Richie masih merasa heran dengan semua ini, sungguh tak pernah terpikir sebelumnya jika ia bisa bertemu kembali dengan gadis itu. Sampai-sampai ia datang ke ruangan Wilson untuk meminta CV milik Reina.
"Kenapa Pak? Apakah ada masalah dengan Office Girl baru yang bernama Reina?" tanya Wilson heran karena Richie hanya membawa 1 CV saja dan itu milik Reina.
"Tidak ada, sudahlah, kau tak usah banyak bertanya!" jawab Richie ketus, dan Wilson mengangguk.
"Ya, baiklah,"
Richie kembali ke ruangannya dengan segera. Setelah tiba, ia mulai membuka amplop CV itu, kemudian membaca data diri Reina dan lain sebagainya.
"Kasihan juga dia, masih sekolah harus bekerja. Tapi...untuk apa juga aku harus mengasihaninya!" Richie menyimpulkan sudut bibir dan merutuki kebodohannya sendiri.
"Lalu, untuk apa juga aku harus membaca data diri Reina, kok aku mendadak bodoh begini sih, Ah!" Richie menyimpan kembali CV yang sudah di buka itu di atas meja, kemudian ia melanjutkan pekerjannya kembali.
Entah mengapa, tatapan mata Reina selalu menari-nari dalam ingatan, sehingga membuat dirinya mendadak susah berkonsentrasi saat bekerja.
"Ah, sial! Enyahlah dari pikiranku!" pekiknya, ia terus berusaha menepis bayang-bayang itu karena hanya mengganggu konsentrasinya.
Sementara, Reina saat ini tengah mengumpulkan dan mengantongi sampah kedalam polybag hitam, biarpun rasa lelah dan lemas menyerang, tetapi tekadnya kuat untuk melakukan tugasnya dengan baik.
"Ada yang kelupaan! Sampah di ruangan Boss belum kau ambil!" Romlah mengingatkan dengan nada yang tak mengenakan.
"Ambil gih!" lanjutnya memerintah kepada Reina, sementara ia hanya ingin melakukan pekerjaan yang lebih mudah.
"Baiklah Mbak," jawab Reina, ia terpaksa kembali ke ruangan Richie.
Saat sampai di depan pintu, ia mengetuk terlebih dulu.
"Masuk!" sahut Richie dari dalam, lalu Reina membuka handle pintu, kehadirannya membuat perhatian Richie yang tengah menatap layar monitor itu kembali teralihkan. Richie membelalakan kedua mata, tak dapat di pungkiri, ia memang terpesona kepada gadis remaja itu. Namun, ia selalu menepis perasaanya sendiri, dan mengedepankan rasa gengsi.
"Maaf Pak, saya mau ambil sampah." Reina menunduk tanpa berani menatap wajah Richie.
"Ya, silahkan! Tempat sampahnya ada di pojok!" Richie menunjuk letak tempat sampahnya menggunakan jarinya, kemudian Reina segera mengambil, lalu memasukan sampah-sampah yang di dominasi beberapa kertas dan puntung rokok.
"Reina..." seru Richie, gadis itu langsung menoleh dengan cepat.
"Ya Pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Reina dengan hati yang berdebar.
"Umh..tidak, saya hanya memanggil saja. Benar kan, namamu Reina Revina?" Richie balik bertanya sambil memperhatikannya, meskipun dengan wajah datar, tetapi sorot matanya begitu hangat.
"Iya Pak betul, nama lengkap saya, Reina Revina," jawab Reina dengan suara yang rendah sambil tersenyum.
"Ya sudah! kerja yang benar!" Richie kembali berfokus dengan layar monitornya, dan Reina mengangguk.
"Iya Pak, mari..." pamit Reina sambil menggusur polybag hitam itu keluar.
Richie diam-diam memperhatikan punggung Reina saat berjalan membelakangi, tetapi dengan cepat ia segera membalikan wajah kearah lain saat gadis itu menoleh.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, Reina kembali ke pantry.
"Cuci tuh gelas-gelas!" titah Romlah, ia selalu mencuri kesempatan jika Anisa tak mengawasi, ia selalu memanfaatkan Reina. Sementara, sedari tadi ia tak terlalu kepayahan mengerjakan tugas-tugasnya.
"Baiklah Mbak," kata Reina, ia segera mencuci semua gelas di atas wastafel, ia melakukannya dengan cekatan dan penuh dengan kehati-hatian.
Sementara, Romlah saat itu sedang mengangkat telpon dari seorang karyawan yang hendak memesan minuman.
Tak beberapa lama, ia menutup kembali gagang telpon itu.
"Reina, kau buatkan kopi untuk Pak Samuel, katanya dia ingin kau yang mengantarnya! Cepat!" perintah Romlah ketus, lagi dan lagi dengan nada yang tak mengenakan.
"Baik Mbak," balas Reina dengan suara yang lemah, ia sudah merasakan pening di kepalanya karena belum makan siang.
Reina segera membuatkan kopi yang di pesankan oleh Samuel, kemudian ia hendak mengantarkan ke mejanya.
"Hati-hati bawanya!" kata Romlah sambil mendelik, dan Reina mengangguk.
Reina berjalan dengan langkah yang pelan, ia menguat-nguatkan dirinya sendiri.
"Permisi...Pak ini kopinya." Reina menaruh nampan, lalu meletakan cangkir kopi itu di atas meja Samuel.
"Terimakasih banyak ya, Reina," ucap Samuel, kemudian ia mengempalkan uang sebesar 3 ratus ribu ke tangan Reina.
"Ini, ambil!" kata Samuel, Reina sedikit menepis dengan perasaan tak enak.
"Ti..tidak usah Pak," tolak Reina, tetapi Samuel sedikit memaksa.
"Sudah, tidak apa-apa, ini untuk kau membeli makanan," bisik Samuel sambil meletakan uang itu ke telapak tangan Reina.
"Kalau begitu, terimakasih banyak Pak," ucap Reina sambil tersenyum.
"Nanti pulangnya saya tunggu ya," kata Samuel, hal itu membuat Reina bingung dan tak enak untuk menolak.
"I...iya Pak," balas Reina dengan ragu, kemudian ia berlalu dari hadapan Samuel sambil membawa nampan kosong.
"Reina, ayo kita istirahat dulu!" ajak Anisa, dan Reina mengangguk, Anisa tampak memperhatikan wajah gadis itu dan ia merasa sangat khawatir.
"Wajahmu pucat, apa kau sakit?"
"Hanya pusing sedikit kok," jawab Reina, lalu Anisa mengajaknya ke kantin untuk mengisi perut.
Saat berjalan menelusuri koridor, mereka kembali bertemu dengan Richie yang saat itu baru keluar dari ruangan lain.
"Pak," sapa Anisa, dan Richie melayangkan senyuman tipis dengan wajah datar.
Tak beberapa lama, mereka tiba di kantin, kemudian memesan makanan dan minuman.
Sambil menunggu, mereka mengobrol, Anisa penasaran kenapa Reina bisa di beri uang cuma-cuma oleh sang Boss.
Lalu Reina menceritakan, tetapi ia berusaha menutupi hal memalukan yang sudah ia lakukan kepada Richie, yakni mencopet dompetnya saat bertemu di mall.
"Ternyata Pak Richie baik juga," batin Anisa, karena selama ini sang Boss selalu bersikap dingin dan kasar, tetapi kali ini menunjukan sisi baiknya, sehingga Anisa sedikit merasa heran.
"Begitulah awal ceritanya, Bu," kata Reina, dan Anisa hanya bisa manggut-manggut.
"Ya baguslah, kau jangan bilang sama orang-orang, nanti mereka iri padamu." Anisa mencoba memperingatkan, karena ia ingin melindungi Reina, Nisa sudah menganggap Reina seperti adiknya sendiri meskipun mereka baru bertemu.
Singkat cerita...
Saat jam pulang kantor Samuel masih berada di pos Security, hal itu membuat Richie keheranan.
"Ngapain kau disitu?" tanya Richie, dan Samuel tersenyum.
"Saya sedang menunggu seseorang Pak," jawab Samuel sedikit malu-malu, Richie penasaran.
"Siapa?"
"Ehmm...anu..." kata Samuel tersipu hingga tak berani mengatakan nama seseorang itu.
"Anu? siapa Anu?" tanya Richie, mendengar kalimat itu Samuel dan satu orang Security terkekeh.
"Memangnya ada karyawati yang bernama Anu?" tanya Richie dengan sedikit gurauan.
"Ya ada deh pokoknya," jawab Samuel, ia enggan memberi tahu sang Boss, membuat Richie memutar kedua matanya jengah.
"Ah, terserah deh!" Richie melengos, tetapi sedikitnya ia merasa penasaran. Hingga seseorang yang di nantikan Samuel keluar dari gedung kantor bersama Anisa, siapa lagi kalau bukan Reina.
Gadis itu melihat mobil milik Samuel yang menepi di pos Security, membuat ia malas untuk mendekat. Namun, ia tak bisa menolak.
Anisa menyenggol pelan bahu Reina.
"Tuh, kau sudah di tunggu sama Ayang Samuel," canda Anisa, dan Reina langsung menyunggingkan sudut bibirnya malas.
"Ah, Bu Nisa bisa aja," ucap Reina, dan Anisa terkekeh.
Dari kejauhan, saat hendak pulang, Richie diam-diam memperhatikan Reina.
Samuel bergegas menghampiri gadis itu, lalu menawarkan tumpangan, membuat Richie tak memalingkan pandangan walau sedikitpun, ia akhirnya memperhatikan mereka.
"Reina, ayo!" ajak Samuel, ia sudah membukakan pintu mobil untuk Reina, dan gadis itu mengangguk ragu.
"Astaga, untuk apa juga aku perhatiin mereka?" Richie menepuk kening dan merutuki kebodohannya.
hingga akhirnya, ia memutuskan untuk segera pulang.
"Ah, persetan!" gumamnya mengumpat tak jelas.
Pria itu bergegas menuju laman parkiran, lalu menaiki mobil sportnya, sesekali ia melirik kearah mobil Samuel, kemudian segera menyusul seperti tak ingin kalah.
Mobil Richie mendahului, kemudian mengebut, ia berniat pulang ke unit apartemennya.
"Aku malas pulang ke rumah!" gumamnya, karena sang Ibu pasti selalu mengoceh, dan mengganggu konsentrasinya, sehingga Richie menghindari itu semua.
Ia tak ingin sampai berdebat dengan Ibunya yang terus menerus menanyakan soal pacar, hal itu membuatnya muak. Namun, ia masih tak habis pikir.
"Kenapa bisa kebetulan begitu ya? kemarin kan aku sempat bermimpi tentang dia, eh tahu-tahu dia bekerja di perusahaanku, ini aneh, benar-benar suatu keanehan!" ucapnya membatin sambil senyum-senyum.
"Tampangnya memang sangat polos. Namun, tetap saja dia memiliki jejak buruk dalam ingatanku! Aku tak akan mudah percaya begitu saja dengan ucapannya, bisa saja kepolosan dia hanya manipulasi, aku musti hati-hati mempekerjakan dia!" sambungnya bergumam dalam hati, seketika ia menjadi ragu karena teringat bagaimana aksi Reina saat mencopet dompet miliknya.
"Kalau dipikir-pikir sih, waktu dia melakukannya terkesan kurang rapih, itu menandakan kalau dia memang tak berpengalaman melakukan itu. Untung targetnya aku, coba kalau orang lain, bisa habis tuh dia di keroyok masa. Hmmm...kasihan juga sih." Richie mencoba merenungi kembali. Namun, lagi-lagi ia kembali tersadarkan dan mencoba untuk tak memikirkan Reina.
"Ah, lagian ngapain juga aku terus-terusan memikirkan dia, tak penting sekali!" Richie kali ini mencoba berkonsentrasi memikirkan kemajuan untuk perusahaannya yang bergerak di bidang fashion.
Berkat kerja kerasnya selama ini, bisnis yang asalnya hanya home industri, kini menjadi perusahaan besar yang bekerja sama dengan perusahaan asal Tiongkok. Pemasarannya sudah terkenal di seluruh kawasan Asia, dan ia akan terus memperkenalkan hasil rancangannya ke seluruh dunia.
"Sejauh ini, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Aku percaya, kerja keras tak akan mengkhianati hasil, itulah sebabnya aku mengesampingkan urusan asmara dan semua kesenanganku, karena aku ingin menjadi pengusaha sukses di usia muda, mengikuti jejak Papa." Richie selalu menerapkan prinsip sukses dalam hidupnya, karena hidup butuh perjuangan, meski begitu ia abai akan kondisi kesehatannya, jika bukan sang Ibu yang selalu mengingatkan, dia mungkin tak peduli akan hal itu.
...
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments