Keesokan harinya, seperti biasa, Reina kembali bersiap-siap untuk ke sekolah, dengan tubuh yang sedikit kelelahan karena training kemarin.
"Ayo, semangat Reina, kau musti sadar diri, kau ini miskin, kalau kau pemalas, ya kelar hidupmu!" batinnya, ia duduk sejenak di atas tempat tidur beralaskan dipan yang sudah reyot, terdengar cekat-cekit jika ia bergerak kesana kemari.
Ia bergegas ke kamar mandi, seusainya ia kembali mengenakan seragam, lalu memeriksa PR-nya lagi.
Setelah dirasa cukup, ia keluar dari dalam kamar, sang Ibu sudah menyiapkan 2 bakwan untuk sarapan, dan secangkir air teh tawar.
"Terimakasih ya Bu," ucap Reina dengan rasa syukur, kemudian ia menyantap 2 bakwan itu tanpa sisa, setidaknya bisa mengganjal perutnya sampai siang.
"Aku berangkat ya, Assalamualaikum," pamit Reina saat ia selesai mengenakan sepatu.
"Wallaikumsallam," ucap kedua orang tua dan sang adik secara serentak.
Reina kembali berjalan kaki menuju sekolah, tiba-tiba seseorang memberi klakson dari arah belakang, reflek ia memutar tubuhnya.
"Me...Melvin," serunya, dan Pria itu tersenyum dengan ramah.
"Reina, kok jalan sendirian?" tanya Melvin, sejenak ia menghentikan laju motor gedenya.
"Hehe...iya, aku sudah biasa kok," jawab Reina dengan perasaan gugup dan gemetar saat berhadapan dengan sang Idola di sekolahnya.
"Maaf, aku duluan ya." Reina kembali melangkah, karena ia pikir Melvin tak mungkin mengajaknya berangkat bersama, karena ia tahu diri.
"Eh, tunggu!" teriak Melvin, Reina menghentikan langkah kakinya, kemudian kembali menoleh kearah pemuda tersebut.
"Kenapa kau main pergi saja?" tanya Melvin heran, padahal memang niatnya akan memberikan tumpangan kepada Reina.
"ehmm..." Reina gugup, benar-benar gugup dibuatnya.
"A...aku takut telat," lanjutnya menjawab terbata-bata.
"Telat bagaimana? ini kan masih sangat pagi, lagian, kan pakai motor, mana mungkin telat," tutur Melvin dengan gurauan, dan Reina mengangguk sambil tersenyum malu-malu.
"Iya, itu kan kamu, sedangkan aku? aku kan musti jalan kaki untuk sampai ke sekolah." Reina terlihat kikuk di hadapan Melvin.
"Ayo cepat naik!" Melvin mengedarkan matanya kearah belakang motor seraya memberi gestur agar Reina naik.
"Ta...tapi Melvin..." Reina sedikit ragu dan tentunya ia merasa malu, serta rendah diri di hadapan pria keren seperti Melvin.
"Tapi apa? cepatlah!" perintahnya, lalu Reina mengangguk, kemudian ia naik dengan susah payah di jok belakang motor gede yang di kendarai oleh Melvin.
Reina sedikit kewalahan, karena jok belakangnya lebih tinggi, sehingga dadanya menempel dengan punggung Melvin, tetapi ia berusaha menghalangi menggunakan tas.
"Sudah?" Melvin menoleh ke belakang untuk memastikan, dan Reina mengangguk.
"Iya," jawabnya, kemudian Melvin kembali memacu motornya dengan kecepatan penuh, sampai-sampai Reina sedikit berteriak dan reflek memeluk pinggang Melvin dari belakang, akan tetapi Melvin tak protes apa-apa.
"Melvin, maaf ya," teriak Reina karena suara jalanan begitu bising.
"Ya, tidak apa-apa," balas Melvin.
Setelah tiba, Melvin menurunkan Reina sedikit berjarak dari gerbang sekolahan, karena mereka tak ingin menjadi bahan gosip.
"Maaf ya Rein, aku harus menurunkanmu disini." Melvin merasa tak enak, ia sebenarnya tak malu jika membawa Reina masuk kedalam halaman sekolahan sambil berboncengan, hanya saja ucapan kawan-kawannya begitu pedas, ia tak mau sampai Reina di buli gara-gara masalah ini.
"Tidak apa-apa kok," balas Reina, kemudian Melvin melihat rambut Reina yang berantakan, secara reflek ia berusaha membenahinya.
"Tuh, rambutmu keluar-keluar, mending di benerin dulu gih!" Melvin diam-diam menaruh perhatian padanya, membuat kedua pipi Reina merona, lalu ia membuka kunciran rambutnya, kemudian ia sisir menggunakan jemari lentiknya dan di rapihkan ulang. sementara, Melvin terkesima melihat pesona Reina yang begitu cantik alami.
"Udah, rapih," celetuk Melvin memberi komentar, dan Reina kembali tersenyum malu-malu sambil menggigit tepi bibirnya sendiri.
"Kenapa kau masih diam disini?" Reina heran, karena Melvin belum juga beranjak.
"Eh, iya." tiba-tiba Melvin tersadarkan dari lamunannya.
"Ya sudah, aku duluan ya, Rein," pamitnya, ia kembali melaju menuju ke gerbang sekolah.
Reina tersenyum sendiri saat membayangkan bentuk perhatian yang di berikan Melvin barusan, semua itu terasa seperti mimpi, bahkan ia sudah menyimpan perasaan kepada Melvin sejak pertama kali ospek.
"Melvin," batin Reina memanggil namanya.
Ia melangkah kearah gerbang dengan hati yang berbunga-bunga, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Rein," seru Selly, dan Reina terkaget.
"Astaga Sell, kau ini bikin aku jantungan saja!" pekik Reina sambil mengusap dadanya.
"Ya habisnya, dari tadi aku panggil-panggil di belakang, kau tak nyaut! kenapa? lagi ada masalah? tapi kok kau sepertinya sedang bahagia." Selly menyelidiki, dan Reina memalingkan wajahnya di hadapan Selly sambil tersenyum.
"Ish, ni anak abis kesambet setan kali ya?" batin Selly, di satu sisi ia merasa penasaran dengan apa yang di rasakan oleh Reina saat ini, tetapi walau bagaimanapun juga Reina tak akan mungkin mengatakan tentang perasaanya terhadap Melvin kepada siapapun termasuk Selly, sahabatnya sendiri.
"Oh ya, kau sudah kerjakan tugas?" tanya Reina sekedar berbasa-basi untuk memecah ketegangan.
"Sudah dong," jawab Selly dengan rasa bangga.
"Rein, sepatumu sudah di benarkan?" tanya Selly saat ia menatap sepatu Reina yang kemarin sempat jebol, dan Reina mengangguk.
"Sudah Sell, Adikku yang membenarkannya pakai lem," jawab Reina, mendengar ucapannya, tiba-tiba Selly tergugah untuk membahas soal Benny yang putus sekolah.
"Kasihan ya Benny," kata Selly ia merasakan derita keluarga Reina.
"Ya, mau bagaimana lagi, keluarga kami memang serba kekurangan, tetapi aku ambil kerja paruh waktu," papar Reina, Selly yang baru mengetahui hal itu kaget di buatnya.
"Kau serius?"
"He'em, tentu saja." Reina mengangguk sambil menitikan air mata.
"Kau yang sabar ya, semoga lelahmu menjadi berkah, dan semoga Benny tahun depan bisa melanjutkan sekolahnya lagi," harap Selly, dan Reina kembali mengangguk, betapa beruntungnya ia memiliki kawan yang solid seperti Selly, disaat kawan-kawan lainnya hanya bisa membuli dan mencemooh dirinya.
"Thanks ya Sell, kau selalu ada untukku," ucap Reina penuh haru, lalu keduanya saling rangkul satu sama lain.
Tiba-tiba, Fara dengan sengaja lewat, kemudian menginjak sepatu Reina.
"Ups sorry, di sengaja!" ucapnya dengan angkuh, membuat Reina emosi begitu juga dengan Selly.
"Hei, jangan kurang ajar ya!" hardik Selly berupaya membela Reina dari sikap Fara yang suka membuli.
"Haha..." Fara hanya bisa menertawakan kemarahan mereka berdua.
"Dasar kismin!" ledek Fara terhadap Reina, lagi dan lagi, ucapan itu berhasil membuat hatinya terluka.
"Hati-hati kalau bicara!" balas Selly sambil mendorong tubuh Fara, gadis itu hampir terjengkang kebelakang.
Fara tak ingin kalah, ia kembali menyerang Selly, hingga terjadi perkelahian antara keduanya, sementara Reina berusaha melerai.
"Stop! aku bilang stop! stop!" teriak Reina berusaha menjadi penengah diantara Selly dan Fara.
Beberapa orang melihat kejadian itu, begitu juga dengan Melvin, ia memastikan jika tak ada perkelahian diantara mereka.
"Ayo Sell!" Reina menuntun lengan Selly, karena ia menyadari tindakan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah, ia memang sakit hati dengan hinaan yang di lontarkan Fara, tetapi ia tak ingin membuat perkara terlebih di lingkungan sekolah.
"Si Fara itu memang benar-benar keterlaluan, tidak bisa di birkan!" gerutu Selly dengan amarah yang berkecamuk.
"Sudahlah, lagian dia kan menghina aku, bukan menghina kamu," Reina berusaha menenangkan perasaan Selly yang masih di kuasai emosi terhadap Fara.
"Ya aku tidak terima sahabat aku di hina seperti itu!" ucap Selly ketus, dan Reina langsung memeluknya.
"Terimakasih ya Sell, tapi tolong jangan pakai kekerasan untuk menyelesaikan masalah." Reina kembali menitikan air mata, dan Selly mengangguk mencoba merenungi kata-kata Reina.
...
Singkat cerita...
Saat jam istirahat, Reina kembali merasakan perih di perutnya.
"Aduh, perutku lapar, tapi aku tidak punya uang buat jajan di kantin," gumamnya.
"Rein, kau tidak jajan?" tanya Selly saat ia hendak mengajaknya makan di kantin.
"Hehe, tidak Sell, aku sedang puasa," jawabnya berbohong.
"Puasa apaan?"
"Puasa kamis," jawab Reina, dan Selly mengangguk paham.
"Oh, kau ini rajin sekali ya," kata Selly dengan kagum, dan Reina tersenyum meski dalam hatinya menangis.
Kemudian Selly bergegas sendirian menuju kantin, sedangkan Reina masih berada di dalam kelas, ia melihat di sekelilingnya sudah tidak ada siapapun lagi, teman-temannya sedang beristirahat.
"Suntuk juga di dalam kelas." Reina memutuskan untuk berjalan keluar. Saat ia melangkah melewati lapangan basket, tiba-tiba benda bundar berwarna orens itu mengenai kepalanya, membuat dirinya tak sadarkan diri.
"Ya Tuhan..."
"Astaga..."
"Reina pingsan Bro!!!" teriak orang-orang, begitupun para guru yang melihat, mereka antusias memboyong tubuh Reina ke UKS untuk di baringkan.
Melvin mendorong tubuh Zian atas peristiwa ini, karena memang Zian yang tak sengaja melempar bola basket kearah Reina.
"Ini semua gara-gara kamu!" bentak Melvin penuh emosi pada Zian.
"Sorry Bro, aku sama sekali tidak sengaja melakukannya, sungguh!" ucap Zian, keduanya hampir saja bertengkar. Namun, salah seorang guru penjas berhasil memisahkan keduanya, hingga permainan tak di lanjutkan.
Melvin bergegas untuk menemui Reina, saat itu Reina sudah sadar dari pingsannya, ia sedang meneguk air minum yang di sodorkan oleh Selly.
"Kalau kau tak kuat, sebaiknya kau jangan memaksakan untuk puasa," kata Selly yang khawatir dengan kondisinya.
"Reina, apa kau baik-baik saja?" tanya Melvin yang datang secara tiba-tiba, sontak kehadirannya mengejutkan kedua gadis itu.
"Iya, alhamdullilah, aku sudah mendingan," jawab Reina, dan Melvin tersenyum lega mendengarnya.
"Oh, baguslah kalau begitu, aku perwakilan dari Zian, mohon maaf sebesar-besarnya atas insiden barusan," ucap Melvin, dan Reina mengangguk.
"Iya, tidak apa-apa kok," balas Reina, lalu sang wali kelas hadir diantara mereka.
"Melvin, sebaiknya kau antarkan Reina pulang sekarang, kau tak keberatan kan?" pinta Bu Anya, Melvin mengangguk dengan semangat.
"Iya Bu, saya bersedia untuk mengantar Reina pulang," jawabnya, kemudian Bu Anya memperbolehkan Reina untuk pulang dan beristirahat di rumah karena kondisinya sangat lemah pada hari ini.
"Ayo Reina!" ajak Melvin, lalu gadis itu bangkit dari berbaringnya, sementara Selly bergegas membawakan tasnya.
"Melvin, kau hati-hati ya bawa Reina, ingat! jangan kebut-kebutan, bahaya!" Bu Anya berpesan.
"Iya Bu, saya akan hati-hati," kata Melvin, kemudian Reina menaiki jok belakang motor itu, lalu Melvin segera tancap gas dari laman sekolahan.
Beberapa pasang mata menatap kearah mereka, tak sedikit pula yang kepanasan.
"Lihat tuh, si Reina bisa-bisanya cari perhatian sama Melvin!" bisik Fara kepada Monita, membuat hati Monita kesal dan hancur.
"Ih, dasar rese!" pekiknya sambil menghentak-hentakan kaki.
"Vin, sebaiknya kau antarkan aku ke jalan Garuda," pinta Reina dengan suara yang terdengar serak.
"Loh, mau ngapain kesana?" Melvin merasa heran, karena itu bukan alamat rumah merupakan jalan kawasan industri.
"Aku sedang ada perlu, please ya, antar aku kesana!" Reina memohon, membuat Melvin merasa khawatir, meski begitu, ia tak bisa mencegahnya karena merasa tak berhak.
"Ya sudah, tapi kau hati-hati ya, soalnya kondisimu masih lemah." Melvin berpesan, perhatiannya membuat semangat Reina kembali bangkit.
"Terimakasih ya Vin, karena kau sudah sangat baik terhadapku,"
"Ya sama-sama, Reina," balas Melvin.
Singkat cerita mereka sudah tiba di tempat tujuan, Melvin segera menghentikan laju motornya di pinggir trotoar.
"Sebenarnya kau ini mau kemana sih?" tanya Melvin sambil memicingkan kedua matanya karena silau, saat itu cuaca memang sangat terik, karena kemarau panjang.
"Ehm...aku sedang ada perlu sebentar, BTW makasih sudah mau mengantarkanku aku permisi ya, daah..." Reina berlalu dengan cepat, ia tak ingin Melvin membombardinya dengan beberapa pertanyaan.
Reina berlari kecil kearah perusahaan, sehingga ia bisa datang lebih awal.
Ia mengenakan hoodie untuk menutupi seragam putihnya, kemudian melepas rok SMA-nya karena pada saat itu ia mengenakan celana tambahan.
Setelah tiba, ia melangkah ke ruang loker untuk menyimpan barang bawaanya.
"Ehem!" Ato yang menjabat sebagai OB berdehem, kemudian mereka saling lirik, lalu saling melayangkan senyuman.
"Baru datang, Dek?" sapa Ato bertanya dengan ramah, dan Reina mengangguk.
"Hehe, iya Bang," jawabnya sambil menunduk.
Reina segera menuju ke ruang ganti, tak beberapa lama ia sudah berganti dengan pakaian kerjanya.
"Reina, kau sudah pulang sekolah memangnya?" tanya Anisa heran karena saat itu baru pukul setengah 11 pagi menjelang siang.
"Hehe, iya Bu Nisa, soalnya tadi ada rapat di sekolah," jawab Reina berbohong, ia tak ingin mengatakan yang sebenarnya jika dirinya pulang awal karena sakit.
"Oh, yasudah, tapi kau sudah finger?"
"Sudah Bu," jawab Reina sambil mengangguk.
"hemm..bagus! oh ya, sekarang kau buatkan segelas susu hangat untuk Pak Boss, lalu kau antar ke ruangannya," titah Anisa, mendengar hal itu Reina terkekeh geli.
"Hah, kok susu sih Bu? biasanya kan orang-orang sukanya kopi," tanya Reina dengan gurauan.
"Suttt! Gawat kalau sampai orangnya dengar!" Anisa menyoroti sekitar.
"Ya, Boss sukanya minum susu low fat tanpa gula, Beliau ini kan perokok akut, jadi jarang minum kopi." Anisa mencoba menjelaskan kebiasaan dan kesukaan sang Boss.
"Oh, begitu ya." Reina mengangguk paham, kemudian ia bergegas untuk membuatkan segelas susu.
Setelah selesai, ia menaruhnya ke atas nampan, lalu membawa menuju ruangan sang Boss.
Ia melangkah dengan ragu dan gemetar, kemudian Reina memberanikan mengetuk pintu sebelum masuk kedalam.
Ia mengetuk 3 kali, tetapi tak ada jawaban, sehingga ia cemas.
"Dek, buka saja pintunya, tidak apa-apa kok, mungkin Pak Richie sedang di toilet atau sedang beristirahat di dalam kamar pribadinya," kata Ato berusaha memberi tahu, dan Reina mengangguk paham.
Ia membuka daun pintu itu secara perlahan, dan ia tak menemukan sang Boss di dalam sana.
Reina menaruh nampan, lalu meletakan gelas jangkung itu di atas meja dengan jemari yang gemetar.
Tiba-tiba, ia melihat gagang pintu toilet pribadi sang Boss bergerak, lantas kedua matanya langsung tertuju kearah sana.
Saat Richi keluar, ia langsung mendongakan pandangannya, dan ia benar-benar kaget bukan main ketika melihat Reina berada di ruangannya saat ini, begitu juga dengan Reina, seketika keringat dingin menitik di dahinya.
"Dia...?" batin Reina.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments