NovelToon NovelToon

Suami Pengganti

Menghilang

Disebuah gedung yang sudah dihias dengan sedemikian rupa tampak sangat ramai dipenuhi para tamu undangan yang turut hadir disana.

Ada sekitar lima ribu tamu undangan yang hadir dalam acara tersebut, untuk menghadiri pernikahan Aidan dan Freeya, Pernikahan yang tergolong sangat mewah, karena keduanya berasal dari keluarga berada dan cukup disegani.

"Bagaimana ini pa?" ucap seorang wanita cantik yang memakai setelan kebaya pink dusty dengan tataan rambut yang pas diusianya.

Raut wajah gelisahnya tak bisa disembunyikan, sesaat setelah menerima pesan singkat dari putranya.

"Telpon ma, coba ditelpon dulu, papa yang akan bicara dengannya." balas Abi laki-laki yang hampir memasuki usia lima puluh itu memang selalu tampak tenang menghadapi segala sesuatu, termasuk menghadapi situasi kacau seperti saat ini.

"Tidak aktif pa, bagaimana ini?"

Arumi menangis, bahkan tubuhnya sudah sempoyongan, kalau saja Abi tak menahannya mungkin saja ia sudah terjatuh membentur lantai.

"Bagaimana kita menjelaskan pada mereka pa, pada mbak Nadia, mas Badi, Freeya terutama." isak tangis Arumi semakin kuat memenuhi ruang ganti.

"Mama istirahat dulu, jangan pikirkan apapun, biar papa yang pikirkan ini semua, tenangkan hati mama oke." ucap Abi sembari menarik kursi dan mendudukkan istrinya disana.

"Papa akan coba hubungi semua sahabat Aidan."

Arumi hanya mengangguk setuju, dengan harap-harap cemas.

Abi berdiri kemudian merogoh ponsel disaku celananya, dan menekan salah satu nomor ponsel milik salah satu sahabat Aidan.

Ia mulai goyah, saat sahabat pertama Aidan tak mengetahui keberadaan putranya, kini hatinya tak bisa setenang wajahnya, bohong! jika ia harus terus menerus terlihat baik-baik saja, terlebih acara akad nikah sebentar lagi akan dimulai.

Abi terus menghubungi semua nomor sahabat Aidan yang ia miliki, sayangnya dari banyaknya teman Aidan tak ada satupun yang mengetahui keberadaan putranya saat ini.

"Bagaimana pa?"

Abi menggeleng lemah, "Mereka tidak ada yang tahu keberadaan Aidan ma."

Pembicaraan keduanya teralihkan saat sebuah pintu diketuk beberapa kali dari arah luar.

"Mbak Arum didalam mbak, ini saya Nadia."

"I-iya mbak, masuk saja mbak." sahut Arumi, lalu buru-buru menghapus air matanya dan memasang senyum manis seiring pintu dihadapannya terbuka lebar.

"Lho, kok masih disini? sebentar lagi acaranya mau dimulai kan,? pak penghulunya juga sudah datang dari setengah jam yang lalu mbak." ucap Nadia memberi tahu.

Arumi dan Abi pun sontak saling pandang.

"Ada apa mbak, mas Abi?" lanjut Nadia saat tak mendapatkan jawaban, selain wajah tegang dari keduanya.

"Mbak, ada yang ingin kami bicarakan." Arumi kembali menangis dengan kedua tangan menyatu dan gemetar.

"Ada apa mbak?" Nadia tentu bingung, terlebih saat melihat calon besan perempuannya yang kini mulai terisak.

"Tolong panggilkan mas Badi mbak, Freeya juga, kita harus bahas masalah ini sama-sama, secara kekeluargaan." kini Abi yang angkat bicara, sementara Nadia meski tak mengerti ia menurut saja bergegas memanggil anak dan suaminya.

"Ada apa ini mas Abi, apa yang terjadi?" ujar Badi tampak khawatir telah terjadi sesuatu.

"Duduk dulu mas!" Abi menyuruh semuanya untuk duduk.

Dipandanginya wajah Freeya yang tampak cantik memakai kebaya putih dengan hiasan siger dikepalanya, hiasan yang merupakan khas Sunda.

Ada perasaan tak tega untuk menyampaikan hal yang mungkin saja membuat calon menantunya itu akan syok dan terluka.

Bertahun-tahun ia mengenal sosok Freeya gadis berhati lembut dengan tutur kata yang sopan, dan sangat menghormatinya.

Gadis seperti itu tentu adalah gadis idaman untuk dijadikan menantu.

Namun, ia tak punya banyak waktu untuk menyembunyikannya, saat ini juga ia benar-benar harus mengatakannya.

Abi menghela napas pelan, lalu memandangi wajah ketiganya.

"Mas Badi, mbak Nadia, dan nak Freeya, sebelumnya saya benar-benar minta maaf, acara pernikahan terpaksa ditunda, atau mungkin dibatalkan."

Deg!

Wajah ketiganya menegang, terutama Freeya, sementara Arumi hanya bisa menunduk dengan isakan yang semakin kuat.

"Mas bercanda?" ucap Badi yang dibarengi tawa hambar.

"Tidak mas! yang saya katakan ini serius."

Badi terhenyak dengan wajah tak percaya.

"Apa-apaan ini mas, memangnya kenapa? mengapa harus ditunda atau dibatalkan, apakah ada sesuatu yang kurang? apa tidak bisa dicarikan solusi, katakan mas! kita sama-sama mencari solusinya." Ujar Badi yang tentu saja tak terima pernikahan putrinya dibatalkan begitu saja.

"Aidan menghilang."

"Menghilang bagaimana?" Badi hampir berdiri, kalau saja Nadia tidak mencegahnya.

Abi menghela, sebelum kemudian memperlihatkan ponsel Arumi yang berisi pesan dari Aidan.

"Maaf ma, pa! setelah aku pikir-pikir lagi ternyata aku belum siap menikahi Freeya sekarang! tolong kalian jangan mencariku."

Badi membaca kata demi kata yang tertulis dalam isi pesan tersebut, pesan yang sengaja dikirim Aidan kepada mamanya.

"Keterlaluan!" umpat Badi dengan rahang mengeras, bahkan tanpa sadar menjatuhkan ponsel milik Arumi hingga mengenai lantai.

"Mas ini_" Badi mengacak rambutnya frustasi, ia bahkan kehilangan kata-kata saking kagetnya.

"Mbak Arum, mas Abi, apakah tidak ada solusi lain selain harus dibatalkan, bagaimana tanggapan dari orang-orang nantinya." Nadia berbicara lebih tenang dari suaminya, walaupun raut wajahnya tidak demikian.

Diwaktu yang sama ponsel Abi berbunyi.

"Maaf! saya angkat telpon dulu sebentar." Abi berdiri didepan pintu, tak lama kemudian masuk seseorang dengan balutan kemeja dan jas yang rapi sangat pas ditubuhnya yang tinggi dan tampan.

Arumi yang semula masih menangis pun sontak berdiri mendekati pintu, matanya berbinar sembari menyentuh wajah seseorang yang baru saja tiba tersebut.

"Adam?!" ucapnya, tak percaya.

"Ma." sahutnya lirih, lalu meraih tubuh sang mama kedalam pelukannya.

"Maaf, Aku tidak memberi tahu mama sebelumnya kalau hari ini Aku akan pulang."

Arumi mendorong tubuh Adam pelan, ia mendongak menatap wajah putranya yang tentu jauh lebih tinggi darinya.

"Tidak apa-apa nak, justru mama sangat senang akhirnya kamu pulang, oh iya perkenalkan ini keluarga Freeya calon istri Aidan." ucap Arumi sembari menarik tangan Adam membawanya kehadapan Nadia, Badi, dan juga Freeya.

Untuk sesaat mereka terhanyut dalam obrolan ringan saling berkenalan, dan menanyakan bagaimana kehidupan Adam selama ini ketika berada diluar negri.

"Nak Adam, apakah nak Adam memiliki seorang pacar, atau tunangan?" Badi bertanya dengan nada serius, yang ditanggapi Adam dengan tawa kecil.

"Belum om, belum kepikiran sama sekali, kebetulan saya juga sedang sibuk mengurus perusahaan baru di Jakarta.''

"Kalau begitu, maukah nak Adam menikahi putri saya, Freeya?"

Deg!

Bukan hanya Adam yang terperanjat saat mendengar ucapan Badi barusan, tetapi semuanya menunjukkan reaksi yang sama, dan sama-sama menatap kearah Badi terkecuali Abi.

"Bagaimana nak Adam, mas Abi, mbak Nadia?" ulangnya.

"Saya setuju." Abi menjawab tegas, sembari melirik putranya yang tampak keberatan, sekaligus syok.

"Tolong papa, ini demi nama baik keluarga kita nak." bisik Abi dengan raut memohon.

*

*

Bersedia menikah

"Pa_"

"Ikut papa." sela Abi cepat, sembari menarik tangan Adam ketempat lain.

"Pa, apa yang sebenarnya terjadi? kenapa tiba-tiba aku harus menikahi calon istri Aidan." protes Adam gelisah.

Abi menghela napas panjang, sebelum kemudian mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya dikedua pundak Adam.

"Papa tahu ini terlalu mendadak Dam, situasi didalam gedung pun papa yakin kamu sudah melihatnya kan? tamu undangan tidak sedikit Dam, apa yang harus papa lakukan kalau acara ini sampai dibatalkan, lalu bagaimana tanggapan keluarga pak Badi terhadap keluarga kita, coba kamu pikirkan?"

"Memangnya Aidan kemana? kenapa jadi aku yang harus menikahi calonnya."

"Aidan menghilang."

"Apa? menghilang?"

"Menghilang bagaimana? kalau begitu, kenapa nggak coba kita cari saja pa, kita cari sama-sama."

"Masalah ini tidak sesederhana seperti yang kamu pikirkan Dam, Aidan berharap kita tidak mencarinya, anak kurang ajar itu sudah memutuskan segalanya secara sepihak."

"Bahkan dia sama sekali tidak memikirkan dampaknya terhadap keluarga kita."

"Adam, selama 28 tahun ini mama dan papa tidak pernah meminta apapun terhadap kamu bukan? tapi untuk kali ini papa mohon Dam, papa mohon sekali tolong bantu papa."

Adam terdiam, sembari menatap kedua mata sang papa yang tampak memerah.

Adam tentu sangat mengenal baik sifat sang papa selama ini, lelaki yang biasa tampak tenang itu kini terlihat begitu gelisah dan banyak menanggung beban.

Ia sendiri begitu marah terhadap sang adik yang telah menempatkan kedua orang tuanya termasuk dirinya dalam posisi seperti sekarang ini.

"Bagaimana Dam? sudah kamu pikirkan?"

Adam menghela, apakah ia masih punya waktu untuk berpikir, apakah ia harus mengatakan tidak, bagaimana pun ia sama sekali tidak mengenal gadis itu.

Namun bagaimana jadinya nasib keluarganya jika ia menolak untuk menikahi gadis tersebut, terlebih saat melihat kegelisahan sang papa yang begitu nyata didepan matanya.

"Baiklah, tapi bagaimana dengan gadis itu, dia belum tentu setuju kan pa, bahkan usia kami sepertinya terpaut cukup jauh."

Mendengar ucapan Adam yang menurutnya adalah sebuah jawaban yang ia inginkan, kedua mata Abi berbinar, sejak kecil Adam memang selalu bisa diandalkan.

"T-tapi kamu sudah setuju kan?"

Adam mengangguk pelan, karena sejujurnya ia sendiri merasa ragu, ia sadar dirinya tak memiliki pengalaman apapun terhadap seorang wanita, kecuali ibunya.

"Kalau begitu ayo, kita kembali temui mereka, waktu kita tidak banyak Dam."

"Bagaimana mas, apakah sudah diputuskan?" Ucap Badi begitu keduanya sampai diruangan ganti.

"Adam sudah setuju."

Mereka menghela napas lega, terkecuali Freeya, gadis itu tampak murung dengan wajah tertunduk.

"Bagaimana dengan Freeya?"

Sontak Abi melirik kearah putrinya, yang kini semakin tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut.

"Aya, mau kan nak menikah dengan nak Adam.?"

Sejenak keheningan tercipta diruangan tersebut.

Semua orang memandang kearah Freeya dengan harap-harap cemas, menunggu jawaban apa yang diberikan gadis itu.

Freeya sendiri begitu kecewa terhadap Aidan, yang sudah tega mempermainkannya seperti ini, ia bertanya-tanya mengenai ungkapan cinta Aidan selama ini, apakah semua ucapan pria itu palsu, ia dengan sengaja membuatnya diatas awan kemudian menjatuhkannya secara tiba-tiba.

Lalu apa yang harus ia pertahankan sekarang.

"Baiklah, Aya setuju pa."

Semua orang tampak bernapas lega, kemudian mereka sama-sama turun menuju tempat dimana orang-orang sudah berkumpul menunggu kehadiran mereka.

Acara ijab kabul, berlangsung dengan lancar, meski sebagian orang-orang merasa sedikit keheranan dengan mempelai pria yang sedikit berbeda seperti didalam foto yang terpajang diluar gedung.

Adam dan Aidan memang memiliki sedikit kemiripan, namun tidak dengan postur tubuh mereka, Adam jauh lebih tinggi dari Aidan.

Setelah selesai acara, keluarga Freeya ikut serta mengantarkan Freeya menuju kediaman Abiyasa, lalu berpamitan untuk pulang, tak lupa kedua orang tuanya menitipkan Freeya pada Adam dan keluarganya.

*

"Maafkan mama ya sayang, mama sudah gagal mendidik Aidan, mama tahu kamu pasti sangat syok dengan kejadian hari ini, ini semua salah mama." ucap Arumi merasa bersalah.

Freeya menggeleng, ia jelas tahu semua ini bukan salahnya, Arumi adalah sosok ibu yang tegas selama ini.

"Sudahlah ma, mama tidak perlu menyalahkan diri mama sendiri, mungkin semua ini sudah menjadi keputusan mas Aidan, aku sudah ikhlas kok ma, lagipula sekarang aku sudah menikah dengan mas Adam kan?"

"Maafkan mama sayang."

Arumi menangis sembari memeluk tubuh kecil Freeya, membuat gadis itu terpancing untuk ikut menangis juga .

Sementara diruangan yang berbeda, Abi menepuk pundak putranya beberapa kali, ada perasaan bangga sekaligus merasa bersalah terhadap Adam yang terpaksa harus menikah tanpa rencana.

"Terimakasih untuk hari ini Dam, maafkan papa."

Adam tersenyum tulus.

"Tidak masalah pa, selagi aku bisa membantu keluarga kita, itu sama sekali tidak masalah."

Jawaban Adam tentu membuat hati Abi terenyuh, sekaligus merasa terkoyak, pertahanannya runtuh pria paruh baya itu menangis sambil memeluk putranya.

Sementara Adam hanya mematung, bagaimana tidak! ini untuk pertama kalinya dalam hidupnya melihat sang papa menangis dengan begitu pilunya.

Sosok yang ia kenal dengan segala ketegasannya, hari ini tampak sangat rapuh, dan memilukan.

Seharusnya dirinya yang bersedih, bukan?

"Kamu tenang saja, Freeya anak yang baik, pasti dia juga bisa menjadi istri yang baik buat kamu."

"Iya pa."

"Kapan kamu berencana untuk pindah, dan membantu bekerja di perusahaan papa disini."

"Maaf pa, sepertinya untuk yang satu ini aku tidak bisa."

"Maksudnya kamu berencana terus tinggal diluar negri, begitu?"

Adam terkekeh pelan, "Bukan! maksud aku, aku tidak bisa membantu bekerja di perusahaan papa, karena aku sudah punya perusahaan sendiri di Jakarta."

"K-kamu_"

Adam semakin tergelak, saat melihat ekspresi wajah sang papa yang tampak kesal.

"Dua tahun terakhir ini, aku sudah berada di Jakarta pa."

"Adam?!"

"Iya, aku tahu aku salah pa, aku jarang pulang menemui kalian."

Abi berdecak dengan keras, "Bahkan menelpon pun tidak pernah."

Lagi-lagi Adam hanya terkekeh, sembari mengikuti langkah sang papa menuju ruang tengah dimana ada Freeya dan juga Arumi.

"Yasudah, kalian beristirahatlah ajak istrimu kekamar Dam."

"Maaf pa, sepertinya aku akan langsung pulang saja."

"Pulang? pulang kemana?" Arumi menyahut.

"Adam sudah punya rumah sendiri ma."

"R-rumah? bukannya kamu baru pulang?''

Adam tersenyum, sembari mendekati sang mama dan memegangi kedua tangannya.

"Maaf, aku belum sempat cerita ke mama kalau selama ini aku sudah tinggal di Jakarta ma, aku hanya ingin bercerita diwaktu aku sudah sukses dengan usahaku."

"Adammm?!"

"Anak ini memang benar-benar." Abi menggerutu dibelakangnya, sementara Freeya hanya memilih diam, karena selama lima tahun mengenal keluarga Aidan ia tidak pernah melihat Adam sekalipun dirumahnya.

Ia hanya tahu jika selama ini Aidan memiliki seorang kakak yang melanjutkan studinya diluar negri.

*

*

Tinggal bersama

"Jadi kamu beneran sudah punya rumah sendiri, terus menantu mama mau dibawa pergi juga, begitu?" ucap Arumi yang tampak lesu, wanita itu menjatuhkan tubuhnya diatas sofa dengan gerakan kasar.

"Baru ini lho mama punya menantu Dam, dari dulu kamu kan susah banget disuruh nikah, ada saja alasannya, mungkin kalau Aidan tidak pergi, ya kamu nggak akan nikah-nikah sampai sekarang."

"Apasih ma, sudah-sudah! mungkin anak-anak butuh waktu untuk saling mengenal dulu, tahu sendiri mereka belum pernah bertemu sebelumnya kan.?" Abi mencoba menengahi, Abi tahu mungkin saja kata-kata barusan tanpa Arumi sadari telah menyinggung perasaan menantunya, karena ditinggal Aidan.

"Iya ma, papa benar! sepertinya kami memang butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain." Adam kembali bicara.

"Tap_"

"Sudah ma, sudah!" sela Abi sembari merangkul pundak istrinya mencoba menenangkan Arumi yang tampak kesal.

"Tapi kan_"

"Ma." kali ini Abi memberi tahu dengan isyarat mata.

Arumi menghela napas kasar.

"Yasudah kalau itu memang keputusan kamu, tapi mama minta kamu jaga Freeya lho Dam, jika ada masalah segera selesaikan secara baik-baik."

"Iya, Adam mengerti ma."

Arumi mendesaah lega, ia berdiri kemudian duduk disamping Freeya dan menggenggam kedua tangannya.

"Sayang, beri tahu mama jika sewaktu-waktu Adam berbuat tidak baik, jangan dipendam sendirian, biarpun dia anak mama, jika dia salah mama tidak akan membelanya, iya kan pa?" ucapnya sembari melirik kearah sang suami.

"Tentu saja." jawab Abi sambil tersenyum.

"Sudah beres kan sekarang masalahnya, mama sudah setuju juga, kalau begitu aku sama Freeya pamit pulang ya ma, pa." ucap Adam sambil menyalami keduanya secara bergantian, begitupun dengan Freeya gadis itu mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya, terlebih Freeya memang sudah terbiasa dekat dengan keduanya.

"Tega lho kamu Dam?" Arumi kembali berbicara dengan nada tak terima.

"Aku janji bakalan sering-sering kesini."

"Janji lho ya."

"Iya ma." balas Adam dengan kekehan kecil, lalu pria itu bergegas keluar terlebih dulu, tak lama Freeya menyusul dibelakangnya.

Keduanya masuk kedalam mobil milik Adam, lalu pria itu mengemudikan mobilnya dengan cukup hati-hati, sesekali melirik istrinya yang hanya diam menatap lurus kearah depan.

Ia dapat merasakan gadis yang sudah sah menjadi istrinya beberapa jam yang lalu itu kini sedang menyimpan banyak sekali kesedihan dan kekecewaan terhadap sang adik, yang telah meninggalkannya tanpa kejelasan.

Adam sendiri tahu betul jika hubungan keduanya sudah lama terjalin, karena meski ia tak bersamanya selama beberapa tahun terakhir ini, tetapi Aidan sering kali menelpon dan menceritakan bagaimana kehidupan percintaannya dengan Freeya.

Bahkan selama ini ia sering bekerja sama dengan Aidan agar membantu menyembunyikan keberadaannya, sebelum ia benar-benar sukses.

"Ayok, kita sudah sampai." ucap Adam setelah mengendarai mobilnya selama tiga puluh menit.

"Eh, maaf ya mas." ucap Freeya gelagapan, merasa malu sendiri karena sepanjang perjalanan tadi ia lebih banyak melamun.

Adam hanya mengangguk kecil, lalu keluar dari mobil dan memasuki rumah terlebih dahulu.

"Kamarnya ada disana." Adam menunjuk salah satu pintu bercat putih disebelah kanan.

"Emmm, k-kita tidur sekamar?" ucap Freeya gugup, dengan kedua tangan bertaut, sementara Adam menggerenyit dengan sebelah alis terangkat.

"Menurut kamu?"

Pikiran Freeya mendadak loading, mulut gadis itu terkatup rapat, hingga tak menyadari jika Adam sudah berlalu dari pandangannya.

"Tenang saja, walaupun kita tidur sekamar saya tidak akan macam-macam." ucap Adam yang ternyata baru saja mengambil dua botol minuman dingin dari dalam kulkas.

"Minum dulu."

"Terimakasih mas, tapi saya tidak haus."

"Yasudah, kamu istirahat saja, saya tahu kamu cukup kelelahan hari ini."

Freeya mengangguk, lalu gadis itu berpamitan menuju kamar yang ditunjukkan oleh Adam tadi, ia tak langsung mandi, tidak juga berniat melepaskan gaun pengantin yang masih melekat rapih ditubuhnya.

Tak peduli dengan apa yang ada disekitarnya saat ini selain hanya ingin menangis dan menangis.

Bagi Freeya kejadian hari ini terlalu mengejutkan dan tiba-tiba, ia berharap kejadian hari ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Diambang pintu yang terbuka lebar, Adam yang hendak masukpun mengurungkan niatnya, pria itu berpikir jika ia lebih baik tidak mengganggunya dulu.

Adam yakin, jika saat ini Freeya butuh waktu sendirian untuk menenangkan pikirannya yang kacau.

Karena dalam pernikahan ini Freeya lah yang paling menderita.

Satu jam berlalu, setelah puas dan lelah menangis Freeya pun memutuskan untuk membersihkan diri dan segera beristirahat.

Namun saat ia keluar dari kamar mandi ia baru menyadari jika ia sama sekali tidak memiliki pakaian ganti.

"Ck, masa harus pakai handuk kimono semalaman sih! Arghhh.. bodoh banget sih Freeya." gerutunya pada diri sendiri, kemudian ia celingukan mencari keberadaan Adam yang belum terlihat lagi sejak tadi.

Disaat yang sama Adam masuk dengan membawa sebuah kemeja biru muda ditangannya, dan untuk sesaat pria itu mematung melihat penampilan Freeya yang hanya menggunakan handuk kimono dengan wajah yang polos tanpa make up.

"Ehhhmm, maaf saya tidak punya persediaan baju wanita, untuk sementara coba pakailah ini." ucapnya sembari mengulurkan kemeja biru muda tersebut ketangan Freeya.

"Tenang saja, ini masih baru kok, belum saya pakai sama sekali."

"T-terimakasih mas." ucap Freeya, meski tampak ragu untuk mengambilnya.

"Malam ini saya akan tidur diruang tamu, kamu tidurlah dengan tenang."

"I-iya mas."

Setelah memastikan Adam telah pergi, Freeya pun bergegas kembali kekamar mandi untuk mengenakan kemeja yang baru saja diberikan Adam untuknya.

Freeya menghela napas lega, saat kemeja yang dikenakannya cukup menutupi tubuh bagian bawahnya hingga hampir selutut.

Setelahnya ia melangkah gontai menuju tempat tidur dan membaringkan tubuhnya disana, seketika kepalanya kembali dipenuhi dengan kejadian hari ini.

Entah bagaimana ia menghadapi hari esok dan selanjutnya, terlebih ia bingung harus bagaimana menjelaskan perihal suami penggantinya terhadap Alina sahabatnya.

Sementara dikamar yang berbeda, Adam berusaha menghubungi beberapa orang sahabatnya untuk membantu mencari keberadaan sang adik yang hilang seolah ditelan bumi.

"Aku butuh penjelasanmu Aidan, apa maksudnya kamu melarikan diri dihari pernikahanmu, dan membuat aku terjebak di posisi ini, apa sih rencana kamu sebenarnya."

"Kenapa begini Aidan, kenapa tidak kamu ceritakan saja kepadaku jika terjadi sesuatu, bukannya malah lari."

"Apa kamu tidak kasihan terhadap gadis itu, bukankah kamu bilang bahwa kamu sangat mencintainya."

"Lalu apakah kamu tidak kasihan terhadap mama papa yang harus menanggung malu jika sampai acara hari ini batal? hari ini kamu sudah keterlaluan Aidan, jangan salahkan aku jika suatu saat kita bertemu aku akan menghajarmu." gerutu Adam yang saat ini memegangi sebuah figura yang berisi foto dirinya dan juga Aidan, bertepatan saat wisuda Aidan tiga tahun yang lalu.

*

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!