku Dam?"

"Devina dengar! hampir sepuluh tahun kita tidak bertemu, apa menurut kamu diwaktu selama itu perasaan seseorang akan tetap sama? tidak, bukan?"

"Bohong! buktinya selama ini kamu tidak pernah berhubungan dengan siapapun kan, aku yakin kamu masih menungguku Dam."

"Kamu terlalu percaya diri Devina."

"Aku tahu semua hal yang kamu lakukan selama ini, jangan pikir aku nggak tahu, kamu nggak bisa giniin aku Dam."

Adam menghela napas lelah, "Ini bukan salahku Devina, kamu sendiri yang menolak saya."

"Iya aku minta maaf Dam, aku tahu sekalipun kamu sudah menikahi gadis itu, perasaan kamu masih untukku kan?"

"Maaf, saya harus menyusul istri saya pergi."

"Adaamm?!"

"Devina tolong jaga sikap kamu, saya ini pria beristri bukan pria lajang lagi." ucap Adam dengan suara yang berubah pelan, bukan karena ia takut melukai perasaan Devina, namun ia merasa tak enak hati, karena ada beberapa pasang mata yang mulai memperhatikan mereka.

Devina menggelengkan kepala, "Nggak Dam, aku nggak mau."

"Please Devina." ucapnya memohon, sembari melepaskan tangan Devina yang mencekal pergelangan tangannya.

*

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!