...
Hangat.
Sunyi.
Aku bisa merasakan suasana damai ini ketika perlahan pandanganku yang buram tergantikan dengan langit-langit kamar berwarna pastel. Indra penciumanku begitu tajam mencium aroma antiseptik dan obat-obatan.
Aku merasakan kaku di sekujur tubuhku, juga tangan kiriku rasanya ada yang mengganjal. Aku mengangkat tanganku itu dan mendapati suntikan infus di sana. setelah menatap ke sekeliling aku tidak mendapati siapapun, aku sendirian dan kaca jendela menunjukkan langit malam.
Ingatan terakhirku adalah ketika aku bertemu wajah Bayu, setelah itu aku tidak hanya mencium wangi tubuhnya tapi suara barithone nya sangat jelas di telingaku. Suara detak jantungnya seperti menempel di depan telingaku dan—dan.. Ahh wajahku rasanya terasa panas,
Tiba-tiba saja jantungku berdetak cepat, memikirkannya saja membuatku sangat gugup. Bagaimanapun aku mengenal Bayu, dia adalah mantan pacarku, dia juga adalah teman masa kecilku dulu.
Aku ingat saat berumur tujuh tahun pertama kali bertemu dengannya, aku adalah anak baru di sebuah tempat les, dia ada di sana, duduk di bangku ke tiga dari belakang dengan wajah datarnya menatapku saat aku memperkenalkan diri di depan kelas. Karena kami sering satu kelas, aku tahu ternyata dia bukan anak pendiam seperti kesan pertamaku padanya, dia sangat amat jahil dan selalu berlari-larian di kelas Bersama teman-teman lelaki yang lain.
Kemudian tak lama aku dan dia saling berbicara, dia mulai menjahiliku yang membuatku harus mengejarnya di dalam kelas karena terlalu kesal dengan kelakukannya. Aku hanya mengenalnya kurang dari dua tahun lalu setelahnya dia pindah sekolah.
Setelah sepuluh tahun, akhirnya aku bertemu lagi dengannya karena ternyata teman baikku adalah sepupunya. Aku tidak pernah tahu seseorang yang sering di ceritakan teman baikku itu ternyata adalah Bayu. Mereka sangat dekat.
Di umur tujuh belas tahun aku dan Bayu kembali bersama sebagai teman lama, kami jadi sering main bertiga kemanapun hingga saat teman baikku itu harus pergi dari kota ini untuk melanjutkan kuliahnya di kota lain, kemudian tersisa hanya aku dan dia.
Kami pacaran kurang dari dua tahun, kemudian aku memutuskannya dan pindah ke luar kota untu melanjutkan kuliah dan bekerja di cabang kota itu. Aku ingat bagaimana dia memintaku untuk tetap setia saat dia berada di camp militer, mengejar mimpinya sebagai seorang tentara. Tapi aku mengecewakannya, aku tidak memenuhi janjinya. Aku malah meninggalkannya dan sekarang setelah lima tahun aku kembali ke kota ini dengan perasaanku yang selalu sama sejak aku meninggalkannya.
Namun aku sadar, aku tidak seharusnya tersipu malu saat mengingatnya, jantungku tidak seharusnya berdetak
lagi untuknya. Aku sudah memutuskan untuk menjauhinya lima tahun lalu, aku seharusnya tidak melibatkannya lagi dalam hidupku. Tapi, memikirkannya saja membuat tenggorokkanku sakit, mataku panas dan dadaku sesak.
Mungkin, andai saja kehidupanku lebih baik, andai saja aku bisa membawa lelaki itu ke hadapan ibu dan mengatakan ‘Ibu, ini adalah lelaki yang aku cintai, yang ingin aku temani seumur hidupku.’ Tapi aku takut, sangat.
Aku takut Bayu tidak bahagia bersamaku, aku takut membawanya ke masalah keluargaku, dan yang paling aku takutkan Bayu akan di manfaatkan oleh Ibu dan Daniel.
Memikirkannya saja membuatku ingin menangis, aku membutuhkan udara segar. Maka sebelum aku benar-benar menangis di sini aku segera bangkit duduk dengan susah payah meskipun badanku terasa pegal. Kemudian aku melirik selang infus dan melihat cairan di dalam kantung sudah habis.
Perlahan aku mencabut jarum di tenganku, meskipun berdarah tapi aku tidak ingin berjalan sambil membawa infus. Sekali lagi aku melirik ke sekitar ruangan ini. Di atas nakas di samping tempat tidurku ternyata ada tas milikku. Kemudian jaket dan bajuku ada di atas sofa. Aku baru menyadari jika aku sudah memakai baju pasien namun aku masih memakai celana skinny hitamku.
Aku meraih jam tangan di atas nakas, menunjukkan pukul tiga pagi. Jika diingat-ingat lagi aku sudah tidur lebih dari lima belas jam. Sekarang aku merasakan tubuhku terasa lebih baik, aku bisa berjalan ke pintu kamar dan membukanya.
Lorong rumah sakit ini terlihat sangat sepi, di ujung koridor ini ada podium panjang tempat suster-suster bekerja, tapi aku hanya melihat beberapa dari mereka sedang mengobrol di sana. Tidak melihatku yang keluar dari pintu,
Karena tidak ingin bertemu suster-suster itu, akhirnya aku mulai berjalan ke arah lain, melihat ada pintu tangga darurat di ujung koridor. Aku yang benar-benar membutuhkan udara segar, tanpa pikir panjang langsung masuk kesana, tangga darurat pagi ini tampak remang-remang cahaya lampu dan menyeramkan. Tapi aku tetap melanjutkan langkahku menaiki tangga, entah kemana akan membawaku tapi aku ingin mencari setidaknya balkon rumah sakit ini.
Aku ingat, ayah pernah memberitahuku jika aku lahir tengah malam tepat pukul dua belas lewat lima menit. Sejak kecil ketika aku takut akan sesuatu ayah selalu mengatakan mitosnya jika orang yang lahir tengah malam adalah orang yang pemberani, dia tidak akan takut pada hal-hal sepele seperti hantu. Karena sering mendegarnya, aku tumbuh menjadi gadis yang tida mudah takut pada hantu atau kegelapan. Aku bisa pulang kuliah malam sendirian hingga jam dua belas malam dan syukurnya aku tidak pernah terganggu dengan yang namanya hantu.
Seperti sekarang, meskipun tangga ini memang terlihat menyeramkan tapi aku tetap melangkah maju. Dan dugaanku ternyata benar, setelah melewati tiga lantai akhirnya aku bisa melihat pintu kaca yang mengarah langsung pada tempat yang luas. Ini seperti rooftop tapi bukan, karena masih ada tangga yang lain untuk naik ke atas tapi aku cukup puas di sini.
Aku bisa melihat rumah-rumah dan gedung tinggi dari tempatku berdiri, angin berhembus kencang menerpa tubuhku, aku tidak mempedulikan seberapa dingin pagi ini. Aku merasa senang bisa menemukan ketenangan seperti ini. Yang aku dengar hanya hembusan angin, aku menyukai saat sendirian seperti ini karena aku jadi bisa memikirkan banyak hal.
Aku adalah orang yang senang berpikir, aku adalah orang yang senang mendengar, aku tidak akan banyak berbicara ketika itu tidak di perlukan. Teman-temanku bilang aku adalah seorang introvert. Tapi aku pandai bergaul dan menyukai kebersamaan bersama teman-teman. Aku pasti meluangkan waktu untuk bertemu dengan mereka meskipun kesempatan bertemu kami hanya satu tahun sekali. Namun sekali lagi aku adalah orang yang tidak mudah menceritakan masalahku pada orang lain.
Jika seperti ini memang terdengar egois karena aku hanya memikirkan diriku sendiri, tapi bukan kah sesekali aku harus egois demi kebahagian batin?
Aku menghela napas panjang dan mengeluarkannya, aku memejamkan mata merasakan angin itu terus bergerak menerpa tubuku, membuat rambut panjangku ini sedikit berantakkan.
Braakkk...
Ketenangan batinku harus hancur saat aku mendengar suara bantingan pintu, bukan berasal pintu kaca di belakangku ini tapi aku sangat yakin suara itu dari dalam rumah sakit entah lantai berapa.
Mencoba untuk tidak mempedulikan, aku kembali membelakangi pintu untuk menikmati pemandangan kota di hadapanku ini. Aku senang bisa merasakan nyaman seperti ini, aku—
BRAAAAKK!!!
Kali ini suaranya terdengar semakin dekat dan keras, sedikit kesal dan penasaran, aku berjalan perlahan menuju
pintu kaca ini dan aku melonjak kaget saat seseorang muncul dari sana.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 348 Episodes
Comments