Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 4 sore, itu artinya para karyawan dan karyawati sudah membubarkan diri, sedangkan para petugas kebersihan harus menyapu dan mengepel sebelum pulang.
"Ayo Reina, semangat," teriak Anisa menyemangati, dan Reina tersenyum.
Saat karyawan hendak bubaran dan melakukan finger print, Samuel mencuri-curi padang padanya, bahkan ia dengan sengaja sedikit menyenggol pundak Reina.
Hal itu Membuat Anisa senyum mesem, dan berdehem.
"Ekehm-ekhem, ada yang naksir sama kamu tuh." Anisa melirik kearah Samuel, sementara Reina tertunduk dengan wajah yang merona.
"Ah, Bu Nisa bisa saja," pekik Reina dengan suara lirih, lalu ia kembali dengan tugasnya.
Setelah semuanya usai, semua petugas kebersihan kumpul di salah satu ruangan, lalu Anisa memberikan briefing kepada mereka semua sebelum pulang, terlebih kepada pegawai baru yang berjumlah 10 orang, masing-masing 4 orang memegang 2 lantai secara bergiliran.
Ia memberikan arahan mengenai sikap ketika bertemu dengan Boss, dan juga memberi tahu sifat-sifatnya yang red flag abis.
Hal itu berhasil membuat nyali para petugas kebersihan baru langsung menciut, termasuk juga dengan Reina.
"Nah, kalian harus hati-hati jika bertemu dengan Pak Richie, jangan sampai berbuat kesalahan sekecil apapun!" tutur Anisa dengan lantang, mendengar nama itu Reina merasa kaget.
"Hah, Pak Richie? apa jangan-jangan orang yang kemarin bertemu di mall? ah...tapi sepertinya bukan dia, soalnya photonya aja beda sekali, Pak Richie yang ada di photo barusan sudah berumur, jadi tenang," Reina bergumam dalam hatinya sambil tersenyum, karena ia mengira Pak Marthin adalah Richie.
Setelah semuanya selesai, mereka langsung membubarkan diri dengan tertib.
Mereka menuju ke ruang loker masing-masing untuk mengambil baju ganti, lalu menggantinya di fitting room.
Tak butuh waktu lama, Reina selesai mengganti pakaiannya, dan ia hendak pulang setelah finger print.
"Rein, kau pulang naik apa?" tanya Anisa saat mereka berpapasan menuju keluar gerbang.
"Saya naik angkutan umum Bu," jawab Reina, tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah memberikan klakson dari arah belakang mereka, sontak keduanya langsung melirik secara bersamaan.
"Pak Samuel tuh," bisik Anisa, membuat Reina menyimpulkan sudut bibirnya.
"Dia mau ngapain?" Reina balik berbisik, dan Anisa menaik turunkan pundaknya dengan cepat.
Lalu Samuel keluar dari dalam mobilnya, ia langsung melayangkan senyuman kepada kedua gadis itu, terutama kepada Reina.
"Kalian pulang kemana?" tanyanya berbasa-basi, padahal target utamanya adalah Reina, lalu keduanya menjawab dengan jawaban yang berbeda.
Anisa mengerti dengan keadaan ini, sehingga ia membiarkan Reina untuk ikut pulang bersama Samuel.
"Kau pulang sama Pak Samuel," kata Anisa menyarankan, tetapi Reina sedikit ragu.
"Tapi Bu..."
"Sudah, tidak apa-apa, Pak Samuel orangnya baik kok," sambungnya. Namun, tetap saja Reina merasa risih, karena tampang Samuel sudah seperti om-om, padahal ia baru saja berusia 25 tahun.
"Ayo, saya akan mengantarmu pulang." Samuel melambaikan tangan kearah Reina, membuat gadis itu merinding, sementara Anisa terkekeh saat melihat ekspresi wajahnya.
"Gak apa-apa kali Rein, kan lumayan tumpangan gratis," ujar Anisa, dan Reina mengangguk dengan terpaksa, karena ia tak enak jika menolak, mengingat dirinya masih baru.
"Pak Sam, saya titip Reina ya, langsung pulang jangan mampir-mampiran dulu." Anisa berpesan kepada Samuel, Pria berwajah bulat itu mengangguk.
"Ya Bu, tenang saja, saya pastikan Reina pulang selamat sampai ke rumahnya," jawab Samuel sambil tersenyum.
kini Reina sudah berada di dalam mobil Samuel, saat itu terjadi sedikit perbincangan ringan, karena Reina masih canggung kepada Samuel.
Saat hampir tiba, Reina meminta Samuel menurunkannya di tempat yang sedikit jauh dari rumah, karena ia tak ingin sampai pria itu tahu dimana rumahnya berada.
"Saya turun disini saja!" pinta Reina, lalu Samuel menghentikan laju mobilnya.
"Memangnya rumahmu dimana?" tanya Samuel, ia tak menemukan rumah di jalan tersebut, karena masih jauh dari kawasan pemukiman.
"ehmm..." Reina ragu mengatakannya.
"Kalau masih jauh, biar saya antar sampai depan rumahmu." Samuel kembali menawarkan, tetapi Reina menggeleng.
"Ti..tidak usah Pak, rumah saya sudah dekat kok dari sini," ucap Reina berbohong, dan Samuel tak bisa mencegahnya.
"Oh, baiklah kalau begitu, silahkan," kata Samuel sambil mengangguk.
"Terimakasih ya Pak," ucap Reina sambil tersenyum, dan Samuel balas demikian.
"Ya, sama-sama Reina," balasnya, kemudian Reina keluar dari dalam mobil.
Ia berjalan sendirian menuju ke arah rumahnya, dan harus melewati gang sempit yang hanya cukup dilalui satu motor.
Tak beberapa lama, ia sampai disana, tampaknya sedang terjadi obrolan serius antara Ibunya dengan Bang Tobing, yakni sang rentenir yang terkenal galak jika nasabahnya telat bayar hutang.
"Dari kemarin bilangnya tidak ada terus! Lalu kapan mau bayar hutangnya?! Ibu sudah menunggak 1 minggu, memangnya mau hutang Ibu saya bungain lagi?!" Bang Tobing membentak sambil memukul-mukul permukaan tembok.
Melihat perdebatan itu membuat langkah Reina terhenti, dan hatinya tersayat-sayat, sungguh kemiskinan ini begitu menyiksa.
"Ya Tuhan, apa yang musti hamba lakukan?" gumamnya dalam hati, ia tak tega melihat sang Ibu di bentak oleh Bang Tobing.
Hingga akhirnya Bu Eli memberikan sertifikat rumah untuk jaiman, rumah yang luasnya tak seberapa, jika ia tak mampu membayar hutang sesuai janjinya lagi, maka kemungkinan besar Bang Tobing akan menyita rumah tersebut.
"Ini saya simpan sebagai jaminan!" kata Bang Tobing dengan sikapnya yang angkuh, Bu Eli tak bisa berbuat banyak.
Setelah Bang Tobing berlalu, Reina langsung berlari kearah sang Ibu, kemudian ia memeluknya erat sambil terisak.
"Bu, yang sabar ya, Reina juga bekerja untuk kita," isaknya, Bu Eli menggeleng karena menyesal tak bisa membahagiakan Putra Putrinya.
"Seharusnya kau tak usah susah-susah bekerja seperti ini, karena belum saatnya," tutur Bu Eli sambil mengusap air mata.
"Tidak apa-apa Bu, aku ikhlas melakukannya," kata Reina, kemudian mereka saling merenggangkan pelukan.
"Ayah dan Benny mana Bu?" tanya Reina.
"Ayahmu sedang tidur setelah minum obat, sedangkan Benny lagi baca buku pelajaran," jawab Bu Eli.
Mendengar hal itu Reina membatin.
"Kasihan sekali Benny, pasti keinginan untuk melanjutkan sekolah begitu kuat."
"Nak, sebaiknya kau mandi dulu, nanti kita makan bersama-sama," titah sang Ibu, dan Reina mengangguk.
"Baiklah Bu," Reina berlalu ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak usai pulang bekerja, terlebih ia belum mengerjakan PR.
Ia meraih dompet milik Richie yang masih ia simpan di dalam lemari, karena hari ini ia akan mengembalikannya lewat paket, bahkan ia menulis surat sebagai ucapan maafnya kepada Richie.
"Setidaknya hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku padanya, semoga dia menerimanya dan mau memaafkanku," harap Reina sambil menitikan air mata, karena kemiskinan sudah menggelapkan mata hatinya.
...
Sementara itu di lain tempat...
Richie kembali ke mansion pada malam hari dengan keadaan mengantuk dan kelelahan, karena ia seorang workaholic.
Seluruh waktunya ia pergunakan untuk bekerja dan bekerja, sehingga kedua orang tuanya selalu menyinggung soal jodohnya.
"Kau bekerja terlalu keras," ujar Bu Lily kepada Putra kesayangan satu-satunya itu.
"Kalau aku tidak fokus bekerja, bagaimana bisa memajukan Perusahaan keluarga kita, Ma!" balas Richie dengan malas dan sedikit ketus.
"Iya, Mama mengerti, tetapi kau musti ada waktu untuk dirimu sendiri. Kau jangan siksa tubuh dan pikiranmu dengan kesibukan yang terlalu berlebihan." Bu Lily merasa sangat khawatir dengan kondisi kesehatan Putranya.
"Sudahlah, Mama ini tahu apa sih?!" Richie merasa kesal dengan ocehan Ibunya, lalu ia memutuskan untuk naik kelantai 2 menggunakan lift menuju ke kamarnya.
"Tuh anak susah sekali di kasih tahu, kalau dia sepeti itu terus kapan dia mau punya pasangan." Bu Lily mulai cemas dengan status asmara Putranya, bahkan Richie sama sekali belum pernah punya pacar, meski banyak perempuan yang berminat padanya, tetapi tak ada satupun yang membuat Richie terpesona.
Saat sampai di dalam kamar, ia membuka texudo, waiscoat, kemudian melonggarkan dasinya.
Setelah itu, Richie menyalakan sebatang rokok untuk menghilangkan rasa penat di pikirannya setelah seharian bergelut dengan pekerjaan.
Ia membuka laptopnya, lalu kembali sibuk sampai ia lupa bahwa perutnya butuh diisi, sehingga sang Ibu berinisiatif membawanya ke kamar.
"Duh, Mama ngapain bawa makanan kesini?" tanya Richie dengan malas.
"Kau ini, kapan istirahatnya?" Bu Lily kembali bertanya, sambil melangkah kearahnya, sedangkan tangannya membawa nampan makanan dan juga susu.
"Ini lagi tanggung Ma," jawab Richie tanpa menatap kearah sang Ibu.
"Memangnya tidak bisa di lanjut besok?" protes Bu Lily, ia sangat cemas dengan keadaan Putranya yang gila kerja.
"Ah, Mama bawel!" bentak Richie membuat sang Ibu berdecak kesal.
"Ayo makan dulu! kalau tidak, laptopmu Mama banting!" ancam sang Ibu, Richie yang tak terima langsung meng-ulti ucapan Ibunya, hingga terjadilah perdebatan.
Sampai-sampai keduanya sama-sama mengalah, pada akhirnya Bu Lily menyuapinya makan ketika Richie masih sibuk dengan tugas-tugas di laptopnya.
"Mama jadi ingat waktu kau masih kecil, kau senang sekali di suapi seperti ini," ujar Bu Lily mencoba mengenang momen terindah saat Richie masih anak-anak. Sebenarnya Richie merasa risih dengan perlakuan Ibunya yang terlalu over protective padanya.
"Eh, Richie, apa kau sudah punya pacar?" tanya sang Ibu, membuat Richie tersedak.
"Hah? apa?" Richie segera mengambil air minum.
"Kau sudah punya pacar belum?" tanya sang Ibu, membuatnya mendengus kesal.
"Ah, Mama ini apaan sih!" Richie enggan menjawabnya, sampai-sampai sang Ibu kembali mengoceh, bahakan ia mempertanyakan kenormalan Putranya terhadap lawan jenis.
"Buktikan sama Mama kalau kau ini seorang pria tulen! kau harus cepat punya pacar, dan kenalkan pacarmu kepada Mama dan Papa!"
"Aku ini pria normal Ma, hanya saja aku malas menjalin hubungan!" balasnya ketus, ia langsung menutup kedua telinganya ketika sang Ibu terus-terusan mengoceh.
"Ma, berisik, Ma!" protes Richie.
"Habisnya kau ini susah sekali di kasih tahu!" balas sang Ibu geram membuat Richie susah berkonsentrasi saat sedang mengerjakan tugas perusahaanya.
Sampai-sampai sang Ibu menyerah, dan memutuskan untuk keluar dari kamar Putranya dengan emosi yang berkecamuk.
"Mama ini kenapa sih? kok wajahnya seperti sedang marah?" tanya Pak Marthin.
"Itu loh, Anakmu susah sekali di nasihat!" jawab Bu Lily sambil terisak karena merasa sakit hati akan ucapan Richie.
"Biarkan saja lah Ma, nanti juga dia berubah seiring berjalannya waktu," harap Pak Marthin sambil melingkarkan lengan di bahu Istrinya.
Sementara di dalam kamar, Richie tengah mengumpat tak jelas.
"Orang-orang pada kenapa sih? kok seneng men-judge aku yang bukan-bukan, dan ngata-ngatain aku pria tidak normal, beberapa ada yang ngatain aku maho lah, ck!" umpat Richi dengan segenap kekesalan di hatinya.
"Aku ini pria normal, hanya saja aku tidak tertarik untuk menjalin hubungan! aku males harus mikir cemburu, harus membagi perasaan cinta, dan membagi waktu dengan Perusahaan!" sambungnya, mencoba meluapkan emosi dalam hatinya, ia terlalu cinta dengan statusnya sebagai Boss besar di Perusahaan keluarganya, sehingga ia tak ingin menjalin asmara.
"Buktinya mereka yang ngebucin seperti orang bego! Aku tidak mau sampai seperti itu hanya karna cinta! Apaan?! cinta-cinta, taik kucing lah!" cibir Richie sambil tersenyum menyeringai.
Tiba-tiba, ia merasakan lelah di kedua matanya, saat ia merobohkan tubuh diatas tempat tidur, tiba-tiba ia terbawa kembali dalam peristiwa saat bertemu dengan Reina.
Richie bermimpi, dalam mimpinya ia kembali menangkap tangan Reina, lalu mendekap tubuhnya.
"Mau lari kemana lagi kau hah?!" ucapnya, dan ia berusaha mengunci pergerakannya, padahal dalam kenyataan ia tengah memeluk bantal.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments