"Nu, aku mohon jangan ikut dengan mereka...!"
Aku sangat sadar dengan ucapanku yang pelan.
Tapi Wisnu langsung menatapku dengan tajam.
"Kenapa? Bagaimanapun, mereka masih keluarga kita. Siapa tau memang mereka sudah sadar dengan semua kesalahan mereka selama ini." jawab Wisnu enteng.
"Tapi, Nu..!" aku merasa Wisnu mulai termakan ucapan berbisa Om Ridwan.
"Sudahlah, kau jangan terlalu khawatir. Aku bisa jaga diri, kau lihat saja aku sekarang!" dia memperlihatkan otot tanganya yang kekar.
Kalau masalah fisik, aku akui kalau dia memang sangat gagah.
Aku terpaksa mengangguk dengan hati was-was.
"Atau kau ikut saja sekalian ." usulnya
tiba-tiba.
"Bo-leh.." aku menyetujuinya.
Malam itu suasana hati Wisnu sangat baik. Kami nonton film berdua di kamar, sangat romantis. dia meletakkan kepalanya di pangkuanku.
Sesekali dia mencium dan mengusap perutku yang memang masih rata.
"Nu, apa kau tidak mau memeriksa brankas di kamar papa?" aku teringat dengan kunci yang berikan almarhumah mama.
"Iya, ya.. aku lupa dengan brankas itu." jawab Wisnu.
"Sudahlah, kapan -kapan saja kita periksa."
Pagi sekali Tante Rasti sudah mengetuk pintu kamar kami.
"Nu, ayo buka pintunya..! Kau harus cepat bersiap." suara wanita itu benar-benar mengusik gendang telingaku. Aku hendak bangun membukakan pintu, tapi tangan Wisnu yang dalam posisi melingkar di pinggangku membuatku menahan gerakan.
Wisnu masih tertidur pulas. Dia samasekali tidak terganggu dengan suara ember Tante Rasti. tapi aku bisa mengerti, dia pasti merasa mengantuk. Bagaimana tidak? Kami terjaga sampai jam satu.
Perlahan aku singkirkan tangannya.
Saat aku membuka pintu, Tante Rasti langsung melongok kedalam.
"Lelet sekali buka pintunya, kayak keong saja.!" dia berkata sambil masuk begitu saja.
Dia mendekati Wisnu yang masih tidur.
"Nu, ayo bangun. katanya mau ke makam papa mama mu." dia mengguncang lengan Wisnu.
"Tante, biar aku yang bangunin dia. Tante tunggu di luar saja." aku mengusirnya dengan halus.
"Nara, kau tidak boleh kesal begitu, Wisnu itu keponakanku. Jadi Tante bebas kapan saja mau masuk ke kamar ini." ucapnya sambil menjentik daguku.
"Tapi aku sebagai istrinya melarang Tante Rasti berbuat begitu."
"Ini rumah Wisnu..!" jawabnya masih berkeras.
"Tapi ini adalah kamarku." suaraku semakin meninggi.
Wisnu menggeliat, ia menyipitkan matanya saat melihat ada Tante Rasti.
"Ada apa ini?"
"Ini istrimu, Tante cuma mau ngingetin kalau kita akan berangkat ke makam lebih pagi. Tapi dia malah marah dan bilang Tante tidak berhak apapun di rumah ini, dia lah yang nyonya di rumah ini."
Wisnu langsung menatapku.
Aku merasa kaget karena wanita itu sangat mengada-ada.
"Eek bukan begitu kejadiannya. Aku hanya bilang ..."
"Sudahlah kamu jangan ngeles begitu. Akui saja apa yang barusan kamu ucapkan. Tante sadar sudah banyak salah padamu, Nu. Mungkin karena itulah Nara membenci kami. hiks hiks..!"
Drama wanita itu masih berlanjut lebih jauh lagi.
Aku menatapnya tak percaya.
"Sudahlah, Tante, mungkin Nara berkata begitu karena dia sedang hamil muda. Aku minta maaf atas nama Nara.."
Aku melotot mendengar Wisnu meminta maaf atas namaku. Apa yang sudah ku perbuat?
Rasti keluar dengan ujung bibir terangkat.
"Jadi kau percaya kalau aku sudah berkata seperti yang dia adukan?" aku menatap mata Wisnu lekat.
"Nara sayang.. ini masih pagi. aku tidak mau ribut. Lagi pula aku maklum kalau kau sedang hamil, jadi emosi mu tidak terkontrol. Aku mau bersiap pergi. Kau juga, kan? Sebaiknya jangan di perpanjang." jawab nya santai sambil masuk kekamar mandi.
Aku geram sekali. Pagi ini wanita itu sudah bisa membuat perdebatan di antara kami.
Aku sudah bertekad akan ikut dengan mereka. Bagaimanapun sangat bahaya membiarkan Wisnu sendirian di antara mereka.
"Nar, aku pakai baju yang mana?"
"Sudah aku siapkan, tuh di atas kasur." salah satu kebiasaan Wisnu adalah semua perlengkapannya harus aku yang menyiapkan.
"Terima kasih.." ucapnya tersenyum. Wajahnya ceria lagi. Perdebatan tadi rupanya tidak mempengaruhinya.
Sebelum kami keluar kamar. Ia meraba perutku sejenak.
"Kau mulai terlihat gendut.." ucapnya menggodaku.
"Benarkah?" Aku yang panik karena di bilang gendut langsung saja menatap cermin.
"Iya, Nu. Pipiku terlihat lebih tembem." ucapku menyesal.
"Lalu kenapa kalau tembem? Justru aku suka melihatmu seperti sekarang.." dia merangkul ku dari belakang.
"Kau jangan bohong.. Dimana-mana biasanya pria lebih suka melihat wanita yang langsing dan tirus."
"Tapi aku, kan pria luar biasa.." jawab nya penuh percaya diri.
Aku langsung berbalik menatapnya.
"Kau memang suamiku yang luar biasa..." ucapku pelan.
Wisnu mengangkat kedua alisnya.
"Karena itu aku takut. akan banyak orang yang suka pada suamiku yang istimewa.."
"Biarkan saja orang lain suka, Yang penting, aku sukanya hanya pada istriku yang cantik dan sederhana ini." dia semakin mengeratkan pelukannya.
"Tapi..." ucapannya terpotong di iringi perubahan pada mimik wajahnya.
"Tapi apa?"
"Justru aku yang takut kalau kau akan tergoda pria lain." ucapnya ragu.
"Hah?" aku tertawa mendengarnya.
Dia mengangguk dengan wajah cemas.
"Itu tidak akan terjadi. Karena di mataku, di hatiku, dan di setiap hembusan nafasku hanya ada nama mu. Tak akan pernah tergantikan oleh apa pun dan siapa pun!"
Mendengar itu,
dia menarik nafas lega.
"Termasuk Ja- ja...?"
Aku kembali tergelak. Oh, rupanya ini alasan dia bersikap aneh kalau Jaja berada di dekat ku?
"Termasuk Jaja.." jawab ku pasti.
Dia mencium leherku dengan gemas.
"Aku merasa lega mendengarnya." ucapnya lagi.
"Jangan pernah meragukan ku, apa lagi Jaja. dia sudah seperti kakak ku sendiri."
Dia mengangguk.
Kami turun dengan berpegangan tangan. Tentu saja Om Ridwan dan Tante Rasti sangat heran melihatnya.
Mereka berharap dengan kejadian tadi bisa memisahkan aku dari suami ku. Itu tidak akan pernah terjadi. Itu janjiku dalam hati.
"Kau sangat gagah.. ponakan nya siapa dulu..?" Rasti langsung berulah. Dia melepas pegangan tangan kami dan menuntun Wisnu ke kursi nya.
"Kau sudah siap Nu? Om senang." sapa Ridwan. Tak satupun di antara mereka yang menyapaku.
Aku segera mengambilkan piring untuk Wisnu.
Mau sarapan pakai apa, Nu?" tanyaku sambil menyendok nasi.
"Sini biar Tante saja, kau kan sedang hamil. Urusan Wisnu biar Tante yang urus. kau fokus saja pada kehamilan mu."
Aku hendak protes, tapi tangan Wisnu menahan ku.
"Benar, Nara.. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada anak kita. Karena itu, turuti saja Tante Rasti.." ucap Wisnu tersenyum sambil mengelus tanganku.
Aku mendengus kesal. sekali lagi wanita itu memanfaatkan keluguan suamiku.
"Tuh, Wisnu saja perduli pada keselamatan anak mu, ups..! Maaf, maksud Tante anak kalian."
"Aku menelan ludah. Aku sangat tau arah kata-katanya. Sangat bahaya kalau Wisnu sampai terpengaruh.
"Apa maksud Tante?" ucapku tajam.
Wanita hanya terdiam.
"Kau jangan khawatir, sayang. Aku akan menjaga anak kita baik-baik. Tapi itu tidak berarti pula kalau aku akan mengabaikan mu." aku sengaja membawa tangan kiri Wisnu ke perutku.
Hal itu membuat Om Ridwan dan istrinya menahan nafas karena kesal.
"Aku percaya, kok. " Wisnu meremas jemariku. Hal itu tidak lepas dari pandangan pasangan suami istri di depan kami.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Mey Ambarita
makin aneh
2024-04-29
0
Nunung
kasihan Nara dan Wisnu moga kamu sabar ya Nara dan ...untuk Wisnu kamu jangan terlalu lugu dan percaya dengan mereka yang penuh dengan tipu muslihat iblis berwujud manusia...makasih moga sehat selalu Aamiin lopyou ❤️❤️
2023-11-17
0