Pagi hari–selepas subuh–saat aku menemani abah duduk di teras rumah untuk berjemur di bawah pancaran sinar matahari yang masih hangat dan belum terlalu menyengat, ponselku berdering.
Menampilkan nama 'Mas Rezky' yang menghubungiku, meski bukan melalui aplikasi online. Rupanya dia masih berusaha. Niatku tidak ingin mengangkatnya, malah pergi ke pengaturan telepon dan mengaktifkan mode senyap supaya ponsel tidak bersuara.
Namun, tidak berhenti di situ. Beberapa saat setelah ponsel tidak lagi bergetar, mobil hitam miliknya muncul dari belokan kompleks perumahan dan berhenti tepat di depan rumah.
Segera kubawa Abah untuk masuk ke dalam rumah. Tidak sempat, karena langkah abah yang tertatih sehingga tidak bisa aku lari begitu saja dan menghindar dari cekalannya.
"Sya, tolong jangan menghindar," ucapnya tak kala mencekal lenganku.
"Bisa kita bicara?" Dia bertanya.
Aku tidak menjawab, kubiarkan tanganku yang lainnya menyingkirkan dia dari lengan kiriku. Lalu, mama datang dari dalam.
Mama yang tahu apa saja yang terjadi padaku saat ikut bersamanya, lantas mama memandang Mas Rezky tidak suka. Dan karena mamalah, aku bisa terbebas dari cekalannya.
"Mau apa kemari?" Tanya mama sesaat pria itu mencium punggung tangan mamaku.
"Ma, Rezky mau jemput Daisya pulang," ujar Mas Rezky yang berbicara lemah lembut pada mama. Mungkin sedang berusaha merayu mama.
"Duduklah, jangan di pintu," ucap mama.
Setelah aku membawa abah kembali ke kamarnya dan telah kutitipkan abah pada Nasywa–adik bungsuku, aku dipanggil mama ikut ke depan menemui pria yang telah menjadi suamiku sebulan yang lalu itu.
"Mama, niat Rezky ke sini untuk membawa Daisya pulang bersama," ucapnya dengan tenang.
Padahal, dia bukanlah orang yang sesabar itu. Bukan, Ma. Jangan percaya begitu saja.
Mama menoleh padaku, meminta pendapatku. Dan kujawab dengan gelengan kepala yang singkat dan samar.
"Ini rumahnya, keluarganya. Kalau niatmu untuk menyakiti anakku lagi, maka jangan harap dia bisa kembali padamu," tegas mama tanpa ada suara yang bergetar sedikit pun.
Aku yang menunduk melihatnya sekilas, dia yang sama-sama menunduk tidak bisa membantah perkataan mama.
Keadaan tenang dan keheningan mendera sesaat, lantas terpecahkan saat terdengar helaan napas beratnya.
"Mama, bisa Rezky berbicara dengan Daisya sebentar?" Tanya mas Rezky meminta izin.
Mama memegang tanganku, beliau percayakan semuanya padaku. "Mama ke belakang dulu, kalau ada apa-apa, panggil saja Mama." Kemudian mama meninggalkan kami berdua di sepetak ruangan kecil ini yang hanya berisi sofa panjang yang menjadi harta kami dan dibawa setiap kali berpindah kontrakan–sofa tua dengan busa yang sudah rusak bagian sana dan sini. Bisa di katakan, interior rumah tidak estetis sama sekali; berbanding terbalik dengan desain rumah kontrakan ini yang berada di kawasan perumahan kelas menengah atas.
Untuk itulah si pria kaya raya terkejut saat kali pertama masuk ke rumah ini dan karena kekontrasan dua situasi itulah yang membuat ia tidak sudi menginjakkan kakinya kemari–lagi. Namun, hari ini dia rela masuk dan singgah di sini.
"Pulang sekarang?" To the point dia bertanya.
Dengan kerendahan hatinya, dia mau duduk di sofa pendek yang sudah tidak nyaman digunakan karena busa yang njeblos saat diduduki.
Selanjutnya, ia meraih tanganku untuk digenggamnya. Namun, aku tidak mau. Kutarik kembali kedua tanganku yang berada di genggamannya
"Tolong, jangan seperti ini, Sya. Bicaralah apa yang kamu mau, lalu ikutlah pulang bersamaku," tuturnya dengan suara yang lirih dan memelas.
Aku menggeleng, tanpa berkata apapun.
Kudengar Mas Rezky mendengus keras, "bicaralah, Sya. Apa yang kamu mau? Jika ingin tinggal di sini sementara waktu, ayo, kita tinggal di sini beberapa hari."
"Pulanglah, Mas," ucapku mengusir dirinya.
Yang ingin kukatakan, harusnya dia tahu apa yang menjadi kemauanku selama ini. Sering aku menyebutkan apa keinginanku; pisah rumah, bekerja, boleh ke rumah abah kapan saja, dan tidak ada kekerasan apapun.
Masa iya, aku harus menyebutkan semua itu dengan gamblangnya? Berarti, dia tidak paham dengan apa yang aku inginkan. Mungkin, permintaanku itu tidak pernah dihiraukan olehnya sehingga dia tidak pernah tahu sampai saat ini.
Ya, karena menurutnya hanya akulah yang selalu harus mengerti keadaannya.
...🍁🍁🍁...
"Tiga hari, beri aku waktu 3 hari untuk mengambil keputusan," begitu pesan kukirimkan padanya saat menjelang tidur dengannya yang selalu bertanya kapan aku pulang.
"3 hari, maka kamu akan pulang?" Balasnya.
"Bukan, beri waktu 3 hari untuk berpikir," balasku yang setelah itu kupastikan data internet sudah kumatikan, lalu berharap bisa tidur dengan tenang bersama dengan mama dan adikku. Aku yang berada di ujung, kupeluk tubuh adikku yang tidur membelakangiku dan dia yang menghadap mama.
Sembari mata terpejam, tetapi pikiranku terus berkelana mencari jawaban atas pertanyaan, 'apakah aku akan melanjutkan pernikahan atau berhenti sampai di sini?'
Semoga waktu 3 hari itu cukup bagiku untuk memutuskan mana yang akan kupilih dari kedua pilihan jalan tersebut.
Menimbanga banyak hal, kehidupan setelah pernikahan yang tidak seperti kehidupan pernikahan yang aku impikan; penuh kasih sayang, canda tawa, liburan, komunikasi yang lancar, semua itu tidak berjalan baik. Hanya aku yang terlalu lelah dengan pekerjaan rumah.
Belum lagi, ocehan mama mertua yang bukan hanya cerewet, tetapi selalu merendahkanku dan memandangku seperti wanita yang tidak berguna dan kurang di segalanya.
Tidak ada bahagianya kehidupanku pernikahan yang aku jalani sekarang. Sikap suamiku yang jauh dari kata romantis, peka, apalagi pengertian. Tidak ada.
OK, sekarang biarkan aku mencari sisi baiknya untuk bisa dijadikan pertimbangan apakah hubungan ini akan putus atau diteruskan.
Sisi baiknya adalah.....
Kutatap langit-langit rumah ini yang berupa plafon putih dengan lampu LED putih terang menyilaukan.
Beralih melihat keluar jendela yang menampilkan bulan yang bersinar terang karena tepat hari ini adalah fenomena full moon. Besar sekali.
Ketenangan melihat rembulan yang bersinar terang, seraya mengingat kebaikan apa yang dapat kuambil dari pernikahanku yang sudah menginjak usia satu bulan itu, ternyata....
TIDAK ADA.
Aku menggeleng. Nihil, tidak ada yang bisa ditemukan kebaikan apa yang pernah kudapatkan selain dari uang belanja bulanan, suami yang cukup tampan, dan... Sepertinya, sudah hanya itu saja.
Papa mertua, ya, aku teringat dengan satu kebaikan yang bisa kudapatkan. Mendapatkan papa mertua yang baik hati dan cukup mengerti keadaanku. Papa, begitu dekat rasanya jika kupanggil beliau dengan sapaan seperti itu.
Papa, meski beliau adalah mertuaku. Namun, papa mertuaku sangat tulus menyanyangiku. Papa yang selalu menolongku saat aku dalam keadaan terancam, papa yang selalu membelaku saat suami dan mama mertua bertindak zalim padaku.
Papa mertua. Ya, itulah satu alasan mengapa aku bertahan di sana, tidak lain karena bujukan papa mertua–setelah terakhir kali aku memutuskan untuk kabur.
Namun, papa mertua bukan alasan aku dapat mempertahankan hubunganku dengan putranya. Yang menjadi pertimbangan adalah tentang Mas Rezky, bukan ayahnya. Karena aku akan hidup bersama suamiku, bukan dengan ayahnya dan tidak selamanya papa mertua akan selalu ada untukku.
Biar saja hubunganku dengan suamiku putus atau terus, tetapi selamanya papa akan menjadi orang tuaku dan selamanya aku akan berbakti padanya sebagai anak. Walau nanti ternyata jodohku dengan Mas Rezky cukup sampai di sini.
Sementara jawabanku untuk kelanjutan pernikahanku adalah CUKUP SAMPAI DI SINI.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Noni Noni
makin heran ku..
2023-10-19
0