Dengan perasaan gugup, Reina memberanikan diri untuk menemui sang Bos di ruangannya. Reina mengetuk pintu itu, jantungnya berdegup kencang, keringat menitik di keningnya, dengan jemari yang gemetar hebat. Perasaan ragu berkecamuk dalam batin. Reina menghela nafas berkali-kali sambil memejamkan kedua mata.
"Permisi," serunya dengan suara yang lirih.
"Masuk!" Suara bariton menyahuti dari dalam, dengan was-was, Reina meraih handle pintu, lalu menggerakannya ke bawah.
"Selamat siang, Pak," sapa Reina dengan suara yang rendah, Richie menghentikan aktifitasnya sejenak, kini pandangannya teralihkan pada gadis berparas manis yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Ya, ada apa?" tanya Richie dengan wajah datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ada sesuatu lain terhadap Reina.
"Ehmm..." Reina ragu untuk mengatakan apa keperluannya kepada Richie, sehingga wajahnya terlihat pucat pasi.
"Ayo kemari! kenapa kau hanya berdiri di depan pintu?" Richie melambaikan tangannya, Reina melangkah pelan, lalu ia duduk berhadapan di meja kebesaran Richie.
"Ehmm...jadi begini Pak..." lagi dan lagi Reina ragu dan gugup, ia sampai tak berani menatap kedua mata Richie. Namun, pria itu menatap intens kearahnya, karena Richie penasaran dengan tujuan Reina saat ini.
"Ya, ada apa? katakan saja! Kau tak perlu gugup di hadapan saya!" kata Richie dengan suara yang lantang dan berkarisma.
Reina menelan ludah berkali-kali, ia tiba-tiba merasakan pening di kepalanya karena grogi.
"Sa...sa..saya...saya mau kasbon, Pak," ucap Reina tergagap, ia langsung membuang muka karena malu, sedangkan Richi masih menatapnya.
"Kasbon?" Richie mengangkat satu halisnya keatas, dan Reina mengangguk pelan dengan perasaan campur aduk di hadapan Richie saat ini.
"Masih baru sudah berani kasbon!" batin Richie sambil memutar kedua matanya jengah karena gengsinya yang terlalu tinggi. Namun, di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa iba pada Reina.
"I..iya Pak, saya mau kasbon, saya sedang butuh uang banyak." Reina mengiba di hadapan Richie. Walau bagaimanapun juga, ia harus membuang rasa malu karena dirinya benar-benar sangat membutuhkan biaya saat ini.
"Kau butuh berapa? dan apa alasannya?" tanya Richie penasaran. Dengan rasa ragu, Reina memberanikan diri menceritkan semua permasalahan dalam kehidupannya.
"Jadi, tolong bantulah saya Pak, saya rela melakukan apa saja untuk Bapak, bahkan saya rela menukar harga diri saya." tanpa rasa malu, Reina mengatakan semua itu. Richie menggeleng seakan tak percaya dengan ucapannya.
"Astaga! Perempuan macam apa kau, yang rela menukar harga dirimu demi uang!" Richie beranjak dari posisinya, dan ia terus menyoroti wajah yang tak berdaya itu dengan seksama.
"Saya mohon Pak." Reina bersimpuh di hadapan Richie, membuat pria itu menghela napas panjangnya berkali-kali.
"Baiklah, kau butuh berapa?"
"Saya butuh 100 juta, Pak," jawab Reina tanpa harus basa basi lagi.
"100 juta?" Richie kembali bertanya untuk memastikan kembali, dan Reina mengangguk dengan gerakan yang lemah.
Richie melangkah keluar dari area meja kerjanya, kini ia berdiri tepat di hadapan Reina yang masih duduk.
Pria itu berkaca pinggang sembari terus menyoroti wajah Reina yang semakin tak berdaya.
Nyali Reina seketika menciut, ia tampak kikuk di pandangi terus menerus oleh Richie saat ini.
"Berdiri!" perintahnya, dan Reina langsung beranjak dan berdiri dengan tegap.
Richie menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, Reina mendapat tatapan intimindasi, membuatnya semakin tak aman.
Richie meraih dagu Reina dengan jari telunjuk, kemudian menyoroti kedua manik indah yang kembali berkaca-kaca.
Reina menatap nanar pemilik wajah tampan itu.
Richie tertegun beberapa saat, dan seringai terbit di sudut bibirnya.
"Yakin kau akan menukar harga dirimu dengan uang yang tak seberapa?" Richie berbisik, dan Reina menganggukan kepalanya lemah.
"I..iya, Pak," jawab Reina lirih.
Baru kali ini Richie merasakan getaran yang berbeda dalam hatinya, setelah sekian lama ia tak pernah tergugah ketika perempuan-perempuan berparas rupawan dan bertubuh aduhai silih berganti berusaha menaklukan hatinya, ia tak pernah sedikitpun terpikat pada pesona mereka. Namun, kali ini ada yang berbeda, ia tak mengerti dengan perasaanya sendiri.
"Kau ini jangan sok polos! Saya tak akan pernah bisa terbodohi dengan tipu muslihatmu itu!" bisiknya kembali, Reina sama sekali tak mengerti dengan apa yang di katakan oleh Richie kepadanya.
"Apa maksud Bapak?" Reina dibuat bingung.
"Mana ada perempuan baik-baik yang rela mengobral tubuhnya demi nominal uang yang tak seberapa, semurah itukah harga dirimu, Reina?!" Richie seakan mengecilkannya, Reina menggeleng karena merasa tak memiliki cara lain.
"Kau pikir, saya ini pria berengsek yang suka bermain dengan wanita?!"
"Bu...bukan itu maksud saya Pak, Anda salah paham," kilah Reina, sebenarnya ucapannya hanya kiasan, ia tak benar-benar ikhlas menukar kesuciannya demi uang. Ia berkata seperti itu hanya pemancing, supaya Richie mau memberikan pinjaman untuknya, tetapi Richie salah menanggapi ucapan Reina.
"Lantas apa?" Richie mulai jengah, karena Reina terlalu berbelit-belit.
"Kau mau apa tidak?!" lanjutnya bertanya, kali ini dengan penekanan di setiap kalimatnya.
Reina mengangguk ragu, ia benar-benar sedang kepepet dan tak bisa lagi berpikir dengan matang, ia tak peduli meski Richie sudah salah mengartikan ucapannya, ia benar-benar tak peduli.
"Iya Pak, saya mau," jawab Reina.
Richie kini memandang Reina sedikit aneh, kedua matanya tertuju pada dua buah bukit kembar Reina yang terlihat masih sangat ranum, belum tersentuh oleh siapapun.
Reina memiliki bentuk tubuh yang ramping, tetapi tampak berisi di bagian tertentu, membuat daya tarik tersendiri bagi siapapun yang memandangnya. Selain itu, ia juga di anugrahi paras ayu, dan menarik, tak bosan untuk di lirik. Tetapi semua itu berbanding terbalik dengan nasib kehidupannya yang carut marut.
Reina kembali membuang muka sambil meneguk salivanya dalam-dalam.
Richie merasa pikirannya berubah liar ketika itu, apa lagi Reina terlihat begitu manis meski wajahnya tak di poles dengan make-up.
"Apa kau masih asli?" tanya Richie yang secara tiba-tiba, Reina hanya bisa melongo karena tak paham dengan maksud perkataanya itu.
"Hah???" Reina kali ini mendongakan wajahnya keatas sambil memperhatikan raut wajah sang Boss yang berdiri di hadapannya.
"Saya tanya sekali lagi, memangnya kau masih asli, ehmm...maksud saya, kau belum pernah..." Richie memangkas ucapannya sendiri, karena dengan cepat Reina menggeleng.
"Belum pernah Pak," jawab Reina, hal itu membuat Richie terkekeh, karena ia belum selesai berbicara.
"Kau memangnya mengerti saya menanyakan apa?" tanya Richie kembali sambil mendekatkan wajahnya dengan wajah Reina yang tengah gugup.
"Saya masih virgin Pak," jawab Reina to the point, ia sebenarnya malu mengungkapkan semua itu.
"Heh, kau pikir saya se-berengsek itu?! Kau pikir saya sudi mencicipi tu-buhmu? Kau tenang saja, saya akan memberikanmu pinjaman, dan saya sama sekali tidak akan pernah tergiur dengan tubuhmu." kilah Richie yang tampak munafik. Ia kembali ke meja kebesarannya, lalu ia meraih kertas cek dan menulis nominal sesuai yang di inginkan oleh Reina.
"Ini!" Richie menyodorkan cek uang itu, Reina meraihnya dengan kedua tangan yang bergetar.
"Te..terimakasih Pak," ucapnya dengan rasa haru, dan Richie mengangguk.
"Ya sudah, tidak ada keperluan lain lagi kan?" Richie kembali fokus dengan pekerjaannya, dan Reina segera beranjak dengan hati yang lega.
Namun, ia juga memikirkan bagaimana caranya mencicil uang hasil kasbon tersebut kedepannya.
Reina merasa bingung, tetapi ia mencoba menepis semua itu, yang terpenting saat ini ia bisa melunasi hutang-hutang kedua orang tuanya, termasuk menabung untuk biaya adiknya sekolah tahun depan.
Reina kembali berpapasan dengan Samuel, pria itu tersenyum padanya.
"Kau dari mana saja? kok baru kelihatan?" tanya Samuel.
"Saya barusan ada perlu dengan Pak Richie," jawabnya, dan Samuel mengangguk.
"Nanti kita makan siang bareng di kantin, saya yang akan tlaktir, kau jangan tolak, oke!" Samuel mengedipkan satu matanya, dan Reina mengangguk dengan terpaksa.
Sebenarnya ia tak ingin terlalu intens dan dekat dengan Samuel, karena ia takut jika pria itu memiliki perasaan yang lebih terhadapnya. Sementara Reina, sama sekali tak ada hati terhadap Samuel.
"Dia memang baik, tapi..." batin Reina, tiba-tiba Anisa menepuk pundaknya.
"Rein, bagaimana? Pak Richie kasih apa tidak?" tanya Anisa penasaran, Reina langsung memperlihatkan cek uang dari dalam saku bajunya.
"Wah...ini serius?" Anisa merasa kaget, karena tak menyangka Reina bisa dengan mudah menaklukan hati sang Boss, apa lagi uang yang di pinjam Reina terbilang besar.
"Kau beruntung loh Rein, kemarin-kemarin aja sempat ada karyawan yang mau kasbon 20 juta tapi tidak di kasih, malah habis di maki-maki. Kau ini termasuk beruntung, apa lagi kau masih baru," Bisik Anisa, ia tak ingin ucapannya sampai di dengar oleh pegawai lain.
"Saya terpaksa juga Bu, saya memberanikan diri dengan modal nekat." Reina menitikan air matanya kembali di hadapan Anisa.
"Kau yang sabar ya Rein, semua orang pasti pernah berada di fase seperti ini." Anisa meletakan telapak tangannya di punggung Reina, kemudian mengusapnya.
"Terimakasih ya Bu," ucap Reina, dan keduanya kembali melanjutkan tugas masing-masing.
***
Tak terasa waktu istirahat tiba, tepat pukul 2 siang, semua pegawai menghentikan tugasnya sejenak, tak terkecuali petugas kebersihan.
Sebelum beristirahat, mereka terlebih dahulu menyapu lantai dan salah seorang bertugas membuang sampah.
Lagi lagi, Romlah selalu melimpahkan pekerjaan berat kepada Reina, ia hanya ingin enaknya saja jika tak ada yang mengawasi.
"Reina, sesudah buang sampah, kau cuci semua gelas!" titahnya dengan angkuh, ucapannya itu terdengar oleh Christian yakni asisten pribadi Richie.
"Loh, kok semuanya kau limpahkan kepada Reina?!" Christian berkaca pinggang dengan wajah yang serius, sementara Samuel hendak menjemput Reina untuk makan, ia menatap dari jauh.
"I..itu kan memang tugasnya Pak," jawab Romlah gugup.
"Lantas tugasmu apa?!" Christian kembali membentak.
"Saya perhatikan tadi, OG yang satu ini hanya luntang lantung saja Pak." Samuel menambahkan, membuat Romlah merasa terancam, sedangkan Reina tak berani angkat suara.
"Kau ikut ke ruangan saya sekarang!" titah Christian, dan Romlah mengangguk, kemudian membuntuti langkahnya dari belakang.
"Ba..baik Pak." sejenak Romlah melirik kearah Reina dengan tatapan penuh ancaman.
"Sudah, kau tak usah takut dan khawatir, kalau dia macam-macam kau jangan sungkan untuk mengadukannya kepada atasan," tutur Samuel dengan bijak.
"Iya, saya cuma tidak tega, seharusnya Pak Sam tidak mengadukannya juga kepada Pak Christ." Reina merasa tak tenang, ia takut jika Romlah sampai di pecat.
"Kau tak usah pikirkan soal itu, saya sendiri merasa tak nyaman dengan perlakuannya terhadapmu." begitu besar perhatian dan rasa peduli Samuel terhadap Reina.
Richie memperhatikan kedekatan mereka berdua dari ambang pintu ruangannya, Sam yang menyadari hal itu langsung menuntun lengan Reina, lalu mengajaknya ke kantin.
"Ada hubungan apa mereka?" batin Richie, ia semakin penasaran dengan kedekatan antara Reina dan Samuel.
Diam-diam, ia mengikuti mereka secara sembunyi-sembunyi.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments