Bab 5

Mengerjakan tugas sudah selesai.

Andi masih tetap murung tidak seceria sebelumnya.

"An, lo, kenapa?" tanya Sandra penasaran.

"Apa karena Hanifah saudara lo?" tanya Adam menyelidik

Andi melirik Hanifah.

Hanifah asyik membereskan buku milik Andi.

"Lo, harusnya bahagia, An, karena lo dan Hani akan selalu dekat,"

"Tapi gua suka sama dia," suara Andi pelan

Hanifah melirik ke arah Andi.

"Apa An?"

"Tidak, gak apa-apa," jawab Andi gelagapan.

Andi membawa buku ke kamarnya dengan wajah yang murung.

Adam yang menyadari itu ikut ke membantu membawakan buku milik Andi.

"Andi, lo, seriusan suka sama Hanifah?"

Andi menganggukkan kepalanya.

"Emang lo sanggup memenuhi semua persyaratannya?"

"Akan gua coba,"

"Ya, jika memang itu mau lo, coba dulu saja lo hijrah sesuai dengan kemauan Hanifah,"

"Tapi kan dia saudara gua,"

"Setahu gua kalau saudara masih bisa untuk dinikahi,"

"Serius?" tanya Andi dengan antusiasnya.

"Iya,"

Wajah Andi kembali ceria.

Andi kembali ke ruang tamu.

"Kemana Hanifah?" tanya Andi kepada Sandra.

"Katanya mau membantu nyokap lo masak,"

Andi ke dapur untuk mencari Hanifah dan ternyata benar Hanifah sedang membantu memasak mamahnya.

Ada perasaan haru saat melihat mereka dekat, apalagi senyuman Ibu yang telah hilang karena meninggal anak perempuannya alias adiknya Andi yang baru menginjak usia 15 tahun, karena penyakit leukeumia.

Tidak terasa air mata Andi melintasi pipinya.

"Hanifah sekarang tinggal dimana?" tanya Mamahnya Andi.

"Tinggal di kosan, Tante,"

"Kenapa di kosan, disini saja, supaya Tante ada teman. Dan Andi juga bisa selalu belajar bersama dengan Hanifah,"

"Nanti coba Hanifah pikirkan ya, Tan,"

"Mau saja Han, biar nyokap gua selalu tersenyum seperti itu," sela Andi.

Hanifah menatap wajah Mamahnya Andi dengan sangat lekat.

"Gua gak pernah melihat senyuman itu, setelah meninggalnya adik gua yang berusia 15 tahun karena sakit leukeumia,"

Hanifah memeluk Mamahnya Andi, "Tan, anggap saja Hani ini anak Tante,"

"Terima kasih sayang, Tante harap pun, Hanifah anggap Tante Ummahnya Hanifah,"

"Iya, Tan,"

Hanifah melepaskan pelukan dan kembali memasak.

"Tante terakhir ke Banjaran tahun kemarin, sempat ketemu dengan Ayahmu, Tante bertanya keberadaanmu, jawabannya tidak tahu, ada apa?"

"Tidak apa-apa, Tan, saya hanya ingin hidup mandiri saja dan tidak ingin mengganggu kehidupan baru Abba,"

"Memang Hanifah tidak di biayai?"

Hanifah tidak menjawab.

"Sudah kalian kan baru ketemu nih, jangan membahas yang berat dulu, sekarang ceritakan yang ringan-ringan saja," celetuk Andi ketika melihat perubahan wajah Hanifah.

"Oh, iya, maafkan Tante. Mungkin itu bagian yang sangat ingin Hanifah lupakan,"

Hanifah masih diam.

"Bu, besok Sabtu Andi dan teman-teman mau ke Banjaran, mau ziarah ke kuburan tante Safitri,"

"Oh, iya, ide bagus itu, sekalian Mamah mau ikut juga ya,"

Andi melirik ke arah Hanifah.

Hanifah mengangguk.

"Kalau begitu mobilnya pakai yang Mamah ya, supaya besar jadi leluasa. Kalau yang Andi daya tampungnya sedikit,"

"Pakai sopirnya juga ya, Mah?"

"Boleh,"

Hanifah tersenyum.

Semua menu berhasil di masak oleh Hanifah.

"Hani, kamu suka masak juga?"

"Tante Safitri dulu memiliki usaha catering, cuma sayang tidak berkembang karena tidak diberikan izin oleh abba nya Hanifah,"

"Kenapa?"

"Abba nya Hanifah itu orang yang paling kaya di Banjaran,"

"Wah, Andi baru tahu, tapi kenapa lo mau jadi pembalap kalo bokap lo kaya?" Tanya Andi

"Yang kaya kan Abba, saya mah tidak, oleh karena itu saya ingin usaha dikaki saya sendiri supaya bisa jadi kaya," jawab Hanifah bijak.

"Nah, itu yang membuat gua jatuh cinta sama lo, meski dibesarkan dengan harta yang berlimpah tidak menjadikan lo sombong atau berleha-leha,"

"Apa Andi?" tanya Mamahnya.

"Tidak, Mah,"

"Kamu tidak bisa menikah dengan Hanifah, karena kalian satu susu, saat Tante Safitri melahirkan Hanifah harus di rawat beberapa hari, jadi Hanifah diberikan Asi sama mamah," cerita Mamahnya

"Yaah," wajah Andi menjadi lesu kembali.

"Meski kita tidak bisa berjodoh, tapi kan kita masih bisa bersama, karena kita saudara dan anggap saja saya adiknya kamu," jawab Hanifah.

"Ya sudah, gua ikhlas menerima takdir kalau lo adik gua,"

Hanifah tersenyum lebar penuh kemenangan.

Semua makanan sudah Hanifah hidangkan di atas meja.

Andi memanggil Sandra dan Adam untuk makan.

Mamahnya Andi menyiapkan minuman.

Piring, gelas, sendok dan garpu sudah disiapkan oleh ART yang ada di rumah Andi.

Semuanya sudah siap makan.

Hanifah tidak sungkan sampai menambah 1 kali lagi.

"Han, lo lapar atau doyan?" sindir Sandra.

"Iya, nih, kangen masakan Ummah kayaknya,"

Mamahnya Andi tersenyum.

"Ayo, San, silahkan tambah lagi," tawar mamahnya Andi.

"Gak apa-apa ya, Tan?" Sandra pun tambah lagi.

"Kalau lo mah, cape pacaran ya?" sindir Andi.

Adam mendelik melihat ke arah Andi.

Andi tersenyum tanda mengejek.

Hanifah dan Sandra sibuk makan.

Mamahnya Andi sambung makan buah jeruk.

Semuanya sudah selesai makan. Hanifah dan Sandra membereskan piring bekas makan. Mamahnya Andi membereskan makanan sisa.

Setelah semuanya sudah rapi, Sandra, Hanifah dan Adam pamit. Mereka di antar oleh Andi.

Hanifah mencium tangan Mamahnya Andi.

"Hanifah, Tante tunggu ya untuk menginap disini, namun Tante alangkah senangnya jika Hanifah mau tinggal disini,"

"Iya, Tan, nanti Hanifah pikirkan.

Mereka pun pulang.

Hanifah banyak diam.

Andi fokus di balik kemudi.

Adam dan Sandra memejamkan matanya.

Sampai di kosan Hanifah dan Sandra, terakhir Andi mengantarkan Adam.

Hanifah dan Sandra masuk ke dalam kamarnya masing-masing.

"Gua masuk ya, Han,"

"Iya, saya juga mau langsung tidur,"

Hanifah langsung membantingkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Sudah tidak sadarkan diri dan masuk ke alam mimpi. Tidak ingat shalat isya, tas dan sepatu di lempar ke sembarang tempat.

"Hani!" panggil ummah

"Ummah," jawab Hanifah kaget

"Iya, sayang, sekarang Hanifah tidak sendirian lagi ya?"

"Iya, Ummah, Hani ketemu sama Tante, kakak sepupunya Ummah, orangnya baik, bahkan sangat baik,"

"Hani bahagia?"

"Iya, Ummah, meski ummah tidak akan tergantikan namun sedikitnya sekarang ada orang terdekat dengan Hani,"

"Alhamdulillaah, kalau Hani bahagia. Ummah jadi senang mendengarnya,"

"Iya, Ummah, yang tenang ya disana," sambil memeluk Ummah.

"Jangan lupa do'akan Ummah dan Abba,"

"Abba?"

"Iya, Abba. Silaturahim dan temui Abba ya, Abba selalu menunggu kedatangan Hani,"

Hanifah terdiam.

"Bagaimana pun Abba tetap Abbanya Hani, Abba sangat sayang sama Hani, Ummah tidak mengajarkan Hani untuk memiliki keras hati kan?"

Hanifah menggelengkan kepalanya.

"Temui Abba ya sayang, ini permintaan Ummah,"

"Baik Ummah, jika itu keinginan Ummah, Hani akan menemui Abba," janji Hanifah.

Ummah tersenyum.

"Kalau istri Abba tidak menerimanya bagaimana, Ummah?"

"Ummah percaya Hani akan bisa menyelesaikannya," sambil tersenyum dan melangkah mundur meninggalkan Hanifah

"Ummah mau kemana?" teriak Hanifah

Ummah tidak menjawab hanya tersenyum dan melambaikan tangannya, semakin lama semakin menjauh dan menghilang.

"Ummmmmaaaaaahhhhh," teriak hanifah lagi.

Hanifah terbangun dengan keluar keringat dingin.

"Astagfirullahal adziim," ucap Hanifah.

Dilihatnya jam di dinding, sudah menunjukkan pukul 23.00.

Hanifah bangkit dari tempat tidurnya lalu pergi ke kamar mandi untuk wudhu.

Keluar kamar mandi.

Shalat isya dan shalat witir.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!