Richie mencoba untuk tak menghiraukan kawan-kawannya yang masih terlihat asyik. Namun, ketika ia berjalan, tiba-tiba dirinya tak sengaja menabrak tubuh seorang perempuan cantik, dengan gaya modis, serta pakaian yang tampak seksi memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang sempurna.
"O my God," ucap perempuan itu ketika dirinya terjatuh tepat di hadapan Richie, reflek Richie berjongkok, kemudian meraih tangannya.
"Sorry," ucapnya, lalu ia membantunya bangkit, sementara ke 3 kawannya tertawa dan bersorak saat menyaksikan kejadian itu.
"Rejeki dia tuh," bisik Zico kepada ke 2 kawan lainnya. Albert dan Steven seakan mendukung.
"Kau tidak apa-apa? maafkan aku ya," Richie merasa teramat bersalah, perempuan itu tersenyum ketika memandang wajah pria yang sudah menabraknya, tampaknya ia terpesona kepada Richie sejak pandangan pertama, tetapi tidak dengan Richie, ia justru malah terlihat biasa saja.
"Iya, aku tidak apa-apa kok," jawabnya sambil tersenyum, sementara Richie langsung menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari membuang muka.
"Syukurlah kalau begitu, aku permisi ya..." pamit Richie, tetapi wanita cantik itu langsung menggenggam tangan Richie begitu saja.
"Eh?" Richie keheranan saat ia hendak pergi.
"Maaf, bolehkah kita berkenalan terlebih dulu?" wanita tersebut mengulurkan lengannya, Richie menyambutnya dengan ragu dan terpaksa, karena tak ada niat sedikitpun untuk bisa berkenalan dengannya.
"Kenalkan namaku, Vina," kata wanita cantik itu.
"Dan aku Richie." kini keduanya resmi berkenalan, tiba-tiba ke 3 kawan Richie hadir di belakang, dan memberikan tepuk tangan kepada ke 2 nya.
"Cie..." kata Zico
"Selamat ya," sahut Steven
"Ekhem...akhirnya," tambah Albert, semuanya memberi apresiasi terhadap Richie, sementara Richie sendiri merasa jengah.
"Kalian ini apaan sih, norak banget!" Richie melengos pergi tanpa permisi karena merasa tak nyaman dengan situasi saat itu.
"Richie..." Vina memanggil, tetapi Richie tak mempedulikannya sama sekali, karena Vina bukanlah wanita tipe-nya.
"Hei Richie, jangan pergi dulu...!" teriak Steven, Richie terus saja berjalan menjauh dari mereka.
Kini Vina melirik kearah 3 pemuda itu.
"Oh, jadi dia itu teman kalian?"
"Ya, maafkan dia ya, sifatnya memang begitu," kata Albert mewakili, Vina mengangguk.
"Tidak apa-apa," ucap Vina, ia semakin penasaran pada sosoknya yang dingin dan cuek, justru ia senang terhadap pria seperti itu, seperti sebuah tantangan untuknya.
"Eh, maaf, bolehkan kita ngobrol-ngobrol sebentar, soalnya ada hal yang ingin aku tanyakan tentang Richie." Vina tersenyum kepada ke 3 pemuda tampan itu, senyumannya begitu indah mampu menggetarkan hati seorang pria, terkecuali Richie.
"Boleh, ayo!" ajak Zico, dan mereka kembali kumpul di meja, kali ini bersama Vina.
Buah dari obrolan mereka, akhirnya Vina berhasil mendapatkan beberapa informasi mengenai Richie dari ke 3 temannya, hal itu membuat Vina semakin terpesona, terlebih Richie merupakan seorang pengusaha muda sukes yang tidak mudah tersentuh oleh wanita manapun.
"Wah, ini nih yang aku cari," batin Vina sambil melempar seringainya.
Kemudian Zico iseng menawarkan rokok padanya. Tak menyangka, ternyata Vina tanpa sungkan mengambil, kemudian menyalakan, lalu menyesapnya dengan mahir, tingkahnya sungguh mencerminkan sebagai wanita bi nal.
Vina tanpa rasa sungkan, ragu, dan malu ia langsung akrab dengan ke 3 jejaka-jejaka itu, laiknya wanita yang sudah berpengalaman berhadapan dengan berbagai pria, karena itulah profesinya.
"Lihat saja, aku pasti bisa menaklukanmu, Richie," batin Vina sambil tersenyum sinis, disertai asap nikotin menyeruak dari mulutnya.
...
Sementara itu, Richie hendak pulang ke apartemennya. Ia merasa badmood, dan tak bersemangat gara-gara ulah teman-temannya itu, terlebih ia terus memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah sendiri.
Bayang-bayang nakal itu seketika muncul di benaknya, ia memikirkan Reina sebagai objeknya.
"Duh, mikir apa sih aku ini, astaga!" Richie berusaha menepis pikiran-pikiran liar itu, tetapi semakin sulit.
"Rupanya aku sudah mulai gila, ini semua gara-gara mereka!" Richie kerap kali menyalahkan ke 3 kawannya, karena ucapan mereka benar-benar sudah berhasil mempengaruhi pikirannya, sehingga Richie terus berimajinasi yang aneh-aneh bersama Reina.
"Sialan!" umpatnya, ia menyetir dalam keadaan yang tak fokus.
"Tetapi, aku penasaran. Bagaimana rasanya melakukan itu?" batin Richie. Namun, lagi dan lagi ia tersadar dan langsung menepuk keningnya karena khayalannya terlalu berlebihan.
"Ah kacau sudah pikiranku ini!" Richie segera mempercepat laju kendaraanya membelah jalan raya Ibu kota yang mulai sepi, sehingga ia bisa leluasa memacu dengan kecepatan tinggi tanpa aral yang melintang.
...
Singkat cerita ia sudah tiba di basement, ia langsung memarkirkan mobil sport mewahnya itu, kemudian keluar, dan berjalan menuju pintu lift.
beberapa saat kemudian ia sudah berada di unit teratas yang boleh di bilang penthouses pribadi miliknya.
Segala kemewahan, dan fasilitas lengkap tersedia disana, ruangan yang tak kalah megah dari mansion milik kedua orang tuanya.
Ia melangkah kearah kamar, kemudian melepas semua pakaian, lalu ia segera membersihkan tubuhnya sebelum tidur.
Disaat ia tengah asyik menikmati ritual mandinya, tiba-tiba ia membayangkan tengah berdua bersama Reina di dalam sana, tanpa ia sadari juniornya sudah tegak berdiri, sehingga terpaksa ia musti senam 5 jari sambil maju mundurkan benda pusaka miliknya malam itu.
...
Sementara di tempat yang berbeda...
Saat itu Reina belum tidur, ia tengah mengemasi baju-bajunya kedalam tas ransel karena besok Richie akan menjemput, pikirnya.
Ia membayangkan jika dirinya berada jauh dari kedua orang tua, dan sang adik yang sangat dicintainya, terutama sang Ayah yang kini tengah terbaring lemah, dan besok akan di rujuk ke rumah sakit untuk menjalani perawatan.
"Mau bagaimana lagi, ini semua sudah menjadi tanggung jawabku sebagai anak pertama," keluh Reina sambil melipat baju-baju kesayangannya yang akan di bawa, tak lupa, ia menyiapkan buku-buku pelajarannya juga.
Seusai itu, ia segera membaringkan tubuh diatas tempat tidur karena dirasa kedua matanya sudah mulai kelelahan, terlebih ia terlalu lama menangis meratapi nasib dirinya.
Reina berusaha untuk menutup kedua matanya. Namun, tiba-tiba, belum juga lama, ia bermimpi...
Dalam mimpinya, ia tengah berdua bersama Richie di sebuah kamar, kemudian Richie mengecup bibir, dan membelai wajahnya dengan lembut dan penuh perasaan.
Tatapan matanya mampu menggoyahkan iman, Reina terhanyut dalam permainan cintanya.
Richie begitu memukau, Reina menatap tubuh kekar nan atletis tanpa sehelai kain yang menutupi.
Pria itu menahan dan mengunci pergerakannya, Reina tak mampu melawan karena dalam mimpi tersebut ia begitu menikmati setiap belaian yang di berikan oleh Richie padanya.
"Astaga!" Reina terbangun di saat adegan dalam mimpi itu menyadarkan Reina dari alam bawah sadar.
"Kok bisa-bisanya aku bermimpi seperti itu?" batin Reina, ia hanya bisa mengelus dada dengan napas yang tersengal-sengal.
"Apa aku lupa tak baca doa sebelum tidur?" Reina merenungi semua itu, ia kembali mengingat adegan dalam mimpinya itu sambil mengusap-ngusap tubuhnya sendiri, karena tanpa sadar ia terbuai.
Reina tak melanjutkan tidurnya, ia melangkah kearah dapur, kemudian mengambil air minum ke dalam gelas, lalu ia meneguknya hingga tandas.
Keringat dingin menitik di keningnya, ia benar-benar tak bisa melupakan adegan mendebarkan dalam mimpinya barusan, tetapi hasrat ingin mengulangnya itu muncul.
"Reina sadarlah!" Reina menampar pelan kedua pipinya sendiri, entah mengapa ia jadi memikirkan Richie saat ini, ia membayangkan senyumannya, dan bentuk perhatian Richie kepadanya.
"Ah, untuk apa juga aku mikirin dia? pria yang aku sukai itu kan Melvin bukan Pak Richie, lagi pula aku tidak suka pria yang terlalu dewasa." Reina mencoba menepis perasaan itu, karena baginya cinta pertamanya adalah Melvin, dan sampai detik ini rasa cinta itu masih ada untuknya, ia akan terus menunggu keajaiban itu datang.
Reina tersenyum ketika mengingat Melvin yang selalu mencuri-curi pandang saat jam pelajaran berlangsung. Tetapi herannya, Melvin seolah acuh tak acuh, bahkan ia terlihat akrab dengan siapa saja, hal itu membuat Reina sedikit agak kesal.
"Nak, kenapa kau belum tidur? ini sudah hampir jam 1." Bu Eli menatap heran kearah putrinya yang tengah melamun.
"Eh iya Bu, tadi Reina habis dari kamar mandi, habis buang air kecil," kilahnya, dan Bu Eli mengangguk.
"Sebaiknya kau kembali tidur, jangan terlalu banyak pikiran," kata Bu Eli mencoba mengingatkannya.
"Baiklah Bu." Reina kembali masuk ke dalam kamar, kemudian ia melanjutkan tidurnya.
Ternyata apa yang di pikirkan oleh Richie terkoneksi juga kepada Reina, hingga Reina merasa tak habis pikir, kenapa dirinya bisa bermimpi seperti itu.
Malam ini Richie terus melamun di ruang tengah sambil menghisap rokok yang mengapit di jemarinya, entah apa yang sedang ia pikirkan, yang jelas ia tak bisa memejamkan kedua mata.
Terkadang ia tersenyum sendiri, tanpa ia sadari ia menyebut-nyebut nama Reina dalam diamnya.
...
bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments