Sang mentari mulai muncul dari ufuk timur, menandakan bahwa awal kehidupan telah kembali dimulai, beberapa orang bahkan sudah memulai aktifitasnya dari sejak pagi buta.
Begitupun dengan Freeya, gadis itu bangun lebih pagi, lebih tepatnya karena tadi malam ia memang tak bisa tidur, dan akhirnya memutuskan untuk bangun lebih awal, lalu membuat sarapan untuk dirinya dan juga suaminya.
Ya, suami!
Saat ini ia sudah memiliki suami, meski bukan suami yang yang diimpikannya sejak dulu.
Tak lupa juga pagi ini ia meminta mang Kasim sopir pribadi ayahnya untuk mengantarkan pakaiannya kerumah Adam.
"Lho, mau kemana? kok sudah rapih jam segini?" ucap Adam yang baru saja keluar dari kamar dengan rambut sedikit berantakan khas seperti seseorang yang baru saja bangun tidur, pria itu menarik kursi dan memilih duduk berhadapan dengan Freeya.
"Memangnya pagi ini kamu ada mata kuliah? oh iya, sejak kapan kamu punya baju ganti?" lanjut Adam, karena seingatnya semalam Freeya tidak membawa sehelai pakaian pun, selain gaun pengantin dan kemeja biru yang ia berikan waktu itu.
"Tadi pagi dianterin mang Kasim mas."
"Padahal kamu tinggal bilang saja ke saya, nanti biar saya yang anter langsung kerumah orang tua kamu, sekalian biar saya tahu rumah kamu juga kan?"
"Tidak usah, itu akan merepotkan mas Adam nantinya."
Terdengar decakan lirih yang keluar dari mulut Adam, pria itu meletakkan kembali sendok yang baru beberapa menit berada digenggamannya.
"Freeya? saya ini sekarang sudah menjadi suami kamu lho kalau kamu lupa, jadi semua kebutuhan kamu, masalah kamu, mulai sekarang akan menjadi tanggung jawab saya."
"Ehmm.. mengenai masalah ini mas tidak perlu terlalu bersusah payah untuk bertanggung jawab terhadap saya, bukankah kita berdua menikah karena terpaksa."
"Aku tahu kamu terpaksa, kita sama-sama terpaksa dengan pernikahan ini, tapi asal kamu tahu, saya tidak menganggap pernikahan ini main-main Freeya, saya menganggapnya sangat serius."
Freeya menghela napas pelan, mendadak makanan yang ada di tenggorokannya tersangkut, sulit untuk ditelan.
"Oh iya, sore ini saya mau mengajak kamu menemui keluarga orang tua saya, karena saya yakin saat ini mereka membutuhkan penjelasan mengenai pernikahan kita kemarin."
"I-iya mas!"
Setelah menyelesaikan sarapannya Freeya pun bergegas menuju tempat dimana ia membuka butik yang sudah ia jalani sejak ia duduk di bangku SMP, tak lupa ia meminta izin terlebih dulu kepada Adam.
"Aya..!" panggil Alina, dari kejauhan.
Gadis itu tampak bersemangat berlari menghampiri Freeya yang kini sedang duduk disebuah Kafe yang berada disamping butiknya.
Ya, pagi ini keduanya membuat janji untuk bertemu, lebih tepatnya Alina yang memaksa karena penasaran dengan suami Freeya yang mendadak berubah.
"Buruan ih Aya cerita." desaknya, membuat Freeya terkekeh.
"Kamu bahkan belum duduk Lin, duduk dulu gih."
Alina berdecak, gadis itu kemudian duduk dihadapan Freeya dengan kedua mata yang tetap memandang kearah Freeya.
"Gimana ceritanya suami kamu jadi berubah gitu Ya, dia bukan karena keturunan Ultraman kan?"
Lagi-lagi Freeya menanggapi dengan kekehan kecil.
"Bukakanlah mana ada, kamu itu kebanyakan nonton kartun Lin."
"Jadi kenapa, kok bisa? si Aidan kemana?"
Mendengar nama Aidan disebut, seketika wajah Freeya berubah murung.
"Aya kenapa, lho kok malah jadi sedih sih, ada apa Ya?"
"Ternyata selama dua tahun ini, aku bukanlah orang yang penting buat mas Aidan Lin, dia memutuskan pergi di hari pernikahan kita lewat mamanya."
Alina menggeleng, bahkan gadis itu mengerjap beberapa kali untuk memastikan kesadarannya.
"Kamu serius Ya?"
"Iya Lin, dia sama sekali tidak mengatakan apapun terhadapku, dia pergi begitu saja, bahkan tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan dampaknya bagi keluargaku dan keluarganya."
"Yaampun Aya, aku sampai nggak bisa berkata-kata Ya, kaget sumpah! aku nggak nyangka lho si Aidan yang aku kenal baik selama ini ternyata bisa seberengsek itu, awas aja kalau aku ketemu dia, aku bakalan buat perhitungan sama dia, aku bejek-bejek kalau perlu."
"Aya, kamu yang kuat ya sayang, aku beneran ikut sedih tahu ya, sakit juga kamu diginiin yaampun."
Alina beranjak untuk berdiri dan memeluk Freeya dari samping, menenangkan sahabatnya yang bahkan sudah menangis sejak pertama kali bercerita.
"Terus, itu siapa yang nikah sama kamu Ya, aku bahkan nggak sempat tanya kemarin saking bingungnya, mendadak jadi orang linglung aku Ya."
"Mas Adam, kakaknya mas Aidan."
"What..Aya?! ditinggal adeknya, kamu malah dipinang sama abangnya, kamu Amazing sekali Aya." Alina terbelalak, namun detik kemudian ia tertawa.
"Ck, tapi nggak apa-apa, mas Adam kamu itu sepertinya orangnya baik, tegas, yang pastinya dia lebih tampan kan, dari si brengsek itu, jauh lebih tinggi pula Ya." lanjutnya, sembari mengedipkan sebelah mata.
"Oh iya, gimana mengenai semalam, sukses nggak? cerita ih Aya gimana rasanya? ah Mak, anakmu pengen nikah!"
Freeya tergelak, sahabatnya itu memang selalu bisa membuat ia tertawa dengan segala tingkah konyolnya.
"Buru ih Aya ceritain gimana rasanya?" desak Alina lagi.
"Apasih Lin?"
"Itu yang pas lagi ehem-ehem nya Ya."
"Menurut kamu?"
"Belum ya?"
"Aku sama mas Adam itu baru kenal dihari pernikahan Lin, kami berdua butuh waktu untuk saling mengenal dulu."
"Tapi Ya, kamu nggak berniat pisah dari dia kan?"
"Nggak tahu juga sih Lin, tapi mas Adam bilang dia serius sama pernikahan kami."
"Itu berarti dia pinter Ya, jelas-jelas sahabat aku secantik ini kok, mana rela dia lepasin, kecuali sibrengsek itu, bodoh banget dia, aku jamin suatu saat dia pasti nyesel, senyesel-nyeselnya percaya deh."
"Sudahlah Lin, aku juga sudah tidak mau lagi mengingat semua tentang mas Aidan, aku sedang berusaha untuk melupakan dia."
"Harus! melupakan dia adalah sebuah keharusan, nggak boleh diingat-ingat lagi, semangat Aya!"
"Thanks, Alina!"
"Sama-sama sayang."
Setelah cukup lama mengobrol, Alina pun berpamitan untuk pulang, karena ia harus membantu ibunya menjaga adiknya yang sedang dirawat karena terkena penyakit tyfus.
Sementara Freeya masuk ke Butiknya untuk bekerja dengan karyawannya seperti biasa.
"Kok, sudah masuk kerja aja Ya, kan masih pengantin baru?" goda Michel.
"Apasih Chel, malam juga kan masih bisa ketemu, iya nggak Ya?" timpal Rani sambil cengengesan.
Sementara Freeya hanya menanggapi mereka dengan senyuman disertai gelengan kepala.
Michel dan Rani adalah dua orang dari empat karyawan butik milik Freeya, yang biasa memanggil dengan namanya saja, atas permintaan Freeya sendiri, harapannya supaya diantara mereka semua tidak merasa canggung, dan menganggap seperti sahabat saja.
"Ngiri mereka Ya, oh iya sekali lagi selamat ya Ya, atas pernikahannya, semoga bahagia dan segera diberi momongan." Ayra dibelakangnya ikut menimpali, begitupun dengan Ayrin.
"Terimakasih semuanya, terimakasih juga karena kemarin sudah sempat datang keacara pernikahanku, yasudah, sekarang aku masuk keruangan ku dulu ya."
"Iya Ya, oh iya su_"
Ucapan Ayrin terhenti, saat Ayra mencubit tangannya dengan keras.
"Kenapa Ay?"
"Eh nggak-nggak Ya, masuk aja."
Freeya mengangguk kemudian berlalu menuju ruangannya yang berada dibelakang.
"Apasih Ra, katanya kalian juga penasaran, kok malah nyubit gue sih?" gerutu Ayrin.
"Ck, elo kok nggak peka banget sih, Lo nggak lihat si Aya mukanya kayak yang lagi sedih gitu tadi?"
"Iya, menurut gue juga gitu sih!" Michel membenarkan.
"Gue jadi bingung apasih yang sebenarnya terjadi, kok bisa suami si Aya mukanya jadi beda gitu." Rani tampak kebingungan.
"Sudahlah, kita lebih baik lanjut kerja aja, gue yakin suatu saat Aya pasti cerita kok, mungkin sekarang dia butuh waktu buat sendiri, kita nggak tahu kan, sebesar apa masalah yang dihadapinya sekarang?"
"Iya Chel, Lo bener!" Ayra setuju dengan ucapan Michel, pada akhirnya mereka memutuskan untuk menyimpan rasa penasarannya dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya masing-masing.
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments