"Mereka dimana?" tanya Jiho setelah agak tenang.
"Sudah di rumah, A. Mereka belum jauh dari kecamatan, tapi sepertinya Juragan tidak bisa mengendalikan mobilnya, mereka nabrak pohon dan mobilnya terguling," jelas Mang Udin.
Pak Toha dan keluarganya datang dengan langkah tergopoh-gopoh. Mereka menghampiri Jiho yang sedang terduduk lemas.
Pak Toha memeluknya, eraaat sekali. Sambil beberapa kali menyeka air matanya. "Yang sabar ya, Nak. Kamu masih punya kami..." ucap Pak Toha menenangkan pemuda itu.
Tak kalah, mata Tiara dan Ibu Ningsihpun terlihat sembab.
"Ayo nak, kita temui Ayah sama Ibu untuk yang terakhir kalinya," lanjut Pak Toha sembari memapah Jiho.
Mereka menaiki mobil pengangkut sayur menuju rumah kedua Pak Wisesa, untuk mengurus pemakaman jenazahnya.
***
Di rumah kedua Pak Wisesa sudah ramai warga sekitar. Mereka mengambil tugas masing-masing.
Jiho terkulai di hadapan jenazah orang tuanya. Hatinya begitu teriris. Perpisahan beberapa jam yang lalu adalah tanda perpisahan dari mereka.
"Ayah... Ibu... Maafkan Jiho," dia tergugu dalam tangisannya sendiri.
Bapak & Ibu Wisesa dimakamkan di TPU terdekat. Dan selama 7 hari berturut-turut diadakan doa dan tahlil bersama di rumah almarhum.
***
Tujuh hari kemudian...
Beberapa debt kolektor mendatangi kediaman almarhum.
"Maaf ini ada apa ya, pak?" tanya Jiho yang memang tidak tahu apa-apa kalau Ayahnya punya hutang.
"Ayahmu punya hutang pada bos kami, silahkan lunasi tagihannya karena hari ini tanggal jatuh tempo," jawab pria yang berpakaian rapi itu. Tapi dilihat-lihat justru wajah dan perawakannya seperti preman. Mereka menyerahkan map berisi surat perjanjian hutang tersebut. Ada tanda tangan Ayahnya dalam surat itu.
"Pak, beri saya waktu. Saya akan melunasinya, tapi saya mohon beri saya waktu, Pak."
"Baik, kami beri waktu selama tiga hari. Bila kamu tidak melunasi hutang-hutang ayahmu, rumah ini beserta isinya akan kami sita!" jawab salah satu diantara mereka dan merekapun berlalu tanpa sepatah kata apapun lagi.
Jiho menghela nafaadas panjang. Beraaaat sekali rasanya. Baru saja tadi pagi dia menerima telepon, bahwa pihak bank meminta cicilan pembayaran untuk bulan ini. Dia bingung, karena selama ini Ayahnya tak pernah bercerita bahwa dia punya hutang yang banyak.
Dengan langkah yang berat, Jiho berjalan menuju rumah Pak Toha. Ia membawa berkas-berkas surat kepemilikan ladang ayahnya.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikum salam... Nak Jiho, sini masuk nak..." ujar Pak Toha mempersilahkan calon menantunya itu.
"Ada apa, nak?" tanya Pak Toha kembali saat mereka sudah duduk di ruang tamu.
"Ayah punya hutang Pak, tidak cuma satu atau dua orang. Dan jumlahnya cukup fantastis, saya bingung harus gimana?"
"Sabar ya, Nak... Apa yang bisa bapak bantu? Tapi kalau masalah uang, bapak juga tidak punya sebanyak itu, nak... Kamu lihat sendiri kan keadaan kami seperti ini..."
"Saya tahu pak. Gimana kalau saya minta tolong bapak, untuk menjual ladang ayah atau rumah ayah?"
"Ladang kalian mau dijual, nak?"
"Iya pak, mau bagaimana lagi. Aku gak punya tabungan sebanyak itu. Satu-satunya jalan ya, menjual apa yang Ayah punya."
"Iya, Nak. Nanti bapak bantu untuk menjualkannya ya, yang penting hutang ayahmu segera lunas."
"Iya, terima kasih banyak ya Pak..."
"Kamu tunggu disini dulu saja ya, nak... Biar Tiara nemenin kamu. Neng... Neng... Sini nak, temani calon suamimu ini," panggil Pak Toha pada anak gadisnya.
Tiara muncul dari dalam. Dia tersenyum, senyum yang menyejukkan hati.
"A, yang sabar ya..." ucap Tiara sambil duduk di sampingnya. A Jiho hanya menunduk dan menutupi wajahnya dengan satu tangan. Tiara mengisik-isik bahu tunangannya itu, membuat perasaannya makin kalut. Air matanya tumpah lagi. Tiara diam sejenak membiarkan perasaan Jiho menumpahkan segalanya.
Jiho menghela nafas dalam-dalam. "Maafkan aku, belum bisa menikahi kamu dalam waktu dekat," ucap Jiho kemudian.
"Iya, aku gak apa-apa A. Apa A Jiho baik-baik saja?"
"Seperti yang kamu lihat, aku tidak bisa bilang kalau aku baik-baik saja."
"Maafin aku, A..."
Jiho menoleh, kemudian tersenyum. "Sayang, kamu gak perlu minta maaf, kamu kan gak salah apa-apa. Justru aku yang harus minta maaf, pernikahan kita sepertinya akan tertunda lama."
Tiara hanya bisa mengangguk. "Terus rencana As bagaimana?" tanyanya kemudian.
Lagi-lagi Jiho menghela nafas panjang. "Hhhhhhh... Aa belum tau, sayang... Nunggu masalah ini beres dulu. Baru kita pikirkan tentang kita ya..."
"Iya, A."
***
Tiga hari sudah berlalu tapi keadaan belum berubah. Ladang Pak Wisesa belum ada yang beli. Dan seperti janjinya debt kolektor itu datang lagi, mereka menyita semua rumah yang kedua beserta isinya. Jiho tak bisa berbuat apa-apa lagi, bukti yang mereka bawa memang kuat. Jiho harus merelakan semuanya.
"Nak... Ini Pak Darmawan, beliau mau beli ladang almarhum ayahmu, nak..." ucap Pak Toha, ketika datang di rumah Jiho yang ada di desa.
Pak Darmawan memperkenalkan diri, dia akan membeli seluruh ladang milik Pak Wisesa beserta rumah yang pertama. Jiho hanya bisa mengangguk pasrah. Setelah semuanya saling setuju dan deal bertransaksi, akhirnya Jiho melepas kepemilikan ladang ayahnya. Sungguh sebenarnya dia tak rela, tapi bagaimanapun membayar hutang adalah kewajiban ahli warisnya. Pembelian ladang beserta rumah itu sudah disaksikan beberapa orang termasuk perangkat desa dan notaris.
Uang yang didapat dari hasil penjualan ladang dan rumah itu, Jiho langsung menyetorkannya ke Bank. Ternyata uang yang didapat tidak bisa untuk melunasinya, masih ada sisa hutang yang Pak Wisesa punya. Hal itu membuat Jiho semakin kalut. Apa yang harus kulakukan? tanyanya dalam hati. Kepalanya begitu terasa pusing seakan-akan mau pecah.
Saat ini, dia hanya bisa pulang ke rumah Pak Toha. Dia tak tahu lagi harus kemana. Semuanya sudah habis. Dia Jatuh, tersungkur sendirian.
***
Keesokan harinya....
"Pak, sepertinya saya harus merantau ke kota..." ucap Jiho saat dia duduk bersama calon mertuanya itu. "Hutang Ayah masih ada sisa, pak. Rumah yang di kota pun sudah buat jaminan Bank," lanjutnya kemudian.
Pak Toha hanya manggut-manggut tanda mengerti. "Iya, nak. Bapak selalu dukung keputusanmu, kamu sudah bapak anggap seperti anak sendiri, jangan sungkan-sungkan kalau ada apa-apa bicaralah sama bapak," jawab Pak Toha kemudian.
"Boleh saya bicara sama Tiara, Pak?" tanyanya kemudian.
"Iya, nak... Bicara baik-baik sama Tiara, dia pasti mengerti," jawab Pak Toha lagi.
Tiara keluar sambil membawa teh manis dan cemilan. "Neng, temani calon suamimu dulu ya... Bapak pergi dulu ada urusan," ujar Pak Toha kepada anak gadisnya itu.
"Baik, pak..." jawab Tiara.
Pak Toha berlalu meninggalkan mereka karena ada urusan. Akhir-akhir ini bapaknya ikut sibuk mengurus masalah Pak Wisesa.
-bersambung-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Djohan
Mudah di pahami sekali alur ceritanya kak. Sukses buat Authornya😊.
Bila berkenan mampir juga ya ke halamanku, terima kasih kak😆
2021-01-29
0
Felicia
Sudah ku Boom Like ceritamu Thor mohon balasannya yah thor singgah ke Ceritaku yang judulnya
🥰🥰🥰 Sad Marriage
🌺🌺🌺 My Poor Mama
2020-11-18
0
Rasinar Yohana
semangat kaka
2020-09-28
1