Adam keluar dari kamar dalam keadaan sudah rapih memakai setelan kerjanya.
Ia celingukan mencari keberadaan Freeya yang tidak dilihatnya sejak bangun pagi tadi, sedangkan menu sarapan untuk dirinya sudah tersaji diatas meja makan, begitupun keadaan rumah sudah sangat rapi dan bersih.
Adam berkeliling mencari Freeya disekitar rumah, namun ia tak juga menemukan keberadaan istrinya, hingga samar-samar ia mendengar suara gemericik air yang berasal dari taman belakang.
Disana Freeya tampak sedang asyik menyirami beberapa jenis bunga yang sedang bermekaran, sesekali ia tersenyum saat melihat sejumlah kupu-kupu yang sedang berterbangan dan sesekali hinggap diatas kelopak bunga tersebut dengan cantiknya.
Adam melanjutkan langkah mendekati Freeya yang sepertinya tidak menyadari kedatangannya, namun sebelum ia benar-benar sampai didekat Freeya, tiba-tiba Adam menghentikan langkahnya.
Ia teringat kejadian semalam, mungkinkah Freeya marah terhadap dirinya? batin Adam, penuh tanya.
Adam hendak berbalik, namun langkahnya kembali terhenti saat Freeya memanggil namanya.
"Mas Adam?"
"Emmm_ iya."
Freeya menghampiri Adam setelah meletakkan selang dan mematikan keran.
"Mas sudah sarapan?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Nungguin kamu."
"K-kenapa nungguin saya?"
"Karena saya sudah terbiasa, sarapan ditemani kamu."
Tak mengatakan apapun lagi Freeya memimpin langkah menuju dapur terlebih dahulu, lalu mengambilkan piring yang ia isi dengan roti tawar yang sudah diberi selai untuk Adam.
"Silahkan mas."
"Terimakasih."
Keduanya memakan sarapannya dalam hening, dengan dipenuhi perasaan canggung, hingga keduanya selesai dengan sarapannya masing-masing.
Freeya beranjak lebih dulu, membawa piring kotor dan meletakkannya di kitchen sink kemudian menyalakan keran hendak mencucinya.
Sementara dibelakangnya Adam berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam saku celananya.
"Apakah kamu marah soal perkataan saya yang semalam?"
Seketika gerakan Freeya terhenti, gadis itu terdiam, tidak menoleh juga tidak berniat menjawab pertanyaan suaminya.
"Maaf, saya tidak bermaksud mengungkit dia dihadapan kamu."
Hening..
Dirasa Freeya tak akan menjawab pertanyaannya, Adam pun akhirnya memilih pergi, terlebih jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, setengah jam lagi ia harus sampai dikantornya.
Sebagai pemilik perusahaan ia tentu tak ingin memberikan kesan buruk terhadap seluruh karyawannya.
*
Didepan kantor Willy tampak sudah menunggu, pria yang seumuran dengan Adam itu mengangguk sopan, sembari menyerahkan sebuah map bersampul coklat ketangan Adam.
"Selamat pagi pak,? Ini laporan hasil peninjauan lokasi yang kemarin saya datangi, coba bapak periksa dulu, apakah sesuai seperti yang bapak mau, detailnya sudah saya cantumkan didalamnya."
"Oke Will, nanti saya periksa." balas Adam sembari berjalan beriringan disamping Willy.
"Mengenai kerja sama dengan Amora group sepertinya akan tetap dilanjutkan sesuai kesepakatan awal, tetapi pak Wahab bilang, putrinya yang akan menggantikan, karena untuk saat ini kondisi beliau sedang tidak memungkinkan."
Sontak Adam menghentikan langkahnya, "Maksudnya diganti dengan Naina?"
"Bukan pak, tapi putri keduanya."
"Apa putri kedua yang kamu maksud adalah Devina?"
"Betul pak, sepertinya bapak sudah mengenalnya."
"Dia hanya teman kuliah saya dulu."
"Begitu rupanya."
"Oh iya pak, mengenai bu Devina putri dari pak Wahab ini, dia meminta untuk bertemu dengan bapak sore ini."
"Kalau begitu sore ini kamu bantu saya temui dia."
"Mohon maaf pak, sebelumnya bu Devina sudah berpesan agar dipertemuan kali ini bapak sendiri yang datang menemuinya." ujar Willy tak enak hati.
Adam melengos dengan helaan napas berat, "Baiklah, kamu bantu saya siapkan berkasnya, katakan pada dia jam berapa saya harus menemuinya."
"Baik, pak."
Setelah didalam gedung, keduanya berpencar menuju ruangannya masing-masing.
Tiba di ruangannya Adam langsung menarik kursi dan menjatuhkan tubuhnya disana.
"Devina?"
Satu nama yang tiba-tiba mengganggu pikirannya, ia sendiri tidak menyangka jika pak Wahab akan mengalami sakit separah itu dan bahkan meminta Devina untuk menggantikan dirinya.
Kenapa harus Devina? bukankah masih ada Naina, Adam benar-benar tak habis pikir.
Waktu terus berjalan, detik berganti menit, menit berganti jam, dan hari pun mulai beranjak sore, sudah waktunya ia keluar menemui Devina sesuai yang telah ditentukan dari pihak Davina sendiri.
Saat memasuki area yang menjadi tempat khusus warung lesehan disamping kampus ia berkuliah dulu, Adam terus mengamati sekitarnya, rasanya tidak ada yang berubah dari 10 tahun yang lalu.
Semuanya masih tetap sama, bahkan pohon pinang yang berjejer rapi pun jumlahnya masih tetap sama, hanya saja kini pohon-pohon itu sudah lebih tinggi dari sebelumnya.
Sementara itu bangunannya masih tetap sama persis, hanya sebagian warna catnya sudah sedikit memudar, begitupun dengan rumah pondoknya yang mulai lapuk dan usang termakan usia.
Adam berhenti disalah satu warung makan lesehan dengan sepanduk yang bertuliskan, ''Bebek rica-rica pak Riyadi.''
Langkahnya terhenti saat seseorang yang sejak tadi sangat paling tidak ingin ditemuinya sudah duduk manis sambil melambaikan tangan dan tersenyum kearahnya.
"Silahkan duduk." ujar wanita dengan setelan blazer berwarna coklat dihadapannya dengan senyum penuh antusias.
"Maaf, sudah lama menunggu." ujar Adam dengan wajah datar.
"Tidak masalah."
"Katakan saja langsung pada intinya." ujar Adam tanpa basa-basi.
Gadis dihadapannya tersenyum, seolah tidak terganggu sama sekali dengan ucapan ketus Adam.
"Ck, kenapa buru-buru sekali, padahal aku sengaja memesan tempat ini karena aku kangen dengan masa-masa dulu, memangnya kamu tidak kangen Dam?"
"Tidak ada yang spesial, jadi apa yang perlu saya ingat."
"Adam, apakah kamu masih marah soal apa yang terjadi waktu itu."
"Saya tidak marah, saya hanya tidak suka membahas hal-hal yang sudah berlalu, lagi pula pertemuan kita kali ini untuk membahas pekerjaan kan? tolong jangan bahas yang lain, saya tidak punya waktu."
Deg!
Ucapan menohok Adam membuat wanita dihadapannya sedikit tertunduk dengan kedua tangan yang saling meremass kuat.
"Baiklah, tapi sebelumnya kita pesan makanan dulu ya."
"Kamu saja, saya sudah makan."
"Tapi Dam_"
"Tolong cepat sedikit, dan berhenti mengajak saya untuk mempermasalahkan hal yang tidak penting."
"Kelihatannya sekarang kamu sudah banyak berubah ya Dam."
"Tentu saja, dalam waktu sepuluh tahun tidak mungkin tidak ada yang berubah kan."
Devina mengangguk, "Kamu benar."
"Oh iya bagaimana keadaan tante Arum sama om Abi, Aidan juga."
"Semuanya baik."
"Kamu sendiri_"
"Jika kamu tidak berniat membahas tentang pekerjaan, lebih baik saya pulang sekarang." Adam hendak beranjak, namun Devina menahan tangannya.
"Maaf!" ujar Devina, saat menyadari tatapan tak suka Adam saat memegangi tangannya.
"Duduk dulu sebentar, aku akan mengatakan apa yang ingin kamu dengar saja."
Dengan terpaksa Adam pun kembali duduk dan mulai membuka beberapa lembar proposal yang dikeluarkan Devina dari dalam tasnya.
"Kedepannya mungkin kita akan sering bertemu, karena ayah sudah menyerahkan proyek ini sepenuhnya kepadaku."
*
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Wirda Wati
Davina mungkin masa lalu adam
2023-10-18
0