Aku melihat Wisnu tidak mau sarapan pagi di meja makan, ia hanya diam melamun di dalam kamar. Mama mertua sampai lelah membujuknya.
"Biar Nara bawakan sarapannya kesini saja, Ma."
"Benar? Baiklah, siapa tau dengan mu dia lebih terbuka."
Aku kedapur mengambil makanan buat Wisnu.
Ku lihat tatapan mata Yudis yang seperti tidak suka melihatku, Aku acuhkan saja dengan pura -pura tidak melihatnya.
Aku mengunci kamar rapat-rapat.
Wisnu masih duduk termenung.
Dia meremas ujung bajunya.
Perlahan ku dekati bayi tua itu.
"Mau berteman denganku?" Aku mengulurkan tangan padanya.
Wisnu mendongak memandangku.
"iya, kita berteman, sama seperti teman-teman mu yang lain, seperti siapa namanya?" Aku sengaja memancingnya untuk bicara.
"Rivan, Tono, Andi, Haikal..." ucapnya bersemangat.
Tapi senyumnya kembali menghilang.
"Kenapa? kita, kan sudah berteman, ceritain dong apa yang membuatmu sedih..." Aku membujuknya.
"Nunu tidak suka sama Yudis, dia sudah kasar sama Nara...!" ucapnya dengan masih meremas ujung bajunya.
Aku sempat terkejut. Berarti dia ngambek karna sikap Yudis yang di anggapnya tidak sopan tadi?
"Lalu kenapa Nunu tidak membela ku tadi?" "Nunu tidak berani.." ucapnya dengan sorot mata kecewa.
"Nunu mau belajar silat biar kayak di tv itu, saja buat melindungi Nara. Juga buat melawan Yudis..!" ucapnya dengan mata berapi-api.
Aku berpikir kalau Wisnu menyimpan dendam yang membara terhadap Yudis. Mungkin saja tanpa sepengetahuan siapa pun, Yudis sering menindasnya. Kasihan!
"Kalau mau melawan Yudis, kau harus kuat, untuk membuat tubuh kita manjadi kuat, kau harus makan. Sekarang mau, kan makan?"
Iya mengangguk senang.
"Tapi Nara yang suapi, ya..! Pasti enak." ucapnya tersipu malu.
Aku hanya mengangguk dan mulai menyuapinya.
Wisnu terus memandangku sambil mengunyah makanannya.
Tiba-tiba saja tangannya menyentuh wajahku. Ia menyibak anak rambut yang menghalangi pandanganku.
"Nara, sangat cantik..!" gumamnya lirih. Suara nya tegas dan tatapan matanya, oh sangat menggetarkan jiwa. Sesaat Aku merasa dia seperti pria normal. Ia terus memandangku.
Ada gelenyar aneh yang menjalar di seluruh tubuh saat ia menyentuh wajahku.
"Sadar, Nara.. Dia hanya seorang pria yang kurang normal." aku menenangkan gejolak dalam jiwaku.
Perlahan Wisnu menurunkan tanganku yang sedang menyodorkan sendok kearah mulutnya.
Wajahku terasa menghangat, dan mungkin saja sudah memerah seperti kepiting rebus.
Wisnu sontak menarik tangannya dan tertawa menutupi mukanya. Sifat kekanak kanakannya kembali muncul.
"Nunu sudah kenyang. Sekarang Nara yang makan, Nunu yang suapin..." ia merebut piring dan sendok, lalu mulai menyodorkan suapan pertama.
Walau sempat ragu, Aku mau juga di suapi olehnya.
Aku merutuki diriku kenapa bisa nyaman bersama nya.
Saat itu pintu di ketuk, dan ternyata Bu Darmawan yang datang.
Dia terlihat senang saat melihat piring kosong di tangan Wisnu.
"Ternyata dia mau nurut sama kamu, Nara. Mama sangat bahagia."
Aku hanya tersenyum tipis.
"Oh, ya.. Mama dan papa mau pergi ada urusan. Kalian baik-baik di rumah, ya,!"
"Kalau merasa jenuh dirumah, pergi saja jalan-jalan, ada sopir yang siap mengantar."
Timpal Mama lagi.
Pak Darmawan ikut masuk dan bicara padaku.
"Nara, papa dan Mama sudah menyiapkan pesta yang meriah untuk pernikahanmu. Satu minggu lagi kita adakan di sebuah hotel, Papa mau survei lokasinya"
Pesta di hotel? Ah rasanya akan buang-buang uang saja.
"Pa, Ma.. Nara boleh berpendapat?" ujar ku memberanikan diri.
"Tentu saja, Nak. Ayo bicaralah. Ini acara untuk kalian, kalian berhak berpendapat."
"Kalau menurut Nara, tidak usah di adakan di hotel, cukup dirumah dengan syukuran sederhana saja." pak Darmawan memandang istrinya.
"Bagaimana menurut Mama?"
"Kalau itu kemauan Nara, ya ngga apa-apa."
"Tapi maaf sebelumnya, kalau papa Mama tidak berkenan dengan usulku, abaikan saja."
"Tentu kami setuju, malah Papa bangga padamu. Kau gadis sederhana yang yang tidak suka menghambur-hamburkan uang.
Ok, kita akan adakan syukuran di rumah saja."
Pak Darmawan mengusap rambutku seperti kebiasaan ayah padaku.
"Nara, ini kunci brankas yang ada di kamar kami. Kau boleh menggunakannya kapanpun kau mau." dia membisikkan kodenya. Aku terkejut, nyonya rumah ini memberikan kunci brankasnya padaku? tanganku gemetar menerimanya.
"Ini tidak perlu, Ma." Aku menolak dengan halus.
"Kau tidak boleh menolak, ini juga untuk kepentingan Wisnu. Sewaktu-waktu dia butuh sesuatu, kan tidak perlu menunggu Mama atau papa." ujarnya tersenyum.
Mereka meninggalkan aku yang yang masih berdiri tidak percaya.
Samar-samar Aku masih mendengar obrolan suami istri itu.
"Tidak salah kita memilih Nara menjadi pasangan Wisnu, dia gadis jujur, polos dan tidak mata duitan."
Aku juga mendengar kalau Tante Rasti Mamanya Yudis menghentikan langkah Mama dan papa.
"Apa tidak terlalu berlebihan secepat ini memberikan kunci brankas pada gadis itu?
Dia orang baru, lho mba.."
Aku menajamkan telinga dan beranjak ke pintu. Ku buka perlahan agar bisa mendengar dengan jelas obrolan mereka.
"Tidak, Ras. kami pikir Nara gadis yang pas menjadi pendamping Wisnu. dia jujur dan tidak ambisius." ucap Bu Darmawan.
"Itu, sih menurut kalian, tapi jangan menyesal kalau si Nara itu akan mengkhianati kita." Tante Rasti masih berusaha kukuh dengan pendapatnya.
"Kami percaya padanya. Dan seharusnya kau pun begitu." Pak Darmawan langsung meninggalkan kedua wanita itu berduaan.
"Sudah, Ras... Belajar mempercayai orang. Lain, jangan di anggap semua orang itu sama." Bu Darmawan meninggalkannya.
Wanita itu terlihat sangat kesal. Usahanya memprovokasi kakak iparnya sia-sia belaka.
Aku merebahkan tubuh ini di atas ranjang.
Memandang langit-langit kamar. Tak menyangka nasib membawaku ketempat ini.
***
Aku membuka mata ku, samar kudengar ada keributan di bawah, bahkan ada yang menangis histeris.
Gegas ku Cepol rambutku dan membuka pintu. aku tak melihat keberadaan Wisnu di kamar.
"Tuan, nyonya....!" rintih beberapa asisten rumah tangga sambil menangis.
Dadaku berdegup kencang. apa gerangan yang terjadi?
"Maaf, Bik bisa jelaskan apa yang terjadi?" tanya ku pada salah seorang pelayan.
"Tuan dan nyonya kecelakaan.. Mereka di rumah sakit sekarang." Isak si Bibi.
Aku terhenyak, bagaimana keadaan kedua mertuaku?
Aku mencari keberadaan Wisnu. Namun tidak ku temukan.
"Bik, lihat tuan muda?"
"Tuan muda sangat sedih, Non. Dia sedang menangis di kamar nyonya. dia juga sedih karna tuan Ridwan dan istri tidak membolehkan dia ikut melihat papa mamanya."
Aku berlari kekamar mertua.
Disana, Wisnu sedang menangis sendirian sambil memeluk bingkai photo orang tuanya.
"Om dan Tante tidak mengajak ku kerumah sakit, katanya anak kecil tidak boleh ikut..." ia mengadu dengan sedihnya.
Aku terenyuh. Melihatnya, mengingatkan diriku pada kejadian beberapa tahun silam saat Ibu meninggalkanku.
"Ayo bersiap, kita kerumah sakit?" ucapku tegas.
Wisnu langsung berteriak dan memelukku erat.
"Nara mau mengajak aku menengok Mama..." ucapnya kegirangan.
Aku mengambil sebuah kunci mobil. walaupun ada sopir, aku memilih menyetir sendiri. Aku sangat bersyukur pernah belajar nyetir dari temanku.
Wisnu duduk diam di sampingku. Wajahnya terlihat sangat cemas.
Aku coba memegang sebelah tangannya,
"Jangan khawatir, papa dan Mama akan baik-baik saja." ia hanya terdiam.
"Kata-kata Yudis tidak benar, kan? dia bilang papa dan mama akan meninggal, Nunu akan sendirian." ucapnya kembali tersedu.
Dasar, benalu itu mau menambah rusak mentalnya Wisnu, apa maksudnya dengan bilang papa dan mama meninggal?
"Itu tidak benar, tapi Nunu, kan masih punya Nara, Nara yang akan melindungi Mu." jawabku santai. entah kenapa aku merasa mulai nyaman mengobrol dengannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Nunung
Pasti kecelakaan bapak dan ibu Darmawan atas kelakuan ya keluarga Yudis , om Ridwan karena rakus akan hartanya keluarga Wisnu ...sabar ya Nara juga Nunu semoga cepat sehat ayah dan ibu Darmawan.... oke Thor makasih moga selalu sehat Aamiin...see you ❤️❤️ , makasih untuk upnya jangan lama lama Thor
2023-09-13
0