Lari pagi

"Baru juga sehari nggak saya antar, kamu sudah nabrak orang, besok-besok berapa orang?" ucap Adam sembari bertopang dagu memandang Freeya.

"Maaf mas."

Adam tertawa pelan, "Saya bercanda, lain kali jangan pernah bawa mobil sendiri lagi, kemanapun kamu pergi, biar saya saja yang antar."

"Saya bisa bawa mobil sendiri, tadinya saya pikir saya bisa meringankan sedikit beban mas."

"Nyatanya sekarang?"

"Saya malah lebih menyusahkan." sahut Freeya dengan wajah tertunduk.

Lagi-lagi Adam tertawa, entah mengapa ketika melihat ekspresi wajah penuh rasa bersalah Freeya kali ini malah membuatnya merasa gemas, dan melupakan sesaat semua masalahnya.

"Saya suami kamu, saya bertanggung jawab atas semua hal yang berhubungan dengan kamu, jadi mulai sekarang berhenti berpikir bahwa kamu membebani saya, mengerti?''

"I-iya mas."

"Habiskan makanannya setelan ini kita pulang."

Freeya menggeleng, "Saya tidak berselera makan."

"Kenapa? mau saya suapi?" Adam mengangkat garpu yang berisi daging miliknya dan mengarahkannya ke mulut Freeya.

"Mas_"

"Makan pake garpu, atau saya suapi pake mulut_"

Happp..

Freeya seketika menyambar daging tersebut dan mengunyahnya dengan cepat.

Sementara Adam berdeham pelan, lalu meneguk air dihadapannya hingga tersisa setengah, untuk menahan agar dirinya tak lagi tertawa dihadapan Freeya.

"Kamu memilih berinisiatif memakannya sendiri rupanya, apa sebegitu takutnya kalau saya menyuapi kamu dengan mulut saya." ujar Adam sembari memakan makanannya tanpa melihat kearah Freeya.

"Saya_"

"Sudah, cepat habiskan." sela Adam.

Keduanya menghabiskan makanannya dalam hening, sesekali Freeya melirik kearah Adam yang tetap diam menikmati makanannya dengan tenang.

"Ehhhmm, mas?"

Adam mendongak, sembari meletakkan garpu dan mendorong piringnya yang telah kosong.

"Ada apa?"

"Besok mas libur?"

"Kenapa memangnya?"

"Mas suka olah raga nggak, lari pagi misalkan."

Adam mengangguk, "Suka, dulu sih hampir setiap minggu saya suka lari bareng mereka."

"Mereka siapa?"

"Teman, yang waktu itu pernah saya kenalkan kekamu."

"Oh iya saya ingat, jadi mas mau nggak saya ajak olah raga besok pagi."

Adam berpikir sejenak, sebelum kemudian menganggukkan kepalanya, ia pikir memang tak ada salahnya menerima ajakan istrinya, terlebih ia memang sudah lama sekali tidak berolahraga pagi.

"Jadi mas setuju, kalau begitu deal ya, besok!"

"Oke."

*

Malam telah berlalu berganti pagi, menggantikan udara dingin dengan kehangatan seiring dengan terbitnya matahari dari ufuk timur.

Freeya berlari dengan napas tersengal-sengal mengejar langkah lebar Adam yang berada didepannya.

"Kenapa, capek?" ujar Adam dengan senyum tipis yang terbit dari bibirnya.

"Iya nih mas, capek banget." keluhnya, dengan tubuh membungkuk menghela napas beberapa kali.

"Yasudah, kita cari tempat duduk buat istirahat."

"Disana saja mas." menunjuk sebuah pohon besar yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.

"Oke kita kesana."

Keduanya duduk diatas rumput dengan kaki yang diselonjorkan kedepan, sembari menikmati sepoi angin yang mendinginkan keringat mereka yang mengucur dari pelipis hingga pipi.

Juga memperhatikan lalu lalang orang-orang dari mulai anak-anak, remaja, dewasa hingga lansia yang turut berolahraga pagi seperti mereka.

Tak hanya yang berolahraga para pedagang keliling pun turut berlalu lalang menjajakan dagangannya, dimulai dari jajanan tradisional, hingga jajanan anak-anak masa kini.

"Jadi biasanya mas Adam lari sampai mana?" ucap Freeya tanpa mengalihkan tatapannya dari depan sana.

"Ehmm, biasanya sampai taman yang disamping kampus kamu."

"Mas serius?" tanyanya tak percaya, bagaimana tidak! kampus tempatnya berkuliah cukup jauh dari rumah dan memakan waktu hampir 45 menit, itupun ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat.

"Beneran, kenapa? nggak percaya?" Adam tersenyum geli, senyum yang membuat Freeya tertular.

"Hebat, mas pantas diacungi jempol." ucapnya sembari mengangkat kedua ibu jarinya.

"Tapi pulangnya langsung makan bakso masing-masing dua porsi."

"Hah?"

lagi-lagi Adam tertawa, "Mereka memang paling suka makan setelah lari, sia-sia banget menurut saya."

"Sebenarnya yang paling dia suka, karena makannya saya yang teraktir." lanjut Adam.

"Wah pantesan, boleh tuh."

"Kamu mau juga?"

Freeya tersenyum dengan binar di kedua matanya, "Emang boleh?"

"Hhmm.. boleh!"

"Kalau gitu ayok mas."

"Tunggu sebentar!" Adam menahan tangan Freeya saat gadis itu hendak berdiri, kemudian menunduk menyentuh sepatu yang talinya sudah terlepas.

"Hati-hati sering dilihatin sepatunya, barangkali talinya lepas, bisa bahaya lho, bisa tersandung kamu nantinya." ucap Adam memberi nasehat, setelah mengikatkan tali sepatu Freeya, membuat gadis itu terdiam sembari menatapnya.

"T-terimakasih mas!"

Adam tak menjawab namun pria itu tersenyum, lalu beranjak mendekati seorang pria paruh baya yang menjual teh poci hangat.

"Mau?" tawarnya, sembari mengulurkan satu cup teh poci hangat kehadapannya.

"Kalau merasa kurang higienis nggak usah diminum." lanjutnya yang kemudian meneguk teh miliknya hingga tersisa setengah.

"Nggak kok mas, justru saya merasa sedikit heran, saya kira mas tidak pernah membeli minuman dipinggiran seperti ini."

Adam tersenyum, sembari menyandarkan kepalanya ke pohon rindang yang berada di belakangnya. "Memangnya kamu pikir saya ini orang yang seperti apa? asal kamu tahu, tiga belas tahun yang lalu, keluarga saya itu bukan apa-apa, kami hanya orang biasa, jadi saya juga terbiasa dengan lingkungan seperti ini."

"Apa benar begitu mas?"

"Kalau saya lihat, sepertinya kamu tidak pernah mendengar masa lalu keluarga saya ya?"

"Emmm, maaf mas saya bukan bermaksud_"

"Sudahlah lupakan saja, saya mengerti maksud kamu, oh iya dulu kamu sering kesini sama siapa?"

"Sama Alina, terkadang sama_" Freeya menjeda ucapannya saat menyadari sesuatu, ia melirik kearah Adam yang juga tengah menatapnya, dengan posisi yang masih bersandar pada pohon dibelakangnya.

"Saya tebak, pasti sama Aidan kan?"

Freeya mengangguk kecil, tentu ia merasa bersalah dan tak enak hati.

Hening mengambil alih sesaat, keduanya terhanyut dalam pikirannya masing-masing.

"Freeya?"

"Iya mas."

"Kalau seandainya dalam waktu dekat ini tiba-tiba Aidan kembali, kamu akan bagaimana? maksud saya, siapakah yang akan kamu pilih, saya atau dia."

"S-saya_" mendadak suaranya tercekat di tenggorokan, Freeya tak menyangka jika Adam akan mengajukan pertanyaan semacam itu, tapi jika dipikir lagi memang tidak ada salahnya jika Adam berbicara demikian, walau bagaimanapun kini mereka adalah sepasang suami istri, bukan orang asing, walau awalnya memang seperti orang asing.

Adam beranjak dari duduknya, "Baiklah, kamu tidak perlu menjawabnya, karena saya sudah tahu jawabannya."

"Mas?" Freeya ikut berdiri dibelakang Adam yang kini dalam posisi membelakanginya.

"Saya pilih mas Adam."

Sontak Adam berbalik dan menatapnya.

"Kenapa, apa alasannya?"

"Apakah harus ada alasan, bukankah kita sudah menikah."

"Jadi, kamu memilih saya hanya karena status kita suami istri?"

Memangnya apa lagi? batin Freeya.

"I-iya." hanya jawaban singkat tersebut yang pada akhirnya keluar dari mulut Freeya.

Adam mengangguk, dengan senyum kecut, "Baiklah." jawabnya yang kemudian melanjutkan langkahnya lebih dulu, membuat banyaknya pertanyaan yang berseliweran dalam benak Freeya.

Apakah dia marah? pikirnya.

*

*

Terpopuler

Comments

SakhaNya

SakhaNya

Suami - istri itu jabatan mulia lhoh 😌 ...jangan salah ya Adam ...kalau dijalani dengan benar & penuh keikhlasan itu bernilai ibadah 😱☺️🥰

2023-09-27

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!