...
“Icha, seharusnya kamu diam saja! Kamu cerewet sekali! Bukankah ini semua karenamu? Jika kamu tidak banyak bicara, kita pasti tetap Bersama!”
“Tidak usah berkata apa-apa lagi, jangan sampai kau memberitahukan semua orang tentang ini!!”
Suara ayah dan ibu terdengar sangat jelas di dalam mimpi. Aku yang baru saja membuka mata mendapati langit-langit kamar asing. Aroma antiseptik tercium menyengat.
Apa aku berbaring lagi di tempat ini?
Mataku mencari-cari seseorang di ruangan ini, tidak ada siapapun. Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku kuat begitu ingatan saat usiaku berumur enam tahun kembali teringat memenuhi pikiranku.
Perkataan ayah sebelum dia pergi dari rumah kami. Lalu perkataan ibu yang untuk pertama kalinya aku dengar sangat dingin terhadapku. Menyadari ibu yang masih sangat membenciku setelah semua yang aku lakukan membuat hatiku semakin sakit. Aku belum cukup berbakti padanya.
Aku segera bangkit duduk bersandar di kepala ranjang, menatap ke sekeliling. Ruangan ini menjadi tempat menginapku tujuh tahun lalu. Ketika semua rasa sakit yang aku pendam selama hampir sebelas tahun meledak. Ketika seorang anak yang baru berusia enam tahun harus mendapatkan kebencian yang mendalam dari sang ibu.
Dokter Cilia sudah membantuku sejak dia masih menjadi dokter residen di rumah sakit rehabilitas ini. Saat pertama kali aku tidak bisa bersuara tepat ketika aku baru lulus sekolah menengah atas.
Aku merasakan kedinginan, sangat!
Akhirnya aku hanya diam memeluk kedua lututku sembari mataku menatap keluar jendela. Sudah gelap di luar.
Lalu pikiranku berputar mengingat lagi sebelum aku pingsan tadi. Daniel menelpon dan ibu—dia mengatakan—dia—
Dadaku kembali sesak, mataku memanas dan tenggorokkanku sangat sakit. Air mataku sudah jatuh membasahi pipi. Aku menangis tanpa suara. Dalam hatiku, aku kembali menyalahkan diriku sendiri.
Seluruh tubuhku bergetar. Aku sudah tidak sanggup menahan rasa sakit ini. Semua perkataan ibu tertempel sangat jelas di ingatanku. Semua yang ibu ucapkan seolah menjadi bagian dari tubuhku.
Rasanya aku ingin menghilang dan pergi. Aku hanya sendirian. Aku tidak bisa menanggung semuanya. Aku membenci diriku sendiri!
Aku tidak ingin tubuh ini!
Aku tidak ingin nama ini!
Aku tidak ingin semua yang ada pada diriku!
“ICHA HENTIKAN!!”
Suara jeritan Dokter Cilia terdengar dan mengalihkan pandanganku yang sejak tadi menatap keluar jendela. Aku baru menyadari dokter Cilia sudah berdiri di sisi ranjang dengan kedua tangannya sudah mencengkram tangaku.
Aku menunduk melihat apa yang aku lakukan. Tangan kiriku sudah terdapat goresan merah di sana, kemudian aku mendongak menatap wanita berjas putih ini.
Ekspresi wajahnya sangat sedih.
Lihat? Aku lagi-lagi telah mengecewakannya. Orang terakhir yang sangat mempedulikanku.
“Hentikan! Berhenti menyakiti dirimu sendiri!”
Aku sudah membuka mulut untuk berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana.
Menyedihkan!
Aku sangat menyedihkan!
“Kita mulai lagi terapi, hm?”
Aku menggeleng, air mataku masih jatuh membasahi pipi. Pandanganku buram karena kelopak mataku sudah di penuhi air mata. Aku tidak bisa berhenti menangis, mataku terus saja mengeluarkan cairan itu.
Aku tidak merasa lebih baik meskipun sudah menangis. Dadaku masih sama sesaknya. Tenggorokkanku masih sama sakitnya.
“Kenapa kamu tidak mau terapi? Icha, dengar! Dokter akan membantumu untuk sembuh dan menjadi wanita yang hebat.”
Aku tenggelam dalam pikiranku, aku menghiraukan ucapan dokter Cilia. Aku masih menangis dalam diam tidak bereaksi apapun hingga membuat kepalaku terasa sakit dan pusing.
“Kenapa tubuhmu dingin seperti ini, huh? Kau ingin makan sesuatu?” Dokter Cilia sudah mengusap telapak tanganku, wajahku, lenganku agar aku hangat.
Setelah itu aku merasakan Dokter Cilia tampak memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Aku tidak menyadari apa yang wanita ini lakukan, yang pasti reaksinya tampak panik.
Jika terus seperti ini aku tidak akan sanggup menahannya.
Bibi, aku tidak bisa lagi menepati janjiku. Aku ingin pergi melupakan semuanya bi. Aku akan memberikan tanah, rumah pada Ibu. Aku akan meminta kantor untuk memindahkanku ke cabang yang sangat jauh atau mungkin aku akan mengundurkan diri dan memulai semuanya lagi dari awal. Aku akan keluar dari kampus dan meneruskannya di tempat baru nanti.
“Dokter Cilia—“ Aku mendengarnya, suaranya serak.
“Oh? Suaramu kembali?!” wanita ini tampak antusias menatapku. Aku baru menyadari kini seorang suster sedang menyuntikkan sesuatu pada cairan infusku.
“Aku ingin pergi dari sini.”
.
..
...
Aku turun dari dalam taksi tepat di depan pintu gerbang rumah. Sudah dua hari sejak aku tidak pulang. Dokter Cilia menahanku untuk memulihkan keadaanku. Meskipun akhirnya dengan susah payah aku bisa lagi mengeluarkan suara, tetap saja menurut wanita itu keadaanku sebenarnya masih tidak di perbolehkan meninggalkan rumah sakit.
Aku ingin cepat-cepat mengurus surat tanah itu untuk di berikan pada ibu. Aku ingin mengurus semuanya hari ini.
“Natasha.” Aku menghentikan langkahku ketika pandanganku menangkap sosok pria sedang berdiri di samping
pintu gerbang rumah.
Aku tidak berharap kehadirannya sama sekali. Tidak, sebenarnya aku tidak ingin bertemu dengannya. Aku sudah membuang semua harapan padanya beberapa hari terakhir ini. Dan yang terpenting aku ingin sendirian.
Mencoba menghiraukannya, aku berjalan lurus menuju pintu gerbang untuk membuka kuncinya. Aku tahu Bayu berdiri di belakangku, memperhatikan punggungku.
“Kau baru pulang? Dua hari ini kemana?”
Tidak ingin menjawab, aku masuk begitu saja ke dalam lalu cepat-cepat menguncinya kembali sebelum Bayu mengikutiku masuk.
“Hei. Icha, ada apa? Kenapa kamu menghiraukanku seperti ini?”
“Pergilah. Tidak ada alasan lagi kita bertemu.” Tanpa menatapnya aku menjawab pelan pertanyaannya lalu aku berbalik meninggalkannya yang sejak tadi memanggil namaku, berharap aku akan menoleh tapi aku benar-benar ingin sendirian sekarang. Aku tidak mau berharap pada harapan kosong lagi.
Seperti biasa, aku masuk ke rumah tidak ada yang menyambut. Udara dingin lebih terasa sekarang. Sama halnya
dengan hatiku yang telah hancur lebih dari berkeping-keping.
Tidak. Aku harus cepat-cepat mengurus semuanya. Aku ingin pergi dari sini secepatnya. Aku ingin melupakan
semuanya. Untuk kali ini saja, aku ingin berpikir egois.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku menelpon pengacara yang mengurus surat wasiat bibi dan mengatakan maksudku dan meminta untuk bertemu siang ini juga.
.
..
…
“Tidak bisa, Nona tidak bias mengubah nama kepemilikan.”
“Kenapa? Kenapa aku tidak bisa?” Aku cukup kaget mendengar pernyataan pria paruh baya di hadapanku ini. Pakaian dan rambutnya yang rapih menatapku dari balik kacamatanya.
“Ada beberapa hal yang belum saya sampaikan. Almarhum nyonya Rose berpesan pada saya jika keadaan membuat Nona Icha ingin mengganti nama kepemilikan maka Nona harus menyanggupi syaratnya.”
Ya ampun!! Kenapa susah sekali ingin melepas semua ini?
“Apa Syaratnya?”
“Nona Icha harus sudah menikah, baru Nona bisa mengganti nama kepemilikan tanah yang di wariskan.”
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 348 Episodes
Comments