Esok paginya, langsung kutagih perkataan Mas Rezky semalam. Sudah cukup kenyang aku dibubuhi perkataan palsunya untuk ke berkunjung ke rumah abah.
"Kan aku harus bekerja, sayang," ujar Mas Rezky. Apa dia sedang beralasan lagi dan mengulur waktu, berakhir kejadian tempo waktu lalu yang tidak pernah kesampaian sampai saat ini?
"Mas, kamu mau bohongin aku lagi, ya?" Tanyaku dengan nada bicara yang lembut, tapi merajuk.
"Nggak, kali ini nggak. Aku usahakan pulang cepat dan kita berkunjung ke rumah orang tuamu," ucap Mas Rezky yang menarik dan memangkuku di atas ranjang.
"Baiklah, kalau nggak jadi lagi, aku akan kabur!" Sentakku mengambil keputusan.
Mas Rezky tidak suka saat sikapku seperti itu, dia menatapku serius dan berhasil membuatku takut.
"Jangan coba-coba melakukan itu, Daisya." Ujarnya serius, wajahnya garang seperti harimau kelaparan. Aku menunduk, memainkan dasinya.
"Kita akan datang, telepon saja jika jam 5 aku belum di rumah," ucapnya seraya menurunkanku dan dia mengambil tas berisi berkas dan laptopnya.
Singkirkan dugaanmu yang tidak baik itu. Percaya untuk sekali ini, Daisya.
Pukul empat, semua barang-barang sudah kukemasi dalam tas besar. Menunggu sebentar lagi, sedangkan ponsel sudah kupegang erat di tanganku bersiap menelponnya jika benar sampai jam 5 dia belum pulang.
Tepat pukul 5 dia masuk ke dalam kamar. Kusambut dengan senyum semringah dan mengambil alih semua yang dia bawa; tas, jas, dan bingkisan kecil di tangan.
"Ini apa?" Tanyaku pada bingkisan berukuran sedang yang sedikit berat.
"Kue, dibawa pas ke rumah abah," jawabnya. Berati dia tidak lupa.
"Mas, mau mandi atau makan dulu?" Tanyaku yang mencoba mengerti dirinya yang sedang lelah sepulang kerja.
"Tidak usah makan, buatkan kopi saja selagi aku mandi sebentar," ucapnya dan aku menyetujuinya.
Bergegas kuturun ke bawah menyeduh air panas untuk secangkir kopi hitam kesukaannya. Bibirku yang tersungging senyum, terlihat oleh mama mertua.
"Ada apa senyam-senyum terus begitu? Suamimu mendapat bonus?" Tanya Mama mertua.
Aku menggeleng, "bukan, Ma, aku dan Mas Rezky akan pergi ke rumah orang tuaku," sautku memberitahu.
"Aduh, mamanya lagi sakit begini, kok, pada mau pergi, sih?" Mama mertua mengeluhkan kepala yang sedang dipasangi plester panas dan mengeratkan sweater yang dikenakannya.
Apa aku salah memberitahukan ini pada mama mertua? Bisa-bisa rencana pergi malam ini digagalkan oleh mama mertua.
Kopi sudah tersaji di meja makan, niat hati ingin kubawa ke kamar tapi urung karena mas Rezky yang sedang menyinsingkan kerah dan lengan kemejanya berjalan turun dari tangga.
"Sudah siap?" Tanya dia padaku. Aku mengangguk mantap. Baju gamis yang kupakai, tapi tanpa jilbab dan tas slempang kecil yang menyilang di bahu kananku sudah siap sejak tadi, hanya menunggu kapan waktunya pergi.
"Mas minum dulu kopinya," aku membawakan secangkir kopi beserta tatakannya kepadanya.
"Kalian mau kemana, sih? Mama lagi gak enak badan begini, kalian malah mau pada pergi," tanya mama mertua, meskipun tadi sudah kuberitahukan kami akan pergi kemana.
Mas Rezky yang sedang menyesap kopi, beralih menatapku. "Kamu tidak memberitahu mama kalau kita akan pergi?"
"Tadi baru saja aku kasih tahu mama," jawabku.
"Maksdunya, kenapa tidak sejak pagi?"
"Aku tidak sempat dan lupa memberitahu mama," ujarku yang malah mendapat tatapan tidak enak darinya.
Mas Rezky memberikan kembali cangkir itu padaku, lantas dia berujar, "kita tidak jadi pergi," ujar mas Rezky begitu saja. Dia berjalan ke arah ruang tengah membawa serta mama mertua untuk duduk bersama dan memijat kakinya.
Tak!
"Mas!" Pekikku seraya membenturkan cangkir pada tatakan dan menghentakkam satu kaki kananku.
"Kamu selalu saja seperti ini! Nggak bisa dipercaya!" Ujarku dengan nada tinggi tidak peduli di hadapan mama mertua sekalipun.
"Salahmu yang tidak memberitahu mama sejak awal, kalau mama sakit begini bagaimana bisa pergi?"
"kamu selalu memikirkan orang tuamu, tapi tidak pernah peduli dengan orang tuaku. Memangnya dunia ini hanya berpusat pada keluargamu saja? Berapa kali kamu bohongin aku?" Pekikku dengan derai air mata.
"Jika selamanya seperti ini, lebih baik aku pergi!" Ancamku dan memutar balik badan, berniat membawa cangkir kopi ke dalam wastafel dan mencucinya.
"Kamu hanya menggertak, Daisya," ujarnya meremehkanku.
Selepas menyuci cangkir itu, aku berlari masuk ke dalam kamar. Mengemasi semua barang-barangku ke dalam koper. Semua yang pernah kubawa dari rumah orang tuaku tanpa terkecuali.
Lama menata semua pakaianku supaya muat dalam satu koper besar, tiba-tiba pintu kamar terbuka.
"Mau kemana?" Tanya Mas Rezky.
"..." Aku hanya melirik sekilas dengan mulut yang terkunci, tidak ingin menjawab dalam satu kata pun.
Dia menarik lenganku, "Jawab aku, mau kemana?" Tanya dia dengan tatapan menghujam.
"Pulang," ucapku singkat mengalihkan pandangan.
"Ini rumahmu, mau pulang kemana?" Sentaknya menggoyangkan lenganku kasar.
"Orang tuaku. Ini bukan rumahku, tapi rumah orang tuamu. Selama kita berada di sini, selamanya Mas nggak akan berpikir mandiri karena selalu nurut sama orang tua Mas!"
Plak! Satu tamparan dan ini yang pertama kalinya aku mendapat tamparan dan baru dialah orangnya yang melakukan itu.
"Apa yang membuatmu seperti ini, Daisya! Kau meremehkanku dan keluargaku?" Lantang suaranya memekik di depan wajahku.
"Bahkan sekarang mas berani menyakitiku. Ya, semua yang kau pertimbangkan hanya tentangmu dan keluargamu. Kamu selalu menyuruhku mengerti dan menuruti segalanya, tanpa mau mengerti apa mauku sekali saja? Mas egois!" Decakku sengit.
Brak! Dia menendang koper yang sedang kututup sehingga semua isinya yang sudah kurapikan, keluar berhamburan.
"Sekarang maumu apa?" Dia bertanya dengan suara lirih sarat kemarahan.
"Terserah, aku tidak bisa memutuskan!" Ucapku tegas dan kembali mengambil barang-barang yang berserakan.
Kudengar napasnya menderu keras, tapi tidak kuhiraukan. Salahnya yang tidak mau menyatukan dua keluarga, sedangkan bagiku keluarganya dan keluargaku itu sama dan harus bersatu supaya rida-Nya senantiasa berjalan mengiringi langkah pernikahan kami.
Seperti tidak puas dengan jawabanku, dia mendekat dengan derap langkah yang menghentak-hentak.
"Katakan padaku, apa maumu sekarang?!" Gertak suamiku menarik paksa tubuhku untuk bangkit. Meski aku mengaduh kesakitan karena cengkeramannya padaku yang begitu keras, dia tidak peduli.
"Jawab!" Bentaknya, tapi aku tetap diam.
Tangan kanannya sudah mengepal di udara, dia bersiap menamparku–lagi. Namun, gerakan itu hanya tertahan di sana.
"Kenapa berhenti, Mas? Lakukanlah, sesuka hatimu. Malah itu lebih mudah untuk melakukan perceraian melalui bukti visum," ucapku dengan deraian air mata. Lenganku masih berada di cengkeramannya, kuku-kuku jarinya menekan kulitku sampai terasa perih.
Mungkin dia sadar apa yang telah dia lakukan, cengkeraman itu melemah dan berangsur membebaskan lenganku.
Tanpa terasa, bekas jari-jarinya menyisakan cap membiru pada lengan tangan dan rembesan darah yang mengalir tipis. Aku dan dia memandang lukaku yang merembes pada kain bajuku.
"Setiap Mas marah selalu menyakitiku, ini sudah bukan rumah tangga yang sakinah dan tidak bisa lagi diharapkan mawaddah," ujarku seraya menarik koper dan keluar dari rumah itu tanpa ada yang menghalangi langkahku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Rea Ana
semangat nulis othor
2023-08-25
0