Serba dadakan

"Kalau nggak, kita kenalan aja lagi." ucap Fadil sembari mengulurkan tangannya, yang disambut Alina terlebih dulu.

"Alina kak."

Fadil tersenyum, namun bukan kearah Alina, melainkan kearah Freeya, membuat gadis itu salah tingkah dan mencari alasan untuk pergi dari hadapannya.

"Ehmm, maaf ya kak, sepertinya dosen kita sudah datang, kita duluan ya." pamit Freeya sembari menarik lengan Alina membawanya memasuki kampus.

"Ihs Aya kamu kok malah main pergi aja sih, aku kan masih betah tahu ngobrol sama dia."

"Yaudah balik lagi aja sana, aku sih nggak mau Lin, lagi pula aku kan udah nikah."

"Cie, jadi ceritanya sekarang udah mulai mengakui kehadiran mas Adam nih." goda Alina sambil tertawa.

"Alina apaan sih dari tadi bahas dia mulu deh."

"Ck, dari tadi aku bahas soal kak Fadil lho ya, bukan mas Adam nya kamu."

"Ka_"

"Udah, udah! yuk masuk yuk." sela Alina sembari merangkul pundak Freeya dengan tawa riang.

*

"Kita langsung pergi ketempat yang mereka pilih." ujar Adam, saat Freeya kini sudah duduk didalam mobilnya.

"Lho, nggak pulang dulu aja mas, saya kan belum mandi."

"Memangnya kenapa kalau belum mandi.?"

"Ya_ ya saya kurang nyaman aja mas, lagi pula kenapa sih mas, mas itu suka yang serba dadakan, kenapa nggak kasih tahu saya dulu sebelumnya."

"Kamu bilang saya suka yang dadakan? kamu bukan sedang menyinggung saya soal pernikahan kita kan, tentang saya yang mendadak jadi suami kamu, kamu benar-benar menyesal menjadi istri saya?"

"Hah?" Freeya mengerjap bingung, namun dengan cepat ia menggeleng.

"Bukan! bukan gitu lho mas, maksud saya."

"Lalu apa?"

Freeya menghela napas, kemudian menyandarkan kepalanya kesadaran jok mobil bagian belakang.

Apakah ia yang sudah salah bicara, atau Adam lah yang salah paham terhadap dirinya.

"Maksud saya_"

"Saya sudah mengatakannya dari semalam, jadi acara hari ini bukan dadakan kan?"

"I-iya mas, mungkin saya yang salah mengingat." ujar Freeya dengan wajah tertunduk lesu.

Baginya mengalah adalah jalan terbaik.

Sementara Adam yang melihat ekspresi wajah Freeya hanya bisa menahan untuk tak tertawa, sesekali pria itu memalingkan wajahnya, khawatir jika senyum jahilnya terlihat jelas oleh Freeya.

Setelah sampai ketempat yang mereka tuju, Adam langsung menghampiri ketiga sahabatnya dan memesan makanan yang menjadi pilihannya masing-masing.

"Kemarin kita belum sempat kenalan kan? boleh dong kalau sekarang kita kenalan dulu." ucap Dion memulai pembicaraan, setelah sebelumnya hanya saling diam-diaman dan sibuk memilih menu makanan.

"Kenalin Dion, sahabatnya Adam." lanjutnya sembari mengulurkan tangannya kehadapan Freeya, yang dibalas gadis itu dengan senyum kikuk.

"Freeya, mas."

"Kenalin Rio, panggil Abang Rio aja."

"Sean, sahabat Adam juga." ucap keduanya secara berebutan menyalami tangan Freeya.

Sementara disampingnya Adam tak luput memandangi tangan Freeya yang dijabat ketiga sahabatnya secara bergantian.

Ada segumpal perasaan kesal didalam hatinya, namun ia tak bisa berbuat apa-apa, perasaan gengsinya jauh lebih tinggi dibandingkan apapun.

"Oh iya, dengar-dengar Freeya masih kuliah ya?" Dion kembali bicara.

"Iya kak, semester 6."

"Berarti umurnya masih muda dong ya.?"

"Udah nggak muda kak, udah dua puluh tahun, mau dua puluh satu malah."

"Ya jelas masih muda dong, kamu mau tahu nggak usia kami berapa?"

"Sebentar lagi sudah mau dua puluh sembilan tahun." Dion menjawab sendiri pertanyaannya.

"Gimana, sudah tua kan?"

Freeya tersenyum, "Bukan tua kak! tapi dewasa dan matang."

"Jadi, kamu suka yang dewasa ya?"

"Husshh.. ngomongin apa sih Lo?" bisik Rio tampak geli.

"Jadi, menurut kamu Adam itu bagaimana? dia itu nggak pernah pacaran dari dulu, padahal banyak lho yang suka sama dia, jujur saja dia memang yang paling tampan diantara kami bertiga."

Freeya tersenyum canggung sembari melirik kearah Adam, bingung entah harus bagaimana ia menanggapinya

"Ehhhmm, memangnya mas Adam tidak pernah pacaran?"

"Benarlah masa Abang bohong, nggak percaya?"

Freeya menggeleng.

"Ck, sudahlah! percaya atau tidak tapi itulah kenyataannya, makanya jangan heran kalau saat kalian berduaan dia kaku dan tidak bisa_"

Pletakkk...

Adam menyentil kening Dion menggunakan telunjuknya.

"Sepertinya lo udah nggak butuh uang tambahan dari gue lagi ya." sela Adam, dengan sorot mata yang tampak kesal.

Dion meringis, sembari menggaruk kepalanya, "Butuh Dam, sangat membutuhkan." sahutnya, dengan kedua tangan menyatu didepan dada.

"Berhenti membual."

"Oke deh oke, gue nggak lagi-lagi, tapi janji ya uang tambahan gue tetap aman!"

"Cih!"

"Tujuan kita berada disini untuk makan kan? jadi jangan membahas yang lain dulu, ayok kita makan." ucap Rio menengahi.

"Iya benar! makan-makan, waktunya makan." ujar Sean antusias, karena ia memang sudah kelaparan sejak tadi.

*

"Kamu lagi mikirin apa?'' ujar Adam saat menyadari jika sejak tadi istrinya hanya diam dan sesekali melirik kearahnya yang sedang memegang kemudi, selebihnya gadis itu hanya menatap lurus kedepan dengan tatapan kosong.

"Emmm.. nggak lagi mikirin apa-apa mas."

"Kata-kata mereka tadi jangan terlalu dipikirkan, mereka memang suka sekali mengatakan hal-hal konyol seperti itu."

"Bukan! saya tidak memikirkan apa yang mereka katakan mas."

"Lalu apa? Aidan?"

Seketika Freeya menatap kearah suaminya begitupun dengan Adam, mata keduanya bersirobok sebelum kemudian Adam memalingkan wajahnya kembali menatap jalanan didepannya.

"Kenapa harus mas Aidan? apa mungkin mas mengira jika setiap kali saya sedang berpikir, saya sedang memikirkan mas Aidan."

"Maaf, saya pikir_"

"Jujur saja mas, dulu saya memang sangat mencintai mas Aidan, tapi setelah semua yang dia lakukan terhadap saya, apakah pantas perasaan itu masih tetap saya pertahankan sampai sekarang?"

"Maaf, saya tidak bermaksud untuk_"

"Tidak apa-apa."

Suasana berubah hening, Adam sendiri tak mampu berkata-kata lagi, kini ia justru merasa bersalah, karena mungkin saja ucapannya sudah melukai perasaan Freeya.

Seharusnya tanpa ia ungkitpun, Freeya memang selalu memikirkan Aidan dalam hatinya, bukankah itu wajar.

Mungkin setiap inci jalan yang mereka lewati saat inipun menyimpan banyak kenangan saat keduanya sekedar melewati jalan tersebut atau saat keduanya sedang berkencan.

Bagaimana tidak, Aidan dan Freeya saling mencintai bahkan keduanya berencana untuk melangsungkan pernikahan.

Mobil yang ditumpangi keduanya berhenti digarasi rumah, tanpa mengatakan apapun Freeya keluar terlebih dahulu, ia bukan marah karena ucapan Adam, tetapi ia marah kepada dirinya sendiri yang pada kenyataannya memang masih selalu memikirkan Aidan.

Sebenarnya ia tak ingin untuk terus memikirkan bagaimana Aidan, dan semua yang berhubungan tentang Aidan.

Akan tetapi kenyataannya orang yang sudah lama berada disampingnya tidak mudah dilupakan dalam waktu singkat.

Freeya berharap dengan berjalannya waktu ia akan melupakan Aidan sepenuhnya dan tidak pernah lagi mengingatnya walaupun hanya sedikit.

*

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!