***
“Selamat pagi. Permisi.”
Aku menyapa sambil membungkuk pelan ketika melewati ibu-ibu yang sedang mengobrol di sekitar jalan komplek rumah. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sering menemui beberapa kelompok ibu komplek sedang mengobrol di pagi hari. Padahal biasanya di jam biasa aku berangkat kerja, mereka jarang berkumpul.
Atau mungkin karena kepergianku beberapa tahun terakhir ini hingga tidak tahu kebiasaan baru mereka? Entahlah, yang jelas aku tidak hanya sering melihat mereka, tapi tak jarang mereka sempat menatapku dari bawah sampai atas, seperti sedang menilai penampilanku.
Karena sebenarnya tidak mau ambil pusing, aku sempat mengabaikannya tapi rasanya lama kelamaan mereka semakin terang-terangan menatapku dengan pandangan meremehkan. Sudah hampir seminggu ini setiap pagi makanan keseharianku di tatap oleh mereka.
“Oh, Nak Icha!” Aku berbalik begitu mendengar seseorang memanggilku dari salah satu kerumunan ibu-ibu di penjual sayuran. Seorang wanita cantik dengan pakaian yang modis untuk ukuran ‘pagi hari membeli sayur’. Aku kenal wanita ini, dia ibu ketua RT.
“Selamat pagi Bu Lulu.”
“Syukurlah akhirnya pagi ini ibu bisa berbicara denganmu. Sulit sekali menemuimu akhir-akhir ini.”
Aku hanya tersenyum kecil, entah harus bereaksi seperti apa karena memang keseharianku seperti ini. pergi bekerja pagi, pulang hampir tengah malam setelah menyelesaikan kelas kuliah pascasarjana.
“Bisa kita bicara di rumah ibu?” aku mengerutkan kening heran.
“Apa ada hal yang begitu mendesak? Oh iuran warga sudah saya bayar—“
“Bukan bukan! Nak Icha sudah membayar iuran untuk bulan ini. Ada hal lain yang ingin ibu bicarakan.”
Aku terdiam sejenak kemudian mengangguk menyetujui, sepertinya hari ini aku harus mengabari kantor jika akan datang terlambat.
.
..
…
“Ini minum dulu, apa Nak Icha sedang buru-buru?”
Tentu saja aku buru-buru. Ini kan biasanya jam aku berangkat ke kantor.
“Saya sudah mengabari kantor akan terlambat hari ini.” aku menjawab sambil tersenyum setelah Ibu Lulu meletakkan secangkir teh panas.
Sekarang aku sudah duduk di kursi ruang tamu rumahnya. Tidak ada siapapun selain kami. Aku tidak tahu ibu lulu punya anak berapa.
“Minum dulu. Santai saja dengan ibu. Tidak usah tegang.” Aku mengangguk kemudian meraih cangkir yang masih mengeluarkan asap kecil.
“Terima kasih Nak Icha sudah mau datang ke sini. sebenarnya ibu beberapa kali ke rumah Nak Icha, tapi sore selalu kosong rumahnya.”
“Ahh tidak apa bu, saya juga jarang ada di rumah. Biasanya saya pulang jam 11 malam.”
“Waah malam sekali ya ternyata. Apa Nak Icha tidak takut pulang sendiri?”
Aku menggeleng pelan. “Sudah biasa bu. Lagipula saya pulang larut malam juga karena ada kelas kuliah. Kalau tidak ada, pasti saya langsung pulang.”
“Oh ya, Nak Icha kan baru kembali ke sini beberapa minggu lalu yaa. Ibu lupa, hehehe.”
Aku menelan salivaku susah payah, tawa ibu Lulu terlihat di paksakan. “Ada apa ya bu? Apa ini ada hubungannya dengan ibu-ibu lain yang sering terlihat berkumpul setiap pagi?”
Ibu Lulu terlihat sedikit tersentak kaget karena tebakkanku. Dari wajahnya aku menebaknya benar.
“Maaf, ibu mau tanya. Nak Icha bekerja sebagai apa ya di perusahaan manufaktur pusat kota?”
“Saya hanya staf back office. Administrasi.” Aku menjawab lembut dan langsung di angguki ibu Lulu.
“Tidak apa bu. Katakan saja, mungkin ada perilaku saya yang menyinggung warga komplek?” Aku mendorong ibu Lulu agar tidak perlu basa basi. Setelah mendapat persetujuan, seolah ibu Lulu siap mengeluarkan apa yang dipikirkannya.
“Sebenarnya ibu-ibu di sini sedikit risih karena gosip yang beredar tentang Nak Icha.”
Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Rasanya aneh saja mendengar gosip beredar di komplek ini sedangkan aku sendiri jarang menampakkan diri di lingkungan ini.
“Gosip?”
Ibu Lulu mengangguk dan menghembuskan napasnya sebelum menjawab.
“Katanya, sekitar sepuluh hari yang lalu Nak Icha sering membawa laki-laki ke rumah setiap malam. Sedangkan orang-orang komplek di sini tahu kalau Nak Icha tinggal sendirian.”
Aku memang sedikit tersentak kaget tapi tidak menjawab sebelum Ibu Lulu menyelesaikan permasalahannya.
“Bukan hanya itu, kabar yang beredar juga mengatakan Nak Icha merebut suami orang, laki-laki itu sudah punya istri tapi setiap malam datang menemui Nak Icha.”
“Apa? Itu hanya gosip bu! Hahaha. Aku bahkan tidak mengerti datang dari mana gosip itu.” Aku jadi tertawa merasa lucu dengan omongan gosip ibu-ibu bisa sampai sejauh itu.
“Ada orang yang sempat melihatnya di jalan. Jika seorang pria sedang bertengkar dengan istrinya di jalanan komplek ini dan meninggalkan istrinya untuk menyusul Nak Icha.”
Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Kemudian ibu Lulu tiba-tiba menyerahkan ponselnya padaku.
Aku menerimanya dan melihat sebuah foto agak gelap di ambil tak jauh dari tempatku berdiri di pinggir jalan. Itu malam saat aku bertemu dengan Bayu untuk pertama kalinya. Di dalam memang ada tiga orang, Bayu, aku dan wanita yang berdiri di depan kap mobil, mobil yang hampir menabrakku.
“Ibu mengatakan ini karena ibu tahu Nak Icha orangnya baik. Ibu Rose adalah orang yang baik, maka orang yang di percayainya untuk menjaga rumahnya juga pasti orang baik juga.”
Aku tertegun begitu mendengar ibu Lulu menyinggung soal bibi Rose, orang yang menyayangi dan memperhatikanku lebih dari ibu ku sendiri. Bibi Rose yang mewariskanku rumahnya dan beberapa bidang tanah.
“Tidak usah khawatir bu, itu hanya gosip. Dan foto ini sebenarnya hanya salah paham. Mobil ini dikendarai oleh pria mabuk dan hampir menabrakku, sedangkan wanita ini adalah yang ada di dalam mobil. Ini adalah temanku, dia eumm—“
Aku bingung mencari kata untuk mengatakan jika Bayu adalah seorang tentara, tapi aku tidak ingin mengatakannya. Pasti akan semakin banyak gosip lain yang beredar.
“Ini adalah temanku. Sebenarnya malam itu temanku ini bersama temannya yang lain dan temannya yang lain itu membawa pria yang hampir menabrakku ke kantor polisi. Jadi hanya tersisa kami bertiga. Lain kali saya akan membawa temanku untuk menjelaskannya.”
“Oh benarkah? Syukurlah kalau begitu, ibu lega rasanya.”
“Dan tentang aku membawa temanku ke rumah juga itu tidak benar. Mungkin orang melihat temanku ini sering berkunjung malam hari, tapi aku tidak pernah membawanya masuk bahkan ke dalam gerbang. Kami hanya mengobrol di depan rumah sebentar dan dia pergi. Temanku berkunjung karena kami sudah lama tidak bertemu dan kami sama-sama sibuk jadi hanya sempat bertemu malam hari.”
“Syukurlah kalau semuanya hanya gosip. Mohon maklum ya nak Icha, ibu-ibu memang selalu seperti itu. Jarang mereka mencari kebenarannya dulu.”
“Tidak apa bu. Jika tidak percaya ibu bisa cek di CCTV komplek waktu dia datang dan pergi.”
“Oh ya. Ibu percaya pada Nak Icha. Ibu tidak perlu khawatir lagi kalau begitu.”
Aku tersenyum kecil setelah berhasil menjelaskan semuanya. Merasa sangat bersyukur memiliki Ibu RT yang bisa berkomunikasi dengan baik seperti ini.
“Nak Icha, jika ada apa-apa bisa hubungi ibu. Ibu lihat rumah Nak Icha jarang di bersihkan, Ibu bisa datang sesekali untuk melihat keadaan rumah.”
“Tidak apa-apa bu, Saya engga mau merepotkan bu Lulu.”
***
“Pulang saja. Sebentar lagi selesai.”
“Ya sudah, kami pulang duluan ya..”
“Oke hati-hati di jalan.”
Aku melambai pada teman-teman kantorku yang pamit pulang sore ini. Karena terlambat bekerja setengah jam tadi pagi, sekarang pekerjaanku belum selesai. Aku tahu, orang pusat memberiku deadline pekerjaan lebih hari ini karena tiba-tiba aku ijin terlambat pagi ini.
Setelah aku bergabung di kantor pusat di kota ini kurang dari satu bulan, aku merasakan tekanan-tekanan yang tidak biasanya. Dituntut lebih banyak menyelesaikan dengan di batasi sistem dan ruang gerak yang ada.
Selain itu, grup yang terdiri dari orang-orang penting perusahaan untuk lebih mudah berkomunikasi langsung juga tetap membuat aku belum biasa menghadapinya. Mereka selalu bertanya tentang pekerjaan hingga larut malam. Dan yang lebih menyebelkan lagi saat karyawan yang memiliki jabatan sepertiku hanya bisa menjawab ‘Baik pa/bu’ tanpa bisa menyuarakan pendapat kami.
Sejak tadi ponselku terus bergetar menandakan ada pesan masuk. Aku tahu itu dari grup chat yang di buat perusahaan. Mereka pasti terus membahas pekerjaan-pekerjaan lain tanpa mempertimbangkan pekerjaan sebelumnya yang belum terselesaikan.
Aarrgghh..
Aku menyandarkan punggung ke kursi sembari menopang dagu. Antara lelah dan kesal. Bekerja menjadi Back office selalu seperti ini. Memiliki segudang pekerjaan yang selalu sama.
Ck. Apa mungkin semuanya terasa membosankan karena hidupku selalu seperti ini? Berangkat bekerja, menghadiri kelas kuliah malam lalu pulang dan besok pagi mengulangi aktifitas yang sama. Terus berulang seperti itu.
PRANGGG…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 348 Episodes
Comments
Hartati S. Dakhi Duha
mksh ya Thor..karyanya bagus,
2020-09-17
1
Indri Ani
Semangat thor
2020-07-31
0
Reanza
Aku baca sampai sini dulu ya thor nanti aku mampir lagi, ditunggu kehadirannya juga ya.. Semangat
2020-06-20
0