Seusai puas berenang, Reina naik ke permukaan, lalu memunguti pakaiannya yang berserakan di bawah lantai dengan kondisi tubuh yang basah, serta tetesan air mengucur menggenangi lantai di tepi kolam tersebut.
Ia melangkah dengan santai, seakan lupa jika di ruangan itu terpasang kamera pengintai, terlebih Richie tengah berdiri mengawasinya juga.
Tiba-tiba ia terhenyak ketika menyadari kehadiran Richie saat itu, bahkan ia tak membalut tubuhnya dengan handuk.
"Astaga Pak Richie, sejak kapan dia ada disana," batin Reina dengan kedua pipi yang memerah sambil menundukan padangan dan berusaha menutupi ranah sensitifnya menggunakan kedua tangan.
Richie langsung menyodorkan handuk untuknya. "Nih!"
Reina dengan cepat meraih handuk tersebut, kemudian ia lilitkan di tubuhnya yang sedari tadi hanya mengenakan sepasang dalaman saja.
"Te...terimakasih, Pak," ucapnya dengan suara yang rendah, Richie hanya mengangguk dengan wajah datar, tetapi ia kaget ketika menatap goresan luka yang sedikit menganga di pipi kanan Reina.
"Ada apa dengan mukamu?" tanya Richie, ia berusaha menyentuh permukaan kulitnya yang terluka akibat cakaran salah satu temannya di sekolah.
"Emm...ini hanya cakaran kucing Pak," kilahnya, ia tak berani mengatakan yang sesungguhnya, tetapi Richi sebagai orang yang pandai menganalisa ekspresi, ia bisa membaca kebohongan di raut wajah gadis itu dari kedua sorot matanya.
"Jangan berbohong! cepat katakan yang sejujurnya, apa yang sudah terjadi padamu?!" Richie berbicara dengan tegas, membuat Reina tertunduk.
"Saya akan berbicara, tetapi izinkan saya untuk mandi dan berpakaian terlebih dulu," izinnya, akan tetapi kedua mata sipit itu terus menyorotinya tanpa ampun.
"Katakan dulu padaku!" desaknya, membuat Reina tak mampu berkutik barang sedikitpun.
"Baiklah," kata Reina, ia mencoba menghela napas panjang sebelum mengatakannya.
"Se...sebenarnya ini adalah perbuatan teman-teman saya, Pak," lanjutnya dengan gugup, hal itu membuat Richie langsung membelalakan kedua mata, terlihat rahangnya yang tegas.
"Ini tak bisa di biarkan! Lalu, kenapa kau tak melawan perbuatan mereka?!" Richie seakan tak terima, ia mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu, kemudian menyentuh kembali goresan luka itu di pipi Reina.
"Saya hanya sendirian Pak, sementara mereka ber 5," jawab Reina dengan tubuh yang gemetar dan kedua mata yang berkaca-kaca.
"Besok saya akan mengantarkanmu, dan saya akan berbicara kepada kepala sekolahmu!" Richie bertekad, ia tak ingin masalah bully ini terus berlangsung lama, karena itu adalah tindakan yang tak bisa di toleransi.
"Jangan Pak, saya mohon, ini hanyalah masalah kecil, saya bisa mengatasinya sendiri." Reina berlutut di hadapannya, ia takut menghadapi masalah yang lebih besar jika berurusan dengan Fara cs.
Richie berjongkok, kemudian meraih tangan Reina, hingga gadis itu kembali bangkit dan berdiri dari berlututnya.
"Kau tak usah takut, saya tak akan membiarkanmu menghadapi masalah ini sendirian, saya tak ingin kau di injak-injak oleh teman-temanmu. Apapun alasannya, tidakan mereka tak bisa di biarkan!" Richie mencoba merasakan apa yang tengah di rasakan Reina saat ini.
Gadis itu tak bisa menolak ucapannya, ia mengangguk sambil terisak, membuat Richie tak tega melihatnya. Ia mencoba menghapus air mata yang mengalir di kedua pipi gadis itu.
Entah ada dorongan apa, Richie semakin terpesona saat menatap kepolosan yang ada pada diri Reina. Meski begitu, Reina terlihat begitu manis mampu menggetarkan hati Richie yang tak pernah merasakan jalinan asmara seumur hidupnya.
Richie meraih lembut dagunya, kemudian mendekatkan tepi bibirnya dengan bibir ranum milik Reina.
Reina merasakan hembusan napas Richie dari jarak yang begitu dekat, ia reflek memejamkan kedua matanya, ketika sentuhan hangat nan lembut mencapai tepi bibirnya secara perlahan.
Richie berhasil mencuri ciuman pertamanya, dan hal itu juga merupakan yang pertama baginya.
Seakan itu belum cukup, Richie terus menggerakan dan memainkan bibirnya selama beberapa detik, sementara Reina terus memegangi lilitan handuk di tubuhnya supaya tak terlepas.
Richie terus melancarkan serangan yang semakin mendebarkan, ia melakukan dengan gerakan lembut untuk pertama kali sebagai seseorang yang belum pernah berpengalaman dalam bermain cinta.
Tak ingin terbuai semakin jauh kedalam pusaran permainan cintanya, Reina dengan cepat segera menghentikan aksi pria itu.
Reina mendorong tubuh Richie secara kasar, karena Richie tampaknya semakin liar dan bernaf-su.
"Maafkan saya," ucap Richie ketika ia tersadar akan perbuatanya yang semakin hilang kendali, sementara Reina yang terlihat kikuk langsung mengusap tepi bibir menggunakan punggung tangan.
"Se...sebaiknya jangan lakukan lagi." Reina tertunduk di hadapannya dengan wajah yang tampak memerah.
"Ah, sudahlah, sebaiknya kau segera mandi, dan pakai pakaianmu!" perintahnya mencoba mengalihkan ucapan Reina yang menyatakan keberatan atas perbuatannya.
Reina mengangguk dengan cepat, kemudian melangkah ke arah kamar mandi.
Ia tak bisa melupakan momen yang baru saja terjadi, ia terus menyentuh tepi bibirnya sendiri.
Begitu juga dengan Richie, ia merasa tak habis pikir, mengapa dirinya bisa terbuai dan menikmati saat kedua bibir mereka saling bersentuhan.
"Ini baru pertama kali, tetapi sepertinya akan menjadi candu bagiku." Richie melempar seringainya, ia baru menyadari ternyata ucapan kawan-kawannya benar-benar sudah berhasil mempengaruhi pikirannya.
Richie tak menyesal sedikitpun, bahkan adegan itu terus menari-nari dalam benaknya.
"Rasanya enak sekali, ingin aku mengulanginya kembali," batin Richie, seketika seringai terbit di sudut bibirnya.
Sedangkan berbeda dengan apa yang Reina rasakan, ia merasa begitu bersalah pada dirinya sendiri, karena ia merasa sudah membiarkan Richie merenggut ciuman pertamanya, padahal ia dan Richie tak memiliki hubungan khusus.
"Bibirku sudah ternoda olehnya," Reina terisak sambil membasahi tubuhnya di bawah rintikan air yang keluar dari shower.
Beberapa saat kemudian, Reina segera berpakaian, tetapi rambutnya ia biarkan basah dan mengering dengan sendirinya meskipun di atas meja rias sudah tersedia alat pengering rambut.
"Reina..." seru Richie dari luar kamar.
"Ya Pak," sahutnya yang masih bersolek.
"Saya sudah masak untuk makan siang kita," teriak Richie kembali, dengan cepat, Reina langsung membuka daun pintunya, dan sepasang mata itu kembali bertatapan.
Reina melayangkan senyuman yang begitu manis, membuat Richie semakin terpikat, kemudian Reina mencoba mengalihkan pandangan sambil memainkan ponsel.
"Ayo!" reflek Richie menggenggam tangannya, kemudian mengajak Reina ke ruang makan.
Tercium aroma masakan yang menggugah selera, sehingga perut Reina semakin keroncongan dibuatnya.
"Bapak masak untuk saya?" tanya Reina dengan perasaan yang semakin tak karuan.
"Ya," jawabnya, lalu Richie menggeser kursi untuk di duduki oleh gadis cantik itu, membuat Reina semakin gugup sejadi-jadinya.
"Seharusnya saya yang melayani Bapak, bukan malah sebaliknya," ujarnya, ia merasa heran karena mendapat perlakuan special dari sang Boss untuk yang kesekian kalinya.
"Sudahlah jangan banyak mengoceh! Silahkan duduk!" kata Richie mempersilahkan, sementara ia duduk di seberangnya.
Reina menatap hidangan yang sudah di plating sedemikan rupa di atas piring.
"Cantik sekali tampilannya, Pak," kata Reina dengan kagum, karena hidangan yang di sajikan oleh Richie seperti makanan di restoran berbintang.
"Ayo, kau cicipi hasil masakan saya," titahnya, Reina mengangguk, lalu memasukan satu suapan kedalam mulutnya.
"Bagaimana?" Richie menatap lekat pemilik wajah manis itu ketika mengunyah makanan, dan Reina tersenyum sambil memberikan jempol kepada Richie.
"Ini sih enak sekali," pujinya dengan jujur membuat Richie tersenyum senang.
"Kau suka?" tanya Richie untuk memastikan, dan Reina mengangguk untuk meyakinkan.
Disaat ia tengah menikmati hidangan lezat itu, tiba-tiba ia terpaku dengan kedua sorot mata yang terlihat kosong menatap lurus ke depan.
"Kau kenapa?" tanya Richie heran, seketika menyadarkan Reina dari lamunan.
"Eh, Ehmm...tidak apa-apa kok," jawabnya gugup, dan Richie terus menatap dengan tajam.
"Katakan, kau kenapa?!" Richie menggebrak meja membuat Reina kembali terhenyak.
"Sa...saya, saya hanya sedang teringat kepada kedua orang tua dan adik saya Pak, karena mereka tak bisa menikmati makanan seenak ini, sementara Ayah saya saat ini sedang sakit keras, dan harus melakukan cuci darah tiap bulan." Reina tak kuasa menahan tangis, hingga ia melupakan rasa makanan yang masih tersisa di atas piring.
Richie beranjak dari duduk, saat melihat Reina terisak ia menjadi tak selera menyantap hidangan makan siangnya juga.
Kini ia berdiri di sisi Reina yang tengah terduduk, lalu melingkarkan tangannya di bahu gadis malang itu.
"Tenanglah, saat ini kau punya saya," kata Richie, Reina langsung menengadahkan wajahnya keatas, ia terheran-heran, karena tak paham arti dari ucapan pria itu.
Bahkan secara tak langsung, Richie sebenarnya telah mengikat Reina dalam sebuah hubungan, hanya saja Richie terlalu gengsi jika mengungkapnya secara terang-terangan, hingga ia hanya memberi kode-kode ucapan yang tak di mengerti sama sekali oleh Reina.
"Kau tak usah pikirkan soal biaya pengobatan Ayahmu, semua itu sudah mutlak menjadi urusan saya, tugasmu kali ini hanya belajar sebaik-baiknya." Richie tersenyum padanya dengan wajah yang begitu menenangkan dan bersahaja.
"Ta...tapi, saya merasa tak enak karena sudah banyak merepotkan Bapak," ujar Reina tanpa berani menatap wajahnya lagi.
"Dasar bocah tak peka!" batin Richie sambil melempar seringainya.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments