Richie diam-diam memperhatikan kedekatan Reina dengan Samuel saat mereka makan di kantin siang hari ini.
"Eh, Bapak, tumben...mau makan siang juga?" tanya Riky berbasa-basi ketika melihat kehadiran sang Boss di area tersebut.
"Emmh...tidak, saya hanya sedang jalan-jalan saja," jawab Richie berbohong.
"Jalan-jalan, apa sedang mengawasi mereka?" Riky menunjuk ke arah Samuel dan Reina berada saat itu, membuat Richie jengah mendengar pertanyaanya.
"Sudah deh, tak usah ikut campur urusan saya!" bentak Richie, dan Riky langsung tertunduk.
"Maafkan saya Pak, saya hanya bercanda. Kalau begitu, saya permisi," pamit Riky.
Richie merasakan hal yang tak biasa terhadap Reina, meskipun ia baru mengenalnya beberapa hari. Entah mengapa, rasa penasaran itu semakin tinggi, ia ingin mengenal sosoknya lebih dekat. Namun, lagi dan lagi gengsinya terlalu besar, bahkan ia membohongi perasaan dan hatinya sendiri.
"Untuk apa juga aku perhatiin bocah perempuan itu, dari gayanya saja sok-sok lugu dan sama sekali tidak berkelas!" batin Richie sambil melempar seringai. Lalu, ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya.
Tetapi, saat dirinya berbalik, ia hampir bertubrukan dengan Anisa.
"Astaga, Bapak," Anisa langsung mengelus dada karena kaget, sementara Richie tampak kesal.
"Kau ini kalau jalan pakai mata!" bentaknya, ia selalu ingin benar di mata siapapun, meski terkadang dirinya terlebih dulu yang berbuat salah, entah itu karena ceroboh, atau kurang teliti.
"Aish! kebiasaan deh, senangnya menyalahkan orang lain," batin Anisa, dengan terpaksa ia mengangguk.
"Iya Pak, saya yang salah, jadi maafkan saya," ucap Anisa dengan penuh keterpaksaan.
Richie mendelik kearahnya, lalu pergi. Anisa yang kesal tampak mengempalkan kelima jemarinya, lalu mengumpat tanpa bersuara saat Pria itu berlalu dari hadapannya.
"Dasar!" umpatnya penuh emosi, kemudian ia segera menemui Reina yang sedang bersama Samuel.
"Loh, Bu Nisa kenapa? kok wajahnya seperti sedang kesal?" tanya Reina heran, Anisa yang masih memendam rasa kesal langsung menceritakan apa yang terjadi barusan.
"Dia itu ya, hobi sekali menyalahkan orang lain, yang salah siapa, yang dimarahin siapa!" gerutu Anisa."lagian aneh sekali, ngapain dia ada disini, itu tuh moment langka," lanjutnya.
"Momen langka?" tanya Reina, sementara Samuel ijin terlebih dulu untuk kembali ke kantor karena jam makan siang untuk pegawai sudah selesai terkecuali para petugas kebersihan.
Pada akhirnya Anisa dan Reina asyik membicarakan Richie, mereka tertawa bersama. Anisa begitu puas membongkar kejelekan sifat Bossnya itu kepada Reina.
"Jadi ya, gosipnya dia itu penyuka sesama jenis," kata Anisa yang merasa puas.
"Wah, benarkah?" Reina seakan tak percaya, lalu ia terkekeh.
"Ya itu sih baru gosip, tapi entahlah, yang saya tahu selama saya bekerja disini, dia belum pernah menggaet seorang perempuan. Padahal perempuan yang di jadikan model brand fashionnya itu cantik-cantik loh, tapi kok dia tak tertarik pada mereka, aneh kan?" papar Anisa sambil menyeruput es jeruk yang baru di pesannya.
"Iya, masuk akal juga tuh," balas Reina, ia merasa kecewa karena Pria sesempurna Richie bisa menjadi seseorang yang belok.
"Sayang sekali ya Bu, padahal dia itu perfect, tapi kok..." Reina tak melanjutkan pembicaraanya, karena ia merasa sangat berdosa sudah mengulik kekurangan orang lain.
"Sudah ah Bu, jangan di bicarakan lagi, meski begitu, Pak Richie itu baik, buktinya dia kasih saya pinjaman." Reina begitu berdosa dengan ucapannya barusan, dan Anisa tersenyum.
"Iya ya, kita sudah gibahin dia, astaga." Anisa tertawa kecil, kemudian keduanya segera bergegas kembali ke dalam untuk bertugas.
Romlah saat itu di kenai SP atau surat peringatan 1 karena kesalahannya. Namun, ia tak terima begitu saja.
"Ini semua gara-gara si Reina!" gumamnya dengan nada mengancam.
Disaat situasi tengah sepi, Romlah menarik tangan Reina dengan kasar, lalu membawanya ke ruang yang tak terjangkau oleh CCTV.
"Mbak Romlah mau bawa saya kemana?" tanya Reina sambil di seret paksa oleh Romlah.
"Diam kau! awas saja kalau sampai berteriak!" ancam Romlah, setelah itu ia mendorong tubuh Reina hingga jatuh tersungkur ke bawah lantai.
"Aww..." Reina memekik sambil memegangi bokongnya yang ngilu, karena Romlah mendorongnya cukup kencang.
Kemudian Romlah berlutut, lalu mencengkram rahang Reina dengan kasar, secara cepat ia mendaratkan satu tamparan di wajah Reina.
"Aww..." Reina kembali memekik, dan reflek mengusap permukaan kulit pipinya yang perih akibat tamparan itu.
"Mbak Romlah kenapa lakukan ini kepada saya?" Reina terisak, dan Romlah memakinya dengan kalimat kasar dan tak beradab.
Reina mendadak emosinya naik, ia bangkit kemudian balas mendorong tubuh Romlah.
"Cukup ya, Mbak tak usah hina-hina saya seperti itu, kita sama-sama kerja disini! Jangan mentang-mentang saya baru, Mbak bisa memperlakukan saya semena-mena!" Reina akhirnya mencoba menghindar dari amukan Romlah yang semakin menjadi-jadi.
"Eugh! Awas saja! kali ini kau bisa selamat, berani-beraninya melawanku!" gerutu Romlah dengan amarah yang tertahan dalam dada.
"Reina, kau kenapa?" tanya Ato saat berpapasan dengan Reina, karena kondisi rambut gadis itu terlihat berantakan akibat habis berduel dengan Romlah.
"Tidak apa-apa Bang, tadi sempat jatuh," kilah Reina, meski begitu ia tak sampai hati mengadukan perbuatan Romlah kepada siapapun, ia masih memiliki empati, Reina tak ingin Romlah sampai di panggil kembali.
***
Singkat cerita...
Sudah 3 minggu lamanya Reina bekerja paruh waktu sebagai petugas kebersihan di Perusahaan Richie.
Ia menjalani semuanya dengan hati yang lapang, terlebih jika teringat hutangnya kepada sang Boss. Tetapi sejauh ini, Richie tak mempermasalahkan soal uang yang sudah Reina pinjam.
Saat itu, sudah jadi rutinitas, Richie selalu meminta Reina yang membawakan minuman atau apapun ke ruangan pribadinya.
"Reina, nanti sepulang kerja, kau bisa ikut saya?" tanya Richie meminta.
"Bi..bisa Pak, memangnya kita mau kemana?" Reina balik bertanya.
"Sudahlah, nanti juga kau tahu sendiri, kau tenang saja, saya tak akan macam-macam terhadapmu, justru saya akan membawamu refreshing." Richie melayangkan senyuman pada gadis cantik itu, membuat Reina was-was dan ragu dengan permintaanya.
"Duh, kira-kira, Pak Richie mau membawaku kemana?" batin Reina bertanya-tanya.
"Kenapa? kau keberatan?" Richie memperhatian ekspresi wajahnya yang gugup, dan Reina menggeleng dengan cepat.
"Tidak kok, tidak apa-apa," jawabnya dengan suara yang rendah.
"Ya sudah! Silahkan kau duduk!" titahnya, membuat Reina heran.
"Tapi Pak, kerjaan saya masih sangat banyak di belakang," tolak Reina, Richie langsung membelalakan kedua matanya.
"Apa kau tak sadar siapa posisi saya di perusahaan ini?!" Richie melantangkan suaranya, ia tak suka dengan penolakan, terlebih ia adalah Big Boss di Perusahaan tersebut.
"Ehmm..." Reina menjawabnya dengan gugup.
"Saya yang berkuasa disini!" Richie bangkit dari duduknya, kemudian menyoroti wajah Reina dengan ancaman.
"Eh, maaf Pak, maafkan saya," ucap Reina grogi.
"Kau kerja disini, jadi kau harus patuh pada perintah saya. Mengerti!" Richie menyodorkan paper bag yang berisi makanan kepada Reina.
"Ini untukmu, ambilah!" kata Richie, Reina menerimanya dengan tangan gemetar.
"Untuk saya, Pak?" tanya Reina ragu-ragu.
"Iya, cepat buka dan makanlah!" titah Richie seakan tak ingin di tolak. Reina mengangguk lemah, kemudian ia membuka paper bag tersebut yang berisi sekotak makanan siap saji. dengan gerakan yang pelan, sesekali ia menatap wajah Richie yang berhadapan dengannya saat ini.
"Saya makan disini? Di depan Bapak?" Reina merasa malu, dan Richie mengangguk, ia ingin melihat Reina makan di hadapannya.
"Astaga!" batin Reina, ia menelan salivanya berkali-kali.
"Tapi Pak..."
"Tapi apa?"
"Saya malu makan di hadapan Bapak seperti ini." Reina menundukan kepalanya, dengan cepat Richie meraih sumpit yang di genggam Reina kemudian ia hendak menyuapinya makan.
"Kau ini tak usah malu-malu depan saya. Sekarang, buka mulutmu!" Richie menyodorkan makanan di ujung sumpit itu tepat di tepi bibir Reina.
Gadis itu merasa heran dengan perlakuan Bossnya yang mendadak aneh. Reina membuka mulutnya secara perlahan saat Richie akan menyuapinya.
Dengan gerak reflek, Richie mengusap noda makanan yang mengenai sudut bibir Reina.
Perlakuannya membuat jantung Reina berdegup lebih cepat, ia masih belum mengerti arti semua ini.
"Makanmu harus cukup, supaya tubuhmu sedikit berisi, tak terlalu kurus seperti ini," kata Richie, dan Reina mengangguk lemah.
"I..iya Pak."
Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan keduanya, Richie segera mengambil benda pipih yang ia taruh diatas meja.
"Kau habiskan sendiri makananmu!" Kini perhatiannya teralihkan pada ponsel yang berdering, dengan segera ia mengangkat panggilan itu tepat di hadapan Reina yang masih melahap makanannya.
Sedikitnya perasan Reina kembali lega, sejak saat tadi dibuat tegang akan perlakuan Richie yang menurutnya sangat aneh. Meski begitu, ia harus menghabiskan makanannya itu di ruangan sang Boss.
Richie sedang menelpon, tetapi pandangannya terus tertuju pada Reina yang tengah mengunyah.
"Duh, kenapa sih dia lihatin aku terus seperti itu," batin Reina.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments