...
“APA?! Konyol sekali. Ini bukan dongeng atau drama.” Aku menggerutu pelan.
“Dan ini.” Lelaki ini tiba-tiba merogoh tasnya, mencari sesuatu.
“Karena kita sedang membahas pergantian nama kepemilikan tanah, Nyonya Rose ingin saya memberikan ini. Benar tebakannya bahwa Nona sendiri akan meminta pergantian nama kepemilikan.” Dia justru tersenyum kecil sembari menyerahkan amplop putih kehadapanku.
“Apa lagi yang anda rahasiakan? Apa ada selain ini?” Aku menatapnya curiga. Lelaki paruh baya ini terkekeh pelan.
“Tidak. Ini yang terakhir.”
Aku menghela napas, menatap amplop ini sembari menebak-nebak isinya.
“Baiklah, saya pamit Nona. Saya menunggu undangan pernikahannya.” Pak Seno menatapku jahil sebelum dia pergi dari hadapanku.
Aku menghela napas Panjang sepeninggalannya. Jika seperti ini aku tidak bisa cepat-cepat mengubah nama kepemilikannya.
Tiba-tiba getaran ponsel mengalihkan pandanganku. Ada pesan dari Dokter Cilia. Dia mengingatkan aku untuk datang ke rumah sakit hari ini.
Lalu ponselku kembali bergetar pertanda ada pesan lain masuk dari Daniel.
From : Daniel Adikku
Ka Icha, bisa datang ke rumah? Ibu masih sakit karena masalah
rentenir itu. Ibu ingin membahasnya dengan kakak.
Aku menelan saliva susah payah setelah membacanya. Aku bisa menebak pertemuan kami. Baru membayangkannya saja membuat dadaku terasa sesak.
Tapi ibu sedang sakit. Di dalam hatiku, aku juga mengkhawatirkannya. Terdiam sambil berpikir, aku tidak beranjak dari sana. Hanya menatap kosong ke luar café. Melihat bagaimana mobil dan motor yang lewat di jalan raya.
Hanya dengan memikirkan tentang ibu saja tiba-tiba tenggorokkanku kembali terasa dan kaku. Aku cukup bersyukur hari ini dan kemarin setelah sadar, suaraku bisa terdengar tapi aku tidak yakin bagaimana harus menghadapi ibu kali ini.
Aku tidak bisa membencinya, dia adalah ibu yang melahirkanku. Meskipun samar, aku bisa ingat saat kecil dulu
ayah dan ibu sangat menyayangiku. Setiap hari ibu akan membuat bekal untuk makan siang ayah. Ibu juga selalu mendukungku ketika ayah tidak setuju akan beberapa hal. Dan kenangan itu berhenti tepat di umurku hendak menginjak tujuh tahun. Semuanya hilang seolah apa yang aku rasakan selama ini adalah mimpi.
Tujuh tahun lalu, pertama kali aku bertemu dengan dokter Cilia dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Setelah lulus sekolah menengah atas, aku tiba-tiba di wariskan rumah dan beberapa tanah milik bibi Rose.
Sejak aku kecil, bibi Rose sangat dekat denganku. Adik ibu itu begitu menyayangiku hingga terkadang ibu cemburu
melihat kedekatan kami.
Ibu semakin membenciku dan terang-terangan mengatakan hal-hal menyakitkan tentangku saat surat wasiat yang bibi tinggalkan tidak ada nama ibu atau Daniel di dalamnya. Aku di usir dan semuanya semakin memburuk.
Tidak ada tempat untuk bercerita, tidak ada yang mendengarkan bagaimana beban yang aku rasakan. Satu-satunya yang biasa menjadi tempatku menceritakan semuanya sudah tiada. Bibi Rose meninggalkanku sendirian.
Dari sanalah aku mulai sakit.
Sangat.
Dua hal yang paling menyedihkan bagi manusia di dunia ini adalah kelaparan dan kesepian.
Aku yang sudah terlalu lama menahan rasa sakit ini selama bertahun-tahun akhirnya memutuskan untuk tidak ingin berbicara lagi.
Perkataan ayah dan ibu dulu seperti menyihirku. Membuatku tidak bisa mengeluarkan suara. Membuatku enggan untuk bersuara. Membuatku tidak berani mengatakan sesuatu. Membuatku tidak menyukai suaraku sendiri.
Dokter Cilia menerangkan jika factor psikis lah yang membuat suaraku tidak keluar. Kondisi yang menyebabkan rasa sakit dan masalah pada fungsi tubuh, walaupun tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang seperti Rontgen atau tes darah.
Keluhan psikosomatis terkadang sulit dikenali, baik oleh penderitanya sendiri ataupun oleh dokter, karena tidak menunjukkan tanda dan gejala yang spesifik. Namun satu hal yang pasti, gangguan ini dapat menyebabkan permasalahn yang nyata bagi penderita dan orang di sekitarnya.
Memikirkannya saja membuatku takut. Takut suatu saat nanti ternyata aku tidak bisa lagi berbicara, aku tidak bisa
lagi mendengar suaraku. Takut akan anggapan ibu karena aku menjadi putri yang cacat baginya. Takut aku akan lebih di benci oleh ibu.
Tiba-tiba aku merasa udara di sekitarku menipis. Dadaku sesak dan aku mulai cemas. Apa yang harus aku lakukan
sekarang? Aku tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal seperti itu. Selama ini satu-satunya yang membuatku bisa sembuh cepat dari rehabilitas beberapa tahun lalu karena kesibukan.
Bekerja dan kuliah yang menyita waktuku dari pagi hingga malam membuatku tidak terlalu sering memikirkan permasalahan itu. Aku harus berusaha menyibukkan diri!
Beruntung karena aku lari ke kegiatan seperti itu. Dokter Cilia sempat memberiku beberapa contoh kasus orang-orang yang depresi, mereka akan lari pada hal negatif atau justru keinginan bunuh diri semakin besar.
Seharusnya tadi pagi aku tidak usah izin bekerja agar aku tetap sibuk, agar pikiranku di penuhi dengan pekerjaan dan tugas kuliah. Agar aku—
BRAAAK!!
Aku sempat terlonjak kaget mendengar seseorang membuka pintu café secara brutal. Semua pelanggan menatap ke arah pintu dengan ekspresi kesal, begitupun denganku.
Tidak pernah menyangka bahwa dua orang pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam itu masuk dengan langkah angkuh, kedua mata mereka menatapku dan mereka berjalan menghampiriku.
“Kau Icha?” Tanyanya pelan setelah berdiri tepat di depanku. Aku yang tidak kenal dengan mereka hanya mengangguk kaget. Kemudian aku melihat kedua pria itu saling pandang dan mengangguk pelan. Seperti mereka tengah merencanakan sesuatu.
“Siapa kalian?”
“Ikut kami!”
“Aku tidak mengenal kalian.” Aku mencoba menolak halus, tiba-tiba merasa gugup dan takut.
Salah satu dari dua pria itu menunduk hingga wajahnya tepat berada di depanku. Lelaki ini tersenyum angkuh
lalu berkata.
“Kamu harus ikut kami sekarang. Kami tidak ingin menarik perhatian di sini.”
“Berikan alasan yang logis kenapa aku harus ikut dengan dua pria yang tidak aku kenal sama sekali. Atau apa ini
strategi baru penculikan?” Aku bertanya sembari melipat tangan di atas perut. Ini adalah gerakkan biasa seseorang jika meresa terancam dan aku merasakannya sekarang.
“Waahh ternyata seperti ini wanita yang di perebutkan oleh si Bayu dan Rey.”
“Apa?!” Aku sedikit memekik tidak percaya. Saat ini aku sangat tidak ingin mendengar nama dua pria itu. Tapi dua pria ini justru menyebutnya dengan nada meremehkan.
Jadi, mereka ada sangkut pautnya dengan Bayu dan Rey?
Gezz.. sampai kapan aku harus terlibat dengan urusan mereka berdua?
“Seperti yang kau lihat. Kami ingin membicarakan tentang mereka padamu.” Pria ini masih mencoba membujukku.
Aku menggeleng. “Aku tidak ada urusan dengan mereka berdua. Kalian mencari orang yang salah. Sekarang kalian
boleh pergi atau aku akan panggil polisi.”
Meskipun sedikit mengancam mereka, tapi aku tidak melihat ekspresi ketakutan mereka. Jika seperti ini bisa saja mereka adalah tentara atau justru dari geng mafia seperti Rey.
Ya ampun!! Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu mafia semudah ini. Terlebih selama 24 tahun hidupku, aku tidak pernah berpikir geng mafia aktif di kota ini.
Aku yang tetap menatap mereka tajam, penuh keyakinan jika aku tidak mau ikut bersama mereka akhirnya mereka
menyerah. Tanpa berkata apapun kedua pria itu berbalik keluar dari café.
Tapi perasaanku mengatakan aku tidak akan bisa lepas dengan mudah seperti ini.
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 348 Episodes
Comments