PRANGGG…
Aku tidak sengaja menyenggol gelas yang biasa di pakai hingga pecah. Karena sedang malas membereskannya, akhirnya aku hanya membiarkannya dan akan minta bantuan office boy besok pagi.
Tiba-tiba pikiranku teringat akan Bayu satu minggu lalu. Dia berjanji ketika kembali kami akan berbicara serius. Apa yang harus di bicarakan? Kenapa rasanya aku benar-benar mengharapkan pembicaraan kami? Eiyy.. Aku sudah bertekad untuk melupakannya dan tidak membawanya ke dalam hidupku lagi. Meskipun sangat susah tapi aku sudah berjuang selama ini. tidak mungkin semuanya berantakkan karena dia kembali.
Karena tidak ingin lagi berpikir terlalu jauh tentang Bayu, aku segera membereskan meja untuk bersiap menghadiri kelas kuliah malam.
Aku sudah ada di depan pintu utama kantor ini, memperhatikan sekali lagi gedung di belakangku. Tidak ada siapapun kecuali aku disini. Namun langkahku terhenti saat pak Ronald yang berjaga hari ini datang menghampiri.
“Bu, ada tamu yang menunggu untuk bertemu.” Katanya.
Aku mengerutkan kening merasa tidak ada janji bertemu dengan siapapun. Saat pak Ronald menunjukkan arah ke sebuah mobil hitam.
Di depan kap mobil sudah berkumpul tiga orang pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam menatapku. Aku hanya mengangguk pada pak Ronald lalu pria paruh baya itu pergi masuk ke dalam gedung untuk mengunci pintu-pintu.
Aku berjalan perlahan menghampiri mereka, meskipun cahaya lampu di tempat parkir hanya samar-samar dan cukup gelap tapi aku bisa melihat tatapan pria-pria itu terasa mengintimidasi.
Entah mengapa jantungku berdetak sangat cepat. Ragu apakah harus menghampiri mereka. Mungkinkah mereka penagih utang baru karena Daniel berulah lagi meminjam uang ke Bank untuk bisnis tambangnya? Atau penagih utang lama yang—
Refleks aku menghentikan langkahku begitu hanya beberapa meter dari mereka. Aku benar-benar merasa memiliki perasaan buruk tentang semuanya.
Ketika aku berbalik hendak kabur, namun tarikan tangan dari belakang menghentikan aku. Aku berbalik mendapati tiga pria ini sudah berdiri mengelilingiku.
“Icha? Natasha Icha Davindra? Betul?” Aku diam tidak menjawab, berusaha melihat wajah mereka yang samar-samar aku lihat. Oh tidak, bahkan aku tidak bisa mengenali bagaimana wajah mereka karena gelap.
“S—siapa kalian? Langsung pada intinya saja!” Sial, suaraku terdengar tercekat dan gugup.
Aku bisa melihat mereka saling tatap seolah sudah menduga reaksiku. Ditambah, sejak tadi pria yang ada di samping kananku terus memegang pergelangan tangan seolah tidak membiarkan aku untuk pergi.
“Kami hanya ingin tahu dimana Bayu sekarang. Tugas apa yang sedang dia kerjakan sekarang?”
“Apa? Kenapa kalian menanyakannya padaku. Dan bisakah kamu lepaskan tanganku?” Aku masih meminta dengan sopan pada pria di sampingku ini. Kemudian aku merasakan dia mulai melepaskannya.
“Jawab saja pertanyaan kami!!” Tiba-tiba pria yang ada di hadapanku menggertak marah. Refleks aku memundurkan kepala kaget.
“Hei. Tenang!” Pria lain mencoba menenangkannya.
“Tidak usah banyak tanya! Jawab saja apa yang di lakukan Bayu sekarang!” Dia masih berkata marah.
Aku menghembuskan napas panjang sebelum menjawab dengan kesal. “Aku tidak tahu Bayu dimana, apa yang dia lakukan atau siapa dia. Kalian membuang-buang waktu jika terus memaksaku untuk menjawab karena aku memang tidak tahu!”
“Jangan bohong! Bayu beberapa kali mengunjungi rumahmu!”
Aku kini melangkah mendekati pria yang tiba-tiba marah seperti ini. Dengan kedua tangan di pinggang dan aku memberinya tatapan tajam meskipun aku hanya bisa melihat samar-samar wajahnya.
“Aku. Tidak. Tahu! Apa kau mengerti bahasaku, hah?”
“Mana mungkin kamu tidak tahu! Kamu adalah pacarnya!!” Pria ini masih keukeuh sembari ikut melangkah mendekat, aku yang mendongak menatap wajahnya yang ternyata cukup tinggi.
“Mantan! Dan aku tidak ada urusannya dengan kalian. Sekarang minggir!!” Aku mendorong pria itu agar menyingkir dari jalanku. Aku sudah biasa menghadapi orang-orang sejenis pria ini dan aku sudah kebal mendengar intonasi tinggi mereka.
Siapapun mereka, aku benar-benar tidak ingin peduli sama sekali. Aku tahu mereka hendak kembali mencegahku untuk pergi tapi melihat Pak Ronald keluar dari pintu utama kantor sepertinya menghentikan niat mereka.
Setidaknya aku harus segera kabur dari sini.
***
Seperti biasanya, pukul tujuh lewat lima belas pagi aku sudah keluar gerbang rumah membawa motor matic lalu menguncinya, melakukan aktifitas biasanya.
Ketika aku hendak memakai helm, gerakkanku terhenti melihat sosok wanita paruh baya berdiri tak jauh di hadapanku.
“Ibu? Kenapa kau ada di sini?”
Ibu berdecak tampak kesal kemudian melangkah mendekatiku. Ada apa ini pagi-pagi Ibu sudah kesal padaku. Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, tiba-tiba ibu melempariku dengan sesuatu dari tangan kanannya.
“Ibu tidak pernah mengajarimu merebut pria yang sudah beristri!! Inilah akibatnya anak gadis tinggal sendirian dan kamu tidak ingin menjual rumah ini! seharusnya kamu jual dan berikan uangnya untuk bisnis adikmu!!”
Aku terkejut bukan main saat mengetahui ibu melempariku dengan garam di tangannya dengan pandangan seolah jijik. Sekarang di rongga dadaku terasa ada setitik rasa sakit yang mulai menyebar membuat jantungku berdetak cepat dan tenggorokkanku terasa sakit.
“Ibu! Aku tidak seperti itu!” Aku berusaha menghentikan perlakuan ibu, tapi ibu terus mengeluarkan garam dari keresek hitam di tangannya.
“Kau seharusnya segera menikah dengan pria yang ibu pilihkan! Dia pria baik yang sudah terjamin kehidupannya di perusahaan Berlian Grup. Dia langsung menyukaimu setelah ibu memperlihatkan fotomu. Jika tahu akan seperti ini kamu benar-benar anak tak tahu malu!”
“Aku tidak mau di jodohkan dengan pria tua itu! Aku tidak merebut pria yang sudah beristri! Semuanya hanya gosip dan salah paham, bu.”
“Pergilah hawa negatif.” Ibu tidak menghentikan tindakannya, aku merasa malu karena ternyata sudah banyak yang melihat dan Ibu seolah tidak peduli akan hal itu.
Kini ibu-ibu komplek akan puas membicarakanku.
Akhirnya aku segera meraih tangan Ibu, aku berniat untuk membawanya menemui Ibu Lulu. Menariknya untuk menghindar dari kerumunan menuju rumah yang ada di ujung jalan blok ini.
“Lepaskan aku! Aku tidak mau terkena sial sepertimu! Aku lebih baik tidak mengakuimu sebagai anakku! Kamu membuatku malu!!”
“Ibu! Dengarkan dulu penjelasan dari Ibu Lulu, ibu ketua RT di sini!!” Aku mencoba untuk menghentikan ucapan Ibu, karena aku tahu Ibu akan terus berbicara dengan kata-kata yang menyakitkan.
Seperti sudah mendegar kegaduhan, Ibu Lulu keluar dari rumahnya begitu aku sampai.
“Bu Lulu, maaf mengganggu pagi-pagi. Bisa Ibu jelaskan mengenai masalah kemarin pada Ibuku? Dia tidak percaya padaku.”
“Kalau begitu silakan masuk—“
“Tidak usah! Putriku memberimu berapa untuk membuat ibu ketua RT menjawabnya kebohongan? Menjawab sesuai keinginannya?”
“Ibu!! Jangan membuatku malu di hadapan bu Lulu.” Aku menjerit tertahan benar-benar ingin menangis rasanya menghadapi Ibu.
Setelah mendengar kata-kata menyakitkan, setelah menerima perlakuannya, dan setelah membuatku malu. Aku seolah ingin menghilang. Aku ingin menangis sekarang. Dadaku terasa sangat sakit.
Ahhh Ibu.
Kenapa kau harus seperti ini padaku?
“Tidak apa Nak Icha.” Bu Lulu tampak menenangkanku dengan intonasi lembutnya. Seperti Ibu normal pada umumnya.
“Semuanya hanya salah paham, bu. Apa yang di gosipkan itu tidak benar. Saya sudah mengkonfirmasinya ke dua belah pihak.”
“Jangan berani-beraninya ibu Lulu berbohong. Saya tahu anak saya—“
Aku tidak ingin mendengar lagi perkataan Ibu, maka aku segera berbalik dan berlari menjauh meskipun ibu berteriak memanggil. Aku hanya tidak ingin merasakan rasa sakit yang lebih dalam lagi.
Tenggorokkanku terasa sakit, mataku memanas dan sebentar lagi aku pasti menangis. Pengaruh Ibu memang sangat kuat, ibu bisa dengan mudah membalikkan perasaanku.
Tidak ingin meratapi kesedihanku, aku harus segera berangkat kerja sebelum terlambat. Hanya kesibukkan yang bisa membuatku melupakan semua ini walau sebentar.
.
..
…
Moodku sangat buruk hari ini. Setelah kejadian dengan Ibu pagi tadi, seharian ini di kantor aku harus menghadapi orang-orang menyebalkan yang satu tipe dengan pria pemarah tadi malam.
“Kerjakan saja dulu semuanya. Aku akan mengurus tugas akhirnya dan memeriksa semuanya.” Camila mengangguk begitu aku menjawab pertanyaannya tadi. Kemudian temanku ini tidak langsung kembali ke tempatnya, dia memberikan sekaleng susu ke hadapanku.
“Tadi sepertinya kau tidak makan siang. Ini aku belikan susu supaya bos-ku ini tidak sakit. hehehe.” Aku ikut terkekeh pelan dengan niat baik Camila. Sore ini di ruangan hanya tersisa aku dan dia karena sudah lewat satu jam dari jam normal bubar kantor.
“Makasih Mila. Aku sangat terharu, masih ada orang yang perhatian.” Aku membuat wajah sedih yang di buat-buat.
Camila tertawa kemudian berkata. “Makannya, cepetan cari pacar!”
“Isshh.. Perhatian engga cuma dari pacar aja. Dari teman juga bisa ‘kan?” Camila mengangguk dan kami melakukan tos sembari tertawa puas.
.
..
…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 348 Episodes
Comments
Candies
hai aku balik lagi,, semangat selalu kak..
salam Possessive Brother
2020-07-10
1