bab 19

Jaja masih terdiam mematung, ia sana sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Seseorang telah menelpon dan mengatakan kalau Naradita, sahabatnya itu mengalami kecelakaan. Apakah salah kalau dirinya ikut cemas dan langsung ingin melihat keadaan nya? Tapi ternyata kehadirannya justru membuat jarak di antara Nara dan suaminya semakin jauh.

"Maaf, aku datang di waktu yang tidak tepat..." ujarnya menyesal, lalu dia melangkah pergi.

"Tunggu, Ja..! kau tidak salah. ada seseorang yang yang sengaja menciptakan keadaan ini." ucapku sambil menatap tajam kearah Salsa.

bukan nya takut, dia malah balik menantang mataku.

"Apa maksudmu, Nar?" Jaja tidak mengerti.

"Ada orang-orang yang tidak menginginkan aku dan Wisnu bersatu. Mereka berada di rumah ini juga." ucapku tegas.

Salsa pergi meninggalkan kami dengan wajah kesal.

"Benar, Ja. Om Ridwan dan istrinya sangat membenci ku, Salsa apalagi, kau tau siapa dia, kan ?"

"Mereka sudah bersekongkol untuk menyingkirkan ku dari rumah ini, juga dari Wisnu. Mereka menciptakan keadaan seolah diantara kita berdua ada sesuatu, dan itu sudah membuat Wisnu salah paham."

"Kasihan kau, Nar.. Lalu apa yang bisa ku bantu?"

"Untuk sementara ini belum ada. Suatu saat aku pasti butuh bantuanmu." Nara memegang tangan Jaja sambil meminta maaf karena sudah terlibat dalam urusan keluarganya.

Tepat di saat itu Wisnu datang, setelah merenung sejenak di kamarnya, ia memutuskan ingin meluruskan semua yang terjadi dan bertanya langsung kepada Jaja. Tapi pemandangan di depan matanya kembali membuat darahnya bergolak.

Nara dan Jaja yang menyadari kehadiran Wisnu langsung mengurai tangan mereka.

 Wisnu tidak bisa mengontrol emosinya lagi.

Tangannya sudah terangkat hendak memukul Jaja, tapi Nara menahannya dengan merangkul tubuhnya dari belakang.

"Jangan lakukan itu, karena suatu saat kau akan menyesal karena sudah meragukan Jaja."

Perlahan tangan Wisnu melemah. Namun rahangnya masih mengeras pertanda menahan amarah yang dalam.

Jaja mohon diri dengan rasa tidak enak.

Aku hanya mengangguk padanya.

Setelah itu, Wisnu langsung masuk kembali. Aku mengekor di belakangnya. tidak kata-kata yang terucap, walau mata kami saling menatap.

Malam itu terpaksa kami tidur saling memunggungi. Ingin rasanya berbalik dan membujuk nya. Menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi ego menahanku. Biarlah masalah ini aku bicarakan besok saja.

Esok paginya, Wisnu bersiap ke kantor seperti biasa. Ia terlihat bingung menyiapkan perlengkapannya rutinitas yang sudah menjadi pekerjaanku menyulitkannya. tapi dia belum mau bicara sedikitpun padaku.

Walau dimatanya sudah tidak ada kemarahan yang seperti tadi malam.

Aku merasa kasihan juga melihatnya kebingungan seperti itu.

"Kalau kau kebingungan menyiapkan perlengkapan mu sendiri, kenapa tidak bertanya padaku?" Aku meletakkan perlengkapannya di kasur.

Wisnu membuang muka kearah lain.

Aku tersenyum sendiri melihatnya.

"Rupanya masih ada yang marah pagi ini..." ucap ku sengaja bergumam sendiri.

Saat di kamar mandi, aku sengaja berteriak kencang hingga mengagetkannya.

"Aduuuh...!"

Spontan dia berlari masuk ke kamar mandi.

"Ada apa?" tanyanya khawatir. wajahnya semakin cemas saat melihatku memegangi perut.

"Perutmu kenapa?" tanyanya dengan panik.

Aku sengaja tidak menjawab dan semakin merintih.

Tanpa bertanya lagi dia mengangkat tubuhku ketempat tidur. Aku tersenyum sendiri. lihatlah, betapa dia mengkhawatirkan diriku.

"Aku akan panggil bidan...!" ucapnya meraih ponsel.

Aku langsung menahan tangannya lalu meletakkan ponsel itu kembali.

Dia menatapku dengan bingung.

"Tidak perlu panggil siapapun!" ucapku tegas.

"Kalau perut mu kenapa-napa?"

"Perutku dan yang lainnya baik- baik saja."

Wisnu menarik nafasnya.

"Kau tidak usah bersandiwara.." ucapnya malas.

"Aku tidak sedang bersandiwara, tapi aku ingin memastikan apakah kau masih perduli padaku."

Dia menatapku heran.

"Dan aku tau pasti jawabannya."

"Apa jawabannya?" dia balik bertanya.

"Kau masih sangat perduli padaku.."

"Kalau kau tau itu, kenapa kau masih tega menyakiti ku?" dia memegang kedua tanganku.

"Rasa sakit yang kau rasakan, kau sendiri yang ciptakan. Memangnya apa yang sudah ku perbuat?" jawabku pelan.

Wisnu melengos.

"Apa perlu juga aku yang menjelaskannya?" dia melepaskan tanganku dan berbalik badan.

"Nu, kau hanya salah paham. Sebagaimana aku juga sudah salah mencurigai mu. Aku sadar, kau tidak mungkin mengkhianati ku dengan pergi bersama Salsa."

Wisnu masih terdiam.

"Ternyata memang sangat sakit di bakar rasa curiga dan cemburu." timpal ku lagi.

"Akubtidak bisa melihatmu dengan pria lain, sekalipun itu sahabatmu sendiri." ujar Wisnu.

"Kau tau kalau dia cuma sahabat buatku.

Apa sekarang kau masih curiga padaku?" aku sengaja menatap lekat matanya.

"Sedikit.." jawabnya acuh.

"Apa? sedikit..?" aku mengulang pertanyaannya. wajahnya sudah kembali cerah.

Aku sengaja menggelitik pinggangnya hingga

Kegelian. Diapun membalas perbuatanku sampai kami bergulingan di kasur.

Setelah beberapa saat...

"Kau mau berjanji padaku?" ucapnya sambil membelai rambutku.

Aku hanya mengangguk.

"Jangan pernah menduakan ku...!"

"Tidak akan pernah, kecuali..."

"Kecuali apa?" wajahnya terlihat tidak suka.

'Kecuali dengan dengan dia.." aku membawa tangannya ke perutku.

Dia menarik nafas lega.

"Yang perlu kita jaga adalah saling percaya.

Banyak orang yang tidak suka dengan keberadaan kita." aku mengingatkannya.

Wisnu mengangguk mengerti.

***

Di meja makan...

"Bersiaplah merayakan kemenangan.." ucap Rasti pada Ridwan dan Salsa.

"Jangan senang dulu, semua kemungkinan bisa saja terjadi." jawab Ridwan.

"Kali ini aku yakin mereka pasti berpisah, kalau tidak sampai berpisah, paling ngga berantem hebat lah." ucap Salsa dengan yakin.

Saat itu, mereka melihat Nara sendirian bergegas turun kemeja makan.

"Tuh..!" Rasti memberi kode pada Salsa agar bertindak.

"Mau menyiapkan sarapan untuk Wisnu, ya? Sekarang kau boleh bersantai, biar aku yang melakukannya, ya..!"

Salsa merebut piring yang ku pegang.

Aku tidak merasa kaget karena sudah menduganya.

"Belajarlah menerima kenyataan bahwa Wisnu sudah tidak sudi padamu." ucapnya lagi.

Aku mengambil piring lain dengan santai. Lalu mengisi nya dengan makanan.

Wisnu datang dan heran melihat Salsa yang menyiapkan sarapannya.

Dia langsung ikut duduk di kursinya.

"Nu, ayo sarapan lah, aku sendiri , lho yang menyiapkan nya." ucap Salsa dengan bangga. Aku hanya menyimak dan menebak gimana kira-kira reaksi Wisnu. padahal kami sudah membahasnya tadi.

"Terimakasih.. " ucap Wisnu bersemangat. Lalu menyodorkan makanan itu kembali kedepan Salsa.

"Tapi kau saja yang makan, ya!"

Salsa membuka mulutnya dengan lebar.

"Wisnu..!" teriaknya tidak suka.

"Kau punya harga diri apa tidak? aku suami Kakak mu! Dan tugas menyiapkan segala keperluanku itu adalah istri ku.!" ucap Wisnu dengan tegas.

Aku menyembunyikan senyum ku.

"Nar suapi aku. Aku sudah terlambat.." ucapnya sambil membuka mulutnya.

Dengan senang hati aku menyuapi suami tampanku itu.

 Salsa semakin marah.

Dia langsung pergi meninggalkan meja makan.

setelah mengantar Wisnu ke depan. aku menyiapkan makanan untuk ayah di kamarnya.

"Salsa berulah lagi?" tanya ayah membuatku terkejut. Ia terlihat tertekan.

"Tidak, kenapa ayah bertanya begitu?"

"Ayah dengar ribut-ribut di bawah. Ayah juga tau tabiat adikmu. Kalian besar bersama, ayah tau persis sifat -sifat kalian." ucap ayah lagi.

"Ayah tidak usah pikirkan itu. Aku juga tau bagaimana Salsa. Jadi aku juga bisa berhati-hati padanya." aku menenangkan nya.

Kesehatan ayah mulai membaik semenjak tinggal bersama kami. Selain makan nya teratur, Wisnu juga membawanya kedokter spesialis.

Tapi justru ayah yang tidak betah di tempat Wisnu. Beberapa kali dia minta di pulangkan kerumah kami yang dulu.

"Rumah itu punya banyak kenangan buat ayah. apalagi rumah itu adalah hasil keringat ayah dengan bundamu." itu yang selalu jadi alasannya.

Aku sangat maklum, tapi siapa yang menjamin dia akan baik-baik saja disana. Bu Marni jelas sudah tidak mau mengurusnya.

"Keadaan ayah sudah membaik. Ayah merasa sudah siap kembali kerumah."

suara ayah membuyarkan lamunanku.

"Tapi ayah belum sehat betul, atau.. Ada yang bicara sesuatu pada ayah, hingga ayah ingin pulang?" selidik ku.

"Tidak. Tidak ada, Nak."

Aku yakin ayah mendapat tekanan, tapi entah dari siapa.

"Kalau begitu, tunggu Wisnu pulang dulu, ya."

Aku membujuknya dengan susah payah.

Akhirnya ayah mengerti dan mau menunggu kepulangan Wisnu.

Terpopuler

Comments

Nunung

Nunung

Pasti tekanan dari om Ridwan dan Rasti di suruh pergi.,...sabar ya Nara dan Nunu ku berdoa semoga kalian kuat dan sabar ya ......see you ❤️❤️ semangat 💪 semoga sehat selalu Aamiin.

2023-11-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!